Pages - Menu

Saturday, April 01, 2023

My Liberation Note: Membebaskan Diri dari Kehidupan yang Memuakkan

"Saat lihat tulisan teman-temanku, aku bingung mengapa mereka berdoa untuk hal-hal seperti nilai, sekolah yang diinginkan, dan hubungan pertemanan. Mengapa memohon hal sepele begitu kepada Tuhan? Namun, itu Tuhan. Bagiku, hanya ada satu hal yang ingin aku ketahui, apa aku sebenarnya? Mengapa aku ada di sini? Aku tidak ada di sini sebelum tahun 1991, dan tak akan ada di sini 50 tahun lagi. Namun, aku merasa seperti sudah ada sebelum itu dan akan terus ada. Aku merasa diriku akan abadi." perkataan Mi Jeong di tengah gelapnya malam berhias bintang-bintang, hembusan angin sejuk, sepoian ilalang merdu di sepanjang perjalanannya menuju atas bukit. 

Ialah Gu yang memandunya ke hiddem gem itu. Baginya, tempat tersebut adalah satu-satunya tempat di mana ia terbebas dari rasa lelahnya akan kehidupan. Menyatu dengan alam di tengah malam adalah yang terbaik menurutnya. Hitam pekat, berkilauan, sejuk, indah, memandang dan merasakannya sungguh menenangkan. 

di atas bukit

Mi Jeong melanjutkan dalam pikirannya, "Meski merasa begitu, hatiku tak pernah sekalipun menetap tenang di mana pun sebelumnya. Aku merasa gelisah, baik di dalam selimut, atau di tengah orang-orang. Mengapa aku tak bisa tersenyum ceria seperti orang lain? Mengapa aku selalu sedih? Mengapa hatiku tidak pernah tenang? Mengapa segalanya membosankan? Manusia mirip orang-orangan sawah. Kita tak tahu siapa kita sebenarnya dan hanya hidup dengan bersandiwara. Mungkin saja orang yang hidup dengan baik dan sehat adalah orang yang sepakat menjawab pertanyaanku di atas dengan kebohongan seperti 'Hidup memang begini'. Namun, aku tak mau begitu, aku mau merasakan surga saat hidup."

Mi Jeong, anak perempuan terakhir dengan satu kakak perempuan dan satu kakak laki-laki, hidup dengan monoton dan merasa seperti terkekang di dalam hidupnya, "Orang-orang merasa takut saat mendengar guntur dan kilat, tetapi anehnya, aku malah merasa tenang. Aku berpikir akhirnya dunia berakhir. Itu yang selalu kuharapkan. Aku seperti merasa terkurung, tetapi tidak tahu cara keluarnya. Hidupku memang tidak amat sengsara, tetapi tidak juga bahagia. Dunia berakhir begini pun tidak apa-apa."

"Pada akhirnya, semuanya akan meninggal. Namun, mengapa mereka sesenang ini. Mungkin saja, orang yang hidupnya hancur akan lebih jujur daripada orang yang hidup dengan baik. Aku berpikir begitu. Entah sedang terjebak di mana, tapi aku ingin bebas. Aku ingin sungguh-sungguh bahagia dan merasa senang. Aku ingin mengatakan, rupanya ini yang dinamakan hidup. Aku senang dengan hidup ini, Aku ingin merasakan itu," jawaban Mi Jeong ketika ditanya alasannya mengapa membuat klub pembebasan. 

Sebagai karyawan introvert, tidak mudah baginya untuk bergabung di klub-klub pilihan kantor. Hingga tersisa tiga orang karyawan termasuk dirinya, yang terus dipanggil HRD untuk bergabung dengan klub mana pun agar tidak hanya bekerja tetapi juga menghabiskan waktu bersosialisasi di luar jam kerja. Perusahaannya percaya bahwa, karyawan yang bersosialiasi akan berdampak pada efektivitas pekerjaannya di kantor. Setelah berkali-kali dipanggil dan tetap kekeh tidak mau bergabung klub mana pun, mereka bertiga akhirnya menyerah. Bukan dengan bergabung pada klub yang tersedia, melainkan membangun klub sendiri, yang digagas oleh Mi Jeong, bernama "Klub Pembebasan".

Pertemuan Klub Pembebasan

Awalnya hanya dibuat sebagai alasan formalitas untuk kehadiran di klub. Tidak disangka, klub pembebasan tersebut membawa hati mereka yang terkurung pelan-pelan terbebaskan. "Mungkin dalam 24 jam sehari, waktu yang lumayan bagiku hanya satu atau dua jam. Bukan waktu yang menyenangkan, hanya lumayan lebih baik. Di sisa waktu itu aku hanya menahannya," kata Park Sang Min bercerita.

Giliran Mi Jeong, "Aku lelah meski tidak melakukan apa pun. Namun, bagaikan gembala, aku terus menggiring diriku untuk menjalani hidup ini. Aku harus melangkah meski tidak tahu alasanku hidup. Aku memutuskan untuk melangkah dengan baik selama masih hidup. Begitulah aku memaksakan diri untuk melangkah dengan susah payah tiap hari."

Pada kegiatannya, klub pembebasan ini, memberikan kesempatan pada tiap anggota untuk menuliskan apa pun yang dipikirkan seperti menulis buku harian, kemudian menceritakannya pada pertemuan. Namun, aturannya, tidak boleh ada yang mengasihani, atau memberikan penghiburan, serta semua harus diceritakan dengan jujur. 

Tae Hun, seorang duda beranak satu perempuan, bercerita "Waktu kelas 5 SD ayahku meninggal dan ibuku meninggal saat aku kelas 6 SD. Seusai pemakaman ibuku, aku pergi ke sekolah. Namun, tiba-tiba teman-temanku mengaduku dengan teman lain. Yang tidak mungkin bisa mengalahkanku. Tubuhnya besar, tetapi tidak bisa berkelahi. Namun, suasana hari itu sangat aneh. Aku merasa seperti harus mengalah. Karena itu, aku mengalah kepadanya. Aku menjadi sadar rasanya tidak punya orang tua. Saat ayahku meninggal, aku bak kehilangan satu lenganku. Saat ibuku juga meninggal, aku merasa kedua lenganku menghilang. Bagaimana jika anakku seperti merasa tak punya satu lengan juga?" 

"Saat anakku masih kecil, aku tak pernah pulang dengan berjalan santai, aku selalu berlari, karena tak sabar ingin bertemu. Jika aku pulang dengan berlari, dia akan berteriak kesenangan dan berputar di tempat dengan ceria. Kami sangat bahagia saat itu, rasanya bagaikan terbang ke langit. Setelah ayah dan ibuku meninggal, aku merasa diriku menjadi lemah. Aku harus bebas dari perasaan ini agar putriku juga bisa melewatinya."

Ah, sungguh, menuliskan ini saja menjadikan hatiku lelah. Drama ini berhasil mengikat emosiku, sebegitu kencang sampai tak mungkin lepas, hingga membuatku sesak. Menyadari, betapa terhubungnya aku dengan drama tersebut. Tatapan kosong, rasa bosan, lelah, muak, pencarian makna hidup, tergambar dengan detail dan menyentuh. Dua jempol untuk para pemainnya yang dengan sukses mendalami karakternya sehingga terasa amat nyata buatku. Terkadang tatapan serius mereka justru malah membuatku tertawa. Bukan karena aktingnya yang buruk, justru saking bagusnya, seperti bercermin dan menggenggam dengan keras bahu cerminanku dengan kedua tanganku, agar melihat dengan fokus bahwa, "kamu itu seburuk itu, bukankah itu lucu?"

Tidak hanya Mi Jeong dan kedua rekannya di klub pembebasan, kedua kakaknya Gi Jeong dan Chang Hee juga merasakan kemuakan hidup yang tak berakhir. Gi Jeong yang makin berumur, hidup begitu-begitu saja, tak ada satu pun pria yang melihatnya hingga membuatnya berkicau akan memacari sembarang orang agar dirinya tidak kesepian di musim dingin. Sementara Chang Hee lelah dengan persaingan pekerjaan dan karirnya yang tidak juga berprogres meski sudah bekerja dengan keras. Dari semua rasa tidak mengenakkan itu, mereka bukan berarti tidak berusaha, mereka bergerak, pelan-pelan setidaknya tidak berdiam, agar terbebas dan meraih kebahagiaan. 

Mi Jeong bersaudara tinggal bersama orang tuanya di area putih telor, jika Seoul adalah kuningnya. Butuh menempuh 1 hingga 1,5 jam dari rumahnya ke kantor mereka. Lamanya perjalanan pergi dan pulang menjadi salah satu penyebab lelahnya rutinitas harian mereka. Belum lagi jalan kaki dari halte bus ke rumah. Itulah mengapa Chang Hee merengek kepada ayahnya agar dibelikan mobil, tetapi selalu saja dihempaskan permintaannya. Jika pulang terlalu larut, ketiganya kompak berbagi tumpangan menggunakan taksi, karena jadwal kereta sudah terlewat. Begitulah gambaran letihnya kerja di kota, tetapi tinggal di desa. 

Perjalanan tiga bersaudara pulang pergi dari rumah ke kantor


Di tengah hidup mereka yang datar, ada Gu yang tinggal bertetangga dengan mereka. Hidupnya pun juga sama datarnya. Gu ini sangat misterius, tidak ada yang tahu nama aslinya, berasal dari mana, apa pekerjaannya sebelumnya, dan lainnya. Pecandu alkohol yang dari bangun hingga tidur tidak pernah lepas dari alkohol. Tidak pernah menyetok botol, tiap malam Gu pergi ke convenience store dekat stasiun. Karena pecandu alkohol sadar sebanyak apa pun botol dibeli untuk stok, tidak akan pernah menjadi stok karena adanya dorongan untuk menghabiskannya dalam satu waktu. 

Gu, Mi Jeong, Chang Hee, Gi Jeong (kiri ke kanan)


Tidak ingin melihat hidup Gu tenggelam dengan kecanduannya, orang tua Mi Jeong mengajaknya bekerja di ladang serta membantunya membuat perabot di pabrik wastafelnya. Gu sudah seperti bagian dari keluarga, yang selalu diajak makan bersama di setiap waktu makan. Meski sudah disibukkan dengan pekerjaan, setiap sehabis bekerja, Gu kembali dengan candunya. 

Bekerja di ladang

Perjalanan karakter-karakter ini untuk terbebas dari rutinitas monoton yang memuakan itu disajikan secara seru dalam 16 episode. Mi Jeong perlahan memperoleh ketenangannya tiap kali bersama Gu. Biarpun Gu tidak merespons dengan kata-kata dan hanya diam mendengarkan Mi Jeong merasa lega karena bisa mengungkapkan hal berat yang ada di pikirannya. Lambat laun, Gu mulai membuka diri dan turut bercerita tentang dirinya. 

Sesuatu terjadi menyebabkan Gu harus kembali ke Seoul dan meninggalkan Mi Jeong. Sekalipun Mi Jeong memohon agar tetap terhubung, secara sepihak Gu memutuskan hubungan mereka. Mi Jeong tidak sepatah itu, karena Mi Jeong meyakini Gu bukanlah pria-pria brengsek seperti yang dulu-dulu pernah ia temui.

Kakak perempuannya, Gi Jeong, tidak pernah menyangka bahwa rekan kerja Mi Jeong yang duda menjadi sembarang orang yang ia pacari. Namun tidak semudah itu menjalani hubungan tersebut, karena adanya ketegangan dengan kakak-kakak Tae Hun serta anaknya Yu Rim. 

Sementara kakak laki-lakinya Chang Hee, akhirnya memperoleh kebebasannya setelah 8 tahun bekerja. Keputusannya menganggur menurutnya adalah keputusan terbaiknya. Bukan hanya melepaskan dari rasa muak menghadapi rekan kerjanya A-Reum yang menyebalkan, ternyata ketersediaannya di rumah  sudah ditakdirkan agar bisa menyaksikan hari terakhir ibunya. Jika Chang Hee tidak di rumah, ibunya mungkin wafat sendirian. 

Ibu meninggal, kemudian ayah menikah lagi. Ketiga bersaudara tersebut memutuskan pindah tinggal di Seoul. Ah lagi-lagi, cerita ini begitu relate dengan hidupku. Ibuku meninggal, ayahku menikah lagi, aku pindah, tetapi bedanya aku tidak pindah mendekati kantorku, melainkan 3 stasiun lebih jauh dari rumah ke kantor. Bagi mereka, memutuskan pindah dekat kantor seperti melepas satu batu yang terbawa. Meringankan sedikit beban agar lebih mudah terbebas. 

Setiap orang memandangku aneh karena keputusanku yang di luar nalar mereka, bukannya mendekat malah makin menjauh dari kantor. Padahal menurutku, ada banyak cara meringankan beban, tidak harus selalu dengan cara umum yang mayoritas orang lakukan yaitu dengan pindah dekat kantor. 

Terlepas dari itu, aku tidak pernah menyesal dengan pilihanku tinggal di tempatku sekarang, ada banyak alasan yang bahkan sudah aku uraikan satu per satu, bahkan sampai aku putarkan video betapa bagus dan nyamannya tempat tinggalku saat ini yang mungkin tidak aku dapatkan di dekat kantor dengan harga yang sama. Tetap saja, mereka mengingkarinya. Saat ini, aku tidak peduli dan tidak pula membutuhkan persetujuan mereka untuk hidupku. Jika pun aku mengikuti saran mereka, akankah mereka menjamin hidupku bahagia di sana? 

Akhir cerita drama My Liberation Note ini tidak membawa penonton pada khayalan happy ending yang maksimal. Mi Jeong memang sudah bertemu kembali dengan Gu dan melanjutkan hubungannya, begitu pun dengan kakak-kakaknya yang kehidupannya makin baik. Namun, drama ini memberikan pesan bahwa, untuk terbebas dari rasa tidak mengenakkan itu dan meraih kebahagiaan membutuhkan waktu. Tidak bisa diselesaikan dalam 16 episode. Oleh karenanya, penonton diajak setuju dalam bayangan meski tidak digambarkan secara nyata penyelesaiannya bahwa mereka akan bahagia kelak, untuk kini, mereka masih dalam perjuangan untuk bebas dan memperoleh kebahagiaan.

Mi Jeong kembali bertemu dengan Gu


Selain itu, yang aku dapatkan dari drama ini adalah keyakinan bahwa menulis/journaling harian membantu melepaskan emosi-emosi yang tertahankan yang secara tidak langsung membebani diri secara fisik. Dengan menulis, hidup menjadi lebih terarah dan ringan. Jangan juga putus asa dan tetap melangkah meskipun pelan-pelan tidak apa-apa. Selalu percaya bahwa akan ada hal baik hari ini. 


Disclaimer: semua gambar diperoleh dari google

No comments:

Post a Comment

If you want to be notified that I've answered your comment, please leave your email address. Your comment will be moderated, it will appear after being approved. Thanks.
(Jika Anda ingin diberitahu bahwa saya telah menjawab komentar Anda, tolong berikan alamat email Anda. Komentar anda akan dimoderasi, akan muncul setelah disetujui. Terima kasih.)