Friday, October 16, 2015

Catatan Analisis Farmasi #6

Pada kesempatan kali ini, saya akan membahas mengenai tugas keempat yang dipresentasikan oleh kelompok 4, yaitu mengenai spesifikasi uji batas cemaran arsen dan cemaran klorida dari Magnesium Sulfat, serta tiga bahan baku lain yang memiliki spesifikasi yang sama, yaitu Bismuth Subnitrat, Manitol, dan Kaolin Ringan. 

Kenapa harus dilakukan uji batas cemaran arsen? Karena Arsen adalah senyawa metaloid yang cukup toksik. Arsen anorganik yang larut dalam air dapat terabsorbsi, lalu terdistribusi ke dalam hati, ginjal, paru-paru, limpa, aorta, dan kulit, sementara diketahui bahwa LD50 Arsen antara 10-300 mg/kg. Toksisitasnya dapat berupa efek pada saluran pencernaan dan saraf, seperti mual, muntah, nyeri perut, dan diare. Dampak yang paling kronis dalah blackfoot disease, suatu penyakit pembulur perifer yang pernah terjadi di Taiwan. 


Sumber cemaran Arsen biasanya berasal dari air yanga digunakan selama proses produksi atau kontaminasi dari peraltan logam yang dipakai. Oleh karena itulah diperlukan uji batas cemaran dalam suatu bahan baku obat untuk mencegah efek toksik dari arsen. 

Uji cemaran klorida juga perlu dilakukan, karena adanya senyawa klorida dapat membentuk senyawa toksik seperti trihalometana (THMs), asam haloasetat (HAAs), dan haloasetonitril (HANs). Senyawa toksik tersebut pada konsentrasi tinggi dapat menyebabkan kanker, gangguan hati dan ginjal, cacat lahir dan gangguan reproduksi. Sumber cemaran klorida biasanya berasal dari air yang digunakan dalam proses produksi. Karena mungkin disebabkan klorin banyak digunakan sebagai disinfektan pada air. 

Metode
Pada Farmakope Indonesia Edisi IV halaman 926, terdapat penjelasan metode uji batas arsen. Prosedur ini dimaksudkan untuk menentukan adanya sesepora arsen, dengan mengubah senyawa aresn dalam zat uji menjadi arsin, kemudian dilewatkan melalui larutan Perak Dietilkarbamat membentuk kompleks warna merah. Warna merah yang diperoleh dibandingkan dengan baik secara visual atau spektrofotometri dengan larutan baku yang setara dengan batas yang tertera dala masing-masing monografi. Batas tersebut dinyatakan sebagai arsen (As). Kandungan arsen tidak melebihi batas yang tertera dalam masing-masing monografi.

Untuk pengujian batas arsen tersedia tiga metode. Pada umumnya metode I digunakan untuk senyawa anorganik, sedangkan metode II untuk senyawa organik, kedua metode hanya berbeda pada penyiapan larutan uji dan larutan baku. 

Uji batas arsen menggunakan suatu alat yang terdiri dari (a) arsen generator, dilengkapi dengan (c) unit pembersih, dan (e) tabung penyerap, dengan sambungan terasah atau dengan dasar (b) bola gelas dan (d) soket penyambung di antara unit-unit. Alat lain menggunakan prinsip yang sama.


Bahan yang diperlukan antara lain:
  1. Arsen Trioksida P
  2. Natrium Hidrosida P
  3. Asam Sulfat P
  4. Asam Sulfat 2N
  5. Asam Sulfat 7N
  6. Kalium Iodida LP
  7. Timah (II) Klorida pekat LP
  8. Isopropanol P
  9. Timbal (II) Asetat P 
  10. Perak Dietilditiokarbamat LP
  11. Seng granul
  12. Hidrogen Peroksida
  13. Air
Larutan yang diperlukan antara lain larutan persediaan Arsen Trioksida dan Larutan Baku Arsen. Berikut adalah metode pembuatan larutan persediaan Arsen Trioksida:


(klik untuk memperbesar)

Di bawah ini adalah cara membuat larutan baku Arsen:


Metode I 
Larutan baku disiapkan dengan cara, dipipet 3 ml larutan persediaan Arsen ke dalam labu pembangkit arsin, encerkan dengan air sampai 35 ml. 


Larutan uji, jika tidak dinyatakan lain dalam masing-masing monografi, dipindahkan ke dalam labu pembangkit arsin sejumlah zat uji, dalam gram, yang dihitung dengan rumus:


L adalah batas arsen dalam bpj, larutkan dalam air dan encerkan hingga 35 ml.

Prosedurnya:


Metode II
Terdapat catatan:
  1. Perhatikan lakukan dengan hati-hati. Beberapa zat apabila diekstraksi dengan hidrogen peroksida P dapat bereaksi dan menimbulkan ledakan yang hebat.
  2. Apabila terdapat senyawa yang mengandugn hidrogen, gunakan suhu lebih rendah selama pemansan  dengan asam sulfat P, hindarkan campuran mendidi, dan tambahkan hidrogen peroksida P dengan hati-hati, sebelum terjadi pengarangan untuk mencegah hilangnya arsen valensi 3.
  3. Apabila zat uji dengan asam sufat P bereaksi sangat cepat, dan sudah terjadi pengarangan pada penambahan 5 ml asam sulfat P sebelum pemanasan, sebagai ganti asam sulfat P gunakan 10 ml asam sulfat P (1 dalam 2) dingin, dan tambahkan beberapa tetes hidrogen peroksida P sebelum pemanasan. 

Larutan baku dibuat dengan cara sebagai berikut:


Larutan uji dibuat dengan cara:
jika tidak dinyatakan lain dalam masing-masing monografi, dipindahkan ke dalam labu pembangkit arsin sejumlah zat uji, dalam gram, yang dihitung dengan rumus:


L adalah batas arsen dalam bpj. Selanjutnya:


Prosedurnya, lakukan seperti yang tertera pada metode I. 

Dalam penetapannya, bsia terdapat zat kimia pengganggu, berupa logam-logam atau  garam dari logam seperti kromium, konbalt, tembaga, raksa, molibden, nikel, paladium dan perak dapat menganggu pembentukkan arsin. Antimon yang membentuk stibin, menunjukkan gangguan yang positif dalam pembentukkan warna dengan Perak Dietilditiokarbamat LP: jika diperkirakan adanya antimon, warna merah yang terjadi dalam dua larutan Perak Dietilditiokarbamat perlu dibandingkan pada panjang gelombang serapan maksimum antara 535 nm dan 540 nm, dengan kolorimeter yang sesuai, dan pada panjang gelombang ini gangguan stibin dapat diabaikan.

Metode III
Menggunakan alat yang berbeda, seperti pada gambar di bawah ini:


Alat:


Prosedur:


Catatan penjelasan dan komentar dari Pak Hayun:

Kelompok 4, Uji Batas Cemaran Arsen dan Klorida.
Selain ada uji cemaran umum yang mana merupakan cemaran senyawa organik, perlu juga da uji cemaran anorganik seperti arsen dan klorida. Selain karena adanya potensi toksisitas, perlu ada uji ini juga karena senaywa anorganik dapat menjadi katalis atau mempercepat peruraian senyawa uji, bahan logam kebanyakan digunakan sebagai katalis. Sehingga bahan baku dapat terurai, terhidrolisis, dan mempercepat kadaluarsa.

Uji klorida itu mudah, jadi endapan, kekeruhan timbul, jika larutan uji ditambah dengan AgNO3 dalam kondisi asam nitrat encer dengan perbandingan asam klorida 0,02 N. Lalu syarat Bismuth subnitrat 0,035%. Perbandingan larutan asam klorida 0,02 N kenapa 0,5 ml? Supaya dapat membuat larutan dengan persentase yang mirip dengan yang disyaratkan. Artinya ion klorida = 0,02 N x 0,5 ml = 0,01 mmol = 0,00001 mol. Kalau dikonversi ke gram jadi 0,00001 mol x 35,5 gram/mol = 35 x 10-5 gram x 100% = 0,035%. Jadi kadar klorida dalam larutan uji tidak boleh lebih dari larutan asam klorida 0,02N 0,5 ml.

Jadi pada tahap awal, destruksi, cukup dilarutkan saja, dalam bentuk arsen bebas, seperti apa reaksinya? Bagaimana?Cemaran arsen organik harus didestruksi telrebih dahluu, kalau anorganik, tidak perlu. Arsen itu ada yang valensi 3 dan valensi 5, yang valensi 5 haru diubah ke valensi 3. Karena yang siap diubah menjadi arsin adalah yang valensi 3, jadi penambahannya dalam proses apa saja reagen yang digunakan? Kalau organik pakai asam sulfat dan lain2. Kalau anorganik tidak perlu. Ditambah pelarut yang sesuai dalam arti melarutkan saja supaya terionisasi. Biasanya pereaksi yang digunakan utk mengubah ke valensi 3 adlah timah II Cl yang akan menjadi timah 4 Cl.  Kemudian ditambah Zn supaya mengubah As valensi 3 menjadi gas h2.
Harus dilewatkan melalui kapas/kertas penjerap. Bukan menghisap, tapi menjerap. Demikian, yang lewat yang masuk hanya arsen, yang bereaksi dengn kertas Ag2 bromida, dengan perak dietilkarbamat akan berwarna merah. Intensitas warna tergantung, dibandingkan dengan arsen standar yang sudah jelas kadarnya.

Demikian juga untuk metode III, untuk intensitas warna III, barangkali warna merah lebih sensitf, metode III dihilangkan pada FI V, kalau arsen organik dan anorganik disamakan prosedurnya hasil bisa menjadi tidak benar, jadi harus disamakan.

Demikian yang dapat saya sampaikan, mohon maaf apabila banyak kurangnya. Semoga bermanfaat dan terima kasih sudah berkunjung :D

Wednesday, October 14, 2015

Catatan Analisis Farmasi #5

[Sumber Gambar: uwartsci.wordpress.com]

Kali ini dibahas mengenai tugas ketiga, yaitu mengenai spesifikasi rotasi jenis dan uji cemaran sejenis bahan baku Linestrenol serta tiga bahan baku lainnya yang memiliki spesifikasi sama. Tiga bahan baku lainnya antara lain Ofloksasin, Captopril, dan Morfin HCl.

Rotasi jenis diperoleh melalui suatu rumus yang membutuhkan besarnya rotasi optik. Berdasarkan Farmakope Indonesia Edisi IV, rotasi optik merupakan rotasi sudut atau derajat rotasi jenis yang dihitung dibandingkan dengan kadar 1 gram zat terlarut dalam 1 ml larutan diukur pada kondisi yang telah ditentukan. Adanya rotasi optik menyebabkan senyawa dapat mengakibatkan cahaya terpolarisasi pada bidang tertentu. Rotasi optik ada dua, yaitu (+) yang memutar bidang cahaya searah dengan arah jarum jam atau ke kanan dan (-) yang memutar berlawanan dengan arah jarum jam atau ke kiri. Rotasi optik diukur dengan alat polarimeter. 

Prosedur penetapan rotasi jenis dibagi berdasarkan wujud dari senyawanya, yaitu:
  1. Jika senyawa berupa cairan, senywa yang akan ditetapkan diatur suhunya hingga 25 derajat selsius dan kemudian dipindahkan ke dalam tabung polarimeter. Kemudian lakukan pembacaan paling sedikit lima kali dan lakukan penetapan blanko dengan tabung kosong kering.
  2. Jika senyawa berupa zat padat, penetapan dilakukan dengan menimbang saksama sejumlah tertentu zat lalu dimasukkan ke dalam labu ukur dengan menggunakan air atau pelarut lain yang ditentukan. Pelarut yang digunakan disisakan sebagai pelarut untuk penetapan blanko. Tambahkan pelarut sampai meniskus sedikit di bawah tanda batas dan atur suhu isi labu hingga 25 derajat selsius dengan mencelupkan labu dalam tangas dengan suhu tetap. Kemudian, tambahkan pelarut hingga batas dan campurkan. Setelah itu, larutan dipindahkan ke dalam tabung polarimeter tidak lebih dari 30 menit sejak dilarutkan dan lakukan penetapan rotasi jenis paling sedikit sebanyak lima kali. Pada saat penetapan suhu selalu dijaga berada pada 25 derajat selsius.
Setelah itu rotasi ditetapkan menggunakan rumus dan tanda rotasi yang diamati baik positif atau negatif harus dipakai. Rumus penetapan rotasi jenis adalah sebagai berikut:


Keterangan:

a = pengamatan rotasi yang terkoreksi dalam derajat pada suhu t dan pada panjang gelombang x.
l = panjang tabung polarimeter (dm)
d = bobot jenis cairan atau larutan pada suhu pengamatan.
p = kadar larutan dinyatakan sebagai jumlah gram zat dalam 100 gram larutan (gram/100 gram)
c = kadar larutan dinyatakan sebagai jumlah gram zat dalam 100 ml larutan (gram/100 ml)


Linestrenol mengandung tidak kruang dari 97,0% dan tidak lebih dari 102,0% dihitung terhadap zat yang telah dikeringkan. Linestrenol memiliki rotasi jenis -8 derajat sampai -12 derajat, dilakukan penetapan menggunakan larutan 5% dalam dioksan P. Prosedur penetapannya adalah dengan menimbang seksama sejumlah tertentu, dimasukkan ke dalam labu tentukur dengan menggunakan larutan 5% dalam dioksan P, sisakan sebagian pelarut untuk penetapan blanko. 


Ofloksasin mengandung tidak kurang dari 98,5% dan tidak lebih dari 101,5% dihitung terhadap zat yang telah dikeringkan. Ofloksasin memiliki rotasi jenis antara +1 dan -1. Prosedur penetapannya antara lain:

  1. Timbang 10 mg zat, dimasukkan ke dalam labu tentukur dan larutkan dalam tiap ml kloroform,
  2. Tambahkan pelarut secukupnya hingga meniskus pelarut sedikit di bawah tanda,
  3. Atur suhu isi labu hingga 25 derajat selsius.
  4. Tambah pelarut hingga batas dan campur.
  5. Pindahkan larutan ke dalam tabung polarimeter tidak lebih dari 30 menit sejak zat dilarutkan.
  6. Pertahankan suhu agar tetap 20 derajat selama pengujian.


Captopril mengandung tidak kurang dari 97,5% dan tidak lebih dari 102,0% dihitung terhadap zat yang telah dikeringkan. Captopril memiliki rotasi jenis tidak kurang dari -125 derajat dan tidak lebih dari -134 derajat, dihitung terhadap zat yang telah dikeringkan, lalukan penetapan menggunakan larutan etanol mutlak P yang mengandung 10 mg per ml. Prosedur penetapan sama seperti pada Ofloksasin, diperlukan larutan uji dengan konsentrasi 1000 ppm yaitu dibutuhkan sebanyak 1000 mg dan dilarutkan dengan etanol mutlak p sampai 100 ml. Sama prosedurnya, kemudian dicatat hasil pengamatannya. 


Morfin HCl mengandung tidak kurang dari 98,0% dan tidak lebih dari 101,0% dihitung terhadap zat yang telah dikeringkan. Morfin HCl memiliki rotasi jenis -110 derajat sampai -115 derajat dan dilakukan penetapan menggunakan larutan 2%. Prosedurnya juga sama yaitu dengan membuat larutan uji dengan konsentrasi 2%, yaitu sebanyak 1 gram sampel dilarutkan dengan air sampai 50 ml. 

Sementara mengenai uji cemaran sejenis. Cemaran sejenis merupakan cemaran senyawa organik yang keberadaannya perlu diuji untuk menjamin keamanan senyawa uji. Umumnya pengujian cemaran senyawa sejenis dilakukan dengan sistem kromatografi seperti KLT, KCKT, atau KG. Masin-masing senyawa uji harus memenuhi syarat batas penerimaan yang dicantumkan pada standar acuan. 

Penetapan uji cemaran senyawa sejenis Linestrenol menggunakan KLT dengan persyaratan bercak lain selain bercak utama dari Larutan 1 tidak lebih intesif dari bercak larutan 2 dan tidak lebih dari satu bercak yang lebih intensif dari larutan 3. Fase gerak yang digunakan berupa campuran n-Heptan P-aseton P (80:20). 
  1. Larutan 1 berisi sejumlah zat yang dilarutkan dalam kloroform P hingga kadar 2%.
  2. Larutan 2 berisi sejumlah zat yang dilarutkan dalam kloroform P hingga kadar 0,02%.
  3. Larutan 3 berisi sejumlah zat yang dilarutkan dalam kloroform P hingga kadar 0,01%. 
Kemudian digunakan asam fosfomolibdat P 5% sebagai penyemprot bercak.  

Penetapan uji cemaran senyawa sejenis Ofloksasin menggunakan KCKT dengan persyaratan masing-masing cemaran tidak lebih dari 0,3% dan jumlah cemaran tidak lebih dari 0,5%. Digunakan pengencer berupa campuran air-asetonitril P (6:1) dan fase gerak berupa Amonium Asetat P, Natrium Perklorat P, Air, Asam Fosfat P, dan Asetonitril P. Sistem kromatografi berupa detektor 294 nm, kolom 4,6 mm x 150 mm berisi bahan pengisi LI, suhu 45 derajat dan lajut alir 0,05 ml per menit. 

Kemudian dilakukan kromatografi terhadap larutan kesesuaian sistem, rekam kromatogram dan ukur respon puncak seperti tertera pada Prosedur: Resolusi, R, antara Ofloksasin dan senyawa sejenis A Ofloksasin tidak kurang dari 2,0 dan simpangan baku relatif pada penyuntikkan ulang tidak lebih dari 3,0%. Prosedurnya antara lain:
  1. Pembuatan fase gerak. Larutkan 4 gram Amonium Asetat P dan 7 gram Natrium Perklorat P dengan 1300 ml air, atur pH hingga 2,2 dengan penambahan Asam Fosfat P dan tambahkan dengan 240 ml Asetonitril P, saring dan awaudarakan. Jika perlu dilakukan penyesuaian menurut Kesesuaian sistem seperti tertera pada Kromatografi <931>. Larutan kesesuaian sistem dilakukan dengan menimbang masing-masing lebih kurang 10 mg Ofloksasin BPFI dan senyawa sejenis A Ofloksasin BPFI, dimasukkan ke dalam labu tentukur 100 ml, dilarutkan dan diencerkan dengan Pengencer sampai tanda. Pipit 10 ml larutan ini ke dalam labu tentukur 50 ml, encerkan dengan pengencer sampai tanda. Pipet 1 ml larutan ini ke dalam labu 50 ml yang kedua, encerkan dengan pengencer sampai tanda.
  2. Pembuatan larutan baku. Timbang saksama sejumlah Ofloksasin BPFI, larutkan dan encerkan dengan pengencer secara kuantitatif hingga kadar lebih kurang 0,4 mikrogram per ml.
  3. Pembuatan larutan uji dilakukan dengan melarutkan sejumlah zat dalam pengencer hingga kadar lebih kurang 0,2 mg per ml.
  4. Pengujian dilakukan dengan menyuntikkan secara terpisah sejumlah volume sama (lebih kurang 10 mikroliter) larutan baku dan larutan uji ke dalam kromatograf, rekam kromatogram hingga 2,5 kali waktu retensi puncak Ofloksasin dan ukur respon dari semua puncak setelah puncak pelarut. Hitung persentase masing-masing cemaran dengan respon puncak yang lebih besar dari 0,1 respon puncak rata-rata Ofloksasin BPFI dari Larutan baku dengan rumus:

Keterangan: 
C = kadar Ofloksasin BPFI (mg/ml)
Cu = kadar Ofloksasin dalam Larutan uji (mg/ml)
ri = respon puncak masing-masing cemaran
rs = respon puncak larutan baku

Penetapan uji cemaran senyawa sejenis Captopril menggunakan metode KG, persyaratannya tidak lebih dari 0,1% cemaran (Asam-3-merkapto-2-metilpropanoat. Menggunakan pereaksi siliasi tert-butildimetil klorosilan dan N-metil-N-tert-butildimetil silitrifluoroasetamida. Larutan baku internal berupa asam 3-merkaptopropanoat dan metilen klorida P. Larutan baku garam dari asam 3-merkapto-2-metilpropanoat dan 1,2-Difeniletilamin BPFI dan metilen klorida P.

Sistem kromatografi berupa kolom silika dengan panjang 15 mm dan diameter 0,32 mm. Fase diam G 27 ketebalan 1 mikrometer, gas pembawa helium, laju alir 1,7 ml/menit, rasio pemisahan 25:1, suhu kolom 125 derajat selsius (dinaikkan suhu per 30 menit hingga 300 derajat), port injeksi 250 derajat, dan detektor 310 derajat selsius, deteksinya berupa ionisasi nyala, volume injeksi 1 mikroliter. Perhitungannya dengan menghitung persentase asam 3-merkapto-2-metilpropanoat dalam katopril dengan rumus: 


120,17 adalah BM asam 3-merkapto-2-metilpropanoat dan 317,45 adalah BM MMPA. C adalah kadar garam dari asam 3-merkapto-2-metilpropanoat dan 1,2 Difeniletilamin dalam BPFI dalam mg/ml larutan baku, W adalah bonot Captopril dalam mg, RS dan RU adalah perbandingan luas puncak asam 3-merkapto-2-metilpropanoat dan baku internal dalam larutan uji dan larutan baku. Berikut adalah prosedur pembuatan larutannya:
  1. Pembuatan pereaksi siliasi yaitu dengan membuat larutan tert-butildimetil klorosilan dan N-metil-N-tert-butildimetil sililtrifluoroasetamida (1 dalam 100).
  2. Pembuatan larutan baku internal yaitu dengan memasukkan lebih kurang 0,4 ml asam 3-merkaptopropanoat ke dalam labu tentukur 10 ml, encerkan dengan metilen klorida P sampai tanda.
  3. Pembuatan larutan baku yaitu dengan menimbang sejumlah garam dari asam 3-merkapto-2-metilpropanoat dan 1,2 Difeniletilamin BPFI, dilarutkan dalam metilen klorida dan encerkan dengan metilen klorida hingga kadar lebih kurang 12 mg/ml (larutan ini stabil dalam 5 jam).
Pengujiannya dilakukan dengan cara:
  1. Pada dua tabung vial yang bertutup ulir dimasukkan masing-masing 0,5 ml metilen klorida.
  2. Tambahkan 25,0 mikroliter larutan baku pada salah satu tabung. Masukkan kurang 100 mg Captopril apda tabung kedua dan campur.
  3. Tambahkan 15,0 mikroliter larutan baku internal dan 0,4 pereaksi siliasi pada tiap tabung, tutup rapat tabung dengan penutup ulir dan campur hati-hati dengan pengocok korteks. 
  4. Letakkan tabung pada lempeng pemanas pada suhu 60 derajat selama 30 menit, angkat, dan biarkan dingin.
  5. Suntikkan 1 mikro liter larutan baku ke dalam kromatograf dan rekam luas puncak dari larutan baku internal dan garam dari asam-3-merkapto-2-metilpropanoat dan 1,2-difenil-etilamin (MMPA).
  6. Perbandingan simpangan baku relatif luas puncak MMPA dan luas puncak larutan baku internal pada penyuntikkan ulang tidak lebih dari 2,0%. Waktu retensi relatif derivat silil dari larutan baku internal dan derivat silil dari MPA berturut-turut lebih kurang 0,85 dan 1,0. Dengan cara yang sama suntikkan sejulmah volume 1,0 mikroliter larutan uji.
Penetapan uji cemaran senyawa sejenis pada Morfin HCl menggunakan KLT. Diperlukan lempeng silika gel, fase gerak berupa campuran etanol 70%P-Toluen P-Aseton P-Amonium Hidroksida P (35:35:32,5:2,5), pereaksi semprot berupa (Kalium Iodobismutat Asetat LP dan Hidrogen Peroksida LP), serta kodein Fosfat. Prosedurnya adalah sebagai berikut:
  1. Dibuat fase geraknya.
  2. Dibuat larutan (1) dengan melarutkan 100 gram zat dalam campuran etanol p-air (1:1) dan cukupkan volume hingga 10 ml.
  3. Buat larutan (2) dengan 50 mg kodein fosfat P dalam 5 ml larutan 1. Encerkan 0,1 ml dengan etnol P-air (1:1) hingga 10 ml.
  4. Totolkan secara terpisah 10 mikroliter larutan 1 dan 2.
  5. Elusi.
  6. Angkat lempeng, keringkan, semprot hingga diperoleh bercak. Bercak kodein berwarna abu-abu kebiruan, dan bercak morfin berwarna merah muda. 
  7. Pada kromatogram larutan 1 bercak yang setara dengan kodein tidak lebih intensif dari bercak kodein pada larutan 2, dan bercak sekunder tidak lebih intensif dari bercak morfin yang dihasilkan dari larutan 2.
  8. Uji memenuhi syarat apabila kromatogram larutan 2 menunjukkan bercak kodein terpisah dari bercak utama. 
Selanjutnya adalah penjelasan dan komentar dari dosen.

"Apa arti penting dari pengukuran rotasi jenis ini? Kenapa harus diukur? Kenapa harus diverifikasi?" tanya Pak Hayun. Jadi, memang mengingat bahwa ada perbedaan aktivitas atau bahkan perbedaan toksisitas dari bahan baku yang memiliki isomer optis. Contohnya ada suatu senyawa yang isomer yang satu memiliki aktivitas anestesi, sementara yang satunya lagi sebagai stimulan SSP. Jadi, sama struktur senyawa, beda bentuk isomer optisnya, beda aktivitasnya.

Jika memperoleh isomer yang tidak sesuai, dipastikan bahwa bahan baku tersebut bukan bahan baku yang diinginkan. Atau bisa jadi, rotasi jenis yang diperoleh menyimpang dari yang dipersyaratkan. Apa yang terjadi? Ketidakmurnian, terjadi akibat bercampurnya isomer atau senyawa lain yang kadarnya lebih rendah. Telah disebutkan sebelumnya bahwa rotasi jenis didasarkan atas rotasi optik dan konsentrasi. 

Konsentrasi larutan uji harus dibuat saksama. Dalam monografi disebutkan, berapa syarat rotasi jenisnya, juga ada keterangan hal lain yang harus dikontrol yaitu seperti dengan pelarut apa dalam penetapannya, pada konsentrasi berapa, apakah dihitung pada zat yang telah dikeringkan atau tidak, dan seterusnya. 

Apabila suatu bahan baku memiliki susut pengeringan yang besar, akan sangat berbeda hasilnya terhadap zat yang telah dikeringkan dengan yang tidak dikeringkan. Jadi harus diperhatikan, rotasi jenisnya diukur terhadap zat yang telah dikeringkan atau tidak, Umumnya kalau susut pengeringannya besar, maka jelas berpengaruh, dan harus dikeringkan.

Pengukuran harus dilakukan sebanyak 5 kali dan diukur tidak boleh lebih dari 30 menit dari penyiapan. Kenapa demikian? Untuk menghindari terjadinya mutarotasi, atau berotasi ke arah kebalikannya. Setiap senyawa akan berbeda terhadap cepat/lambatnya dalam bermutarotasi. 

Kalau pada uji cemaran umum, digunakan untuk menghitung cemaran dengan baku relatif. Cemaran umum, bakunya sudah seperti itu semua untuk semua bahan uji. Sementara pada uji cemaran senyawa sejenis, baku pembandingnya juga ada cemaran itu sendiri. Uraian dari senyawa sejenisnya apa sudah dicantumkan pada masing-masing monografi. Kalau uji cemaran umum biasanya dijelaskan pada bagian lampiran, tidak langsung pada monografi. 

Pada uji cemaran sejenis, umumnya jenis cemran itu sudah diketahui. Jadi, kembali lagi diingatkan diperlukan baku senyawa cemaran itu sendiri. Untuk menentukan apakah kandungan senyawa sejenisnya melebihi batas cemarannya tau tidak. Jika cemaran senyawa sejenis ada lebih dari 1, pada umumnya hanya ditentukan 1 atau 2 senyawa sejenis saja yang diukur persentase cemarannya, dipilih berdasarkan senyawa yang paling berpengaruh terhadap bahan bakunya (seperti kadarnya yang besar atau toksisitasnya yang besar) serta kalau semua cemaran sejenis diuji, akan memerlukan biaya yang mahal. 

Demikian yang dapat saya sampaikan. Mohon maaf apabila terdapat kesalahan. Terkait dengan segala prosedur yang dituliskan di atas, sebaiknya dirujuk kembali secara langsung kepada kompendial yang digunakannya seperti pada Farmakope Indonesia, BP, USP, dan seterusnya. Jangan merujuk pada tulisan ini. Jadikan  catatan ini sebagai gambaran saja, untuk meningkatkan pemahaman.

Terima kasih untuk kelompok ketiga yang telah mempresentasikan tugas ketiga ini dengan baik, yaitu terima kasih kepada Fitria, Erisa, Tami, Bernita, dan Hani. Mohon maaf apabila terdapat kesalahan. Semoga bermanfaat dan terima kasih sudah berkunjung :D

Tuesday, October 13, 2015

Catatan Analisis Farmasi #4

[Sumber Gambar: csi.edu]

Catatan yang ini membahas mengenai tugas kedua yang dikerjakan oleh kelompok kedua, yaitu spesifikasi Sulfadoksin terkait jarak lebur dan kemurnian kromatografi, serta ditambah 3 bahan baku lain yang mempunyai spesifikasi sama. Apa yang saya tulis di sini bersumber dari apa yang dijelaskan kelompok ini di kelas, slide presentasi, makalahnya, FI IV, serta penjelasan atau komentar dari dosen yang saya dengar di kelas. 

Jarak lebur didefinisikan sebagai rentang temperatur atau suhu pada saat bentuk padat mulai melebur hingga keseluruhan sampel melebur sempurna. Sulfadoksin memiliki struktur senyawa sebagai berikut:


Jarak lebur Sulfadoxin antara 197 dan 200 derajat. Berdasarkan FI IV, Sulfadoksin ditentukan jarak leburnya menggunakan metode III, yaitu:

  1. Gerus Sulfadoksin menjadi serbuk sangat halus.
  2. Masukkan serbuk Sulfadoksin yang telah halus ke dalam pipa kapiler kaca yang salah satu ujungnya tertutup hingga membentuk kolom di dasar tabung dengan tinggi 2,5 mm hingga 3,5 mm setelah diisi semampat mungkin dengan cara mengetukkan secukupnya pada permukaan padat.
  3. Panaskan tangas hingga suhu 10 derajat di bawah suhu lebur yang diperkirakan (197 derajat). Naikkan suhu dengan kecepatan 1 derajat per menit. 
  4. Masukkan kapiler, angkat termometer dan secepatnya tempelkan tabung kapiler pada termometer dan atur hingga tinggi bahan dalam kapiler setinggi pencadang raksa. Tempatkan kembali termometer dan lanjutkan pemanasan dengan pengadukkan tetap secukupnya. Bila suhu mencapai 5 derajat selsius di bawah suhu terendah yang diperkirakan, lanjutkan pemanasan hingga melebur sempurna.
  5. Catat jarak lebur. 

Pipa kapiler yang digunakan adalah pipa kapiler yang berdinding tipis (0,2 mm sampai 0,3 mm) dan salah satu ujungnya harus ditutup agar dapat diisi. Untuk dapat menutup salah satu ujungnya, dapat dilakukan dengan membakar salah satu ujungnya pada pembakar bunsen sambil memutar-mutar pipa kapiler hingga ujungnya tertutup sempurna. Kemudian untuk memasukkan serbuk sampel ke dalam pipa kapiler dilakukan dengan menekan perlahan ujung pipa yang terbuka ke sampel dari arah atas lalu dipadatkan dengan cara mengetuk pipa perlahan ke permukaan padat. Jika sampel belum memenuhi pipa kapiler hingga 2,5 sampai 3 mm, sisa sampel dimasukkan dengan menggunakan koin dengan tepi bergerigi atau cara lain yang lebih efektif.


Farmakope Indonesia mencantumkan alat yang digunakan untuk penetapan jarak lebur terdiri dari wadah gelas untuk tangas cairan transparan, alat pengaduk yang sesuai, termometer yang akurat dan sumber panas yang terkendali. Seperangkat alat tersebut lebih dikenal dengan istilah Mel-Temp. Mel-Temp dilengkapi dengan lensa untuk melihat sampel yang beraada pada pipa kapiler agar dapat memastikan sampel mulai melebur dan seluruh sampel melebur sermpurna. Jarak dari mata ke lensa adalah 15 cm.


Sebelum dibahas lebih jauh, saya ingin menyalin apa yang terdapat pada Farmakope Indonesia mengenai Penetapan Jarak Lebur atau Suhu Lebur <1021> pada halaman 1032. 

"Dalam Farmakope, jarak lebur atau suhu lebur zat padat didefinisikan sebagai rentang suhu atau suhu pada saat zat padat menyatu dan melebur sempurna, kecuali didefinisikan untuk metode IV dan V di bawah ini. Setiap alat atau metode yang mampu dan memiliki ketelitian yang setara dapat digunakan. Ketelitian harus sering diperiksa dengan menggunakan salah satu atau lebih dari enam Baku Pembanding Suhu Lebur BPFI, lebih baik digunakan satu baku yang melebur paling dekat dengan suhu lebur senyawa yang ditetapkan seperti yang tertera pada baku pembanding <11>.

Lima prosedur untuk penetapan jarak lebur atau suhu lebur yang diberikan berikut ini bervariasi tergantung pada keadaan sifat dasar senyawa yang diuji. Jika tidak dinyatakan dalam monografi, gunakan Metode III.

Prosedur yang dikenal sebagai penetapan suhu lebur campuran, untuk jarak lebur suatu zat padat yang diuji dibandingkan dengan campuran bagian yang sama dari zat padat tersebut dan senyawa aslinya, misal Baku Pembanding FI yang sesuai, dapat digunakan utnuk konfirmasi uji identifikasi. Kesesuaian dari hasil pengamatan contoh aslid an campuran menunjukkan identitas kimia yang jelas dan dapat dipercaya.

Alat. Contoh alat penetapan jarak lebur yang sesuai terdiri dari wadah gelas untuk cairan transparan, alat pengaduk yang sesuai, termometer yang akurat (seperti yang tertera pada Termometer <31>) dan suber panas yang terkendali. Cairan dalam tangas dipilih dengan melihat suhu yang dikehendaki, tetapi umumnya digunakan parafin cair dan silikon cair yang baik untuk rentang suhu yang lebih tinggi. Cairan dalam tangas mempunyai kedalaman yang cukup sehingga termometerdapat tercelup dengan pencadang raksa tetap berada lebih kurang 2 cm di atas dasar tangas. Panad didapat dari api bebas atau listrik. Pipa kapiler berukuran panjang lebih kurang 10 cm dan diameter dalam 0,8 mm sampai 1,2 mm dengan ketebalan dinding 0,2 mm sampai 0,3 mm. 

Metode I. Gerus senyawa yang diuji menjadi serbuk halus, dan kecuali dinyatakan lain, jika mengandung air hidrat ubah menjadi anhidrat dengan pengeringan pada suhu yang tertera pada monografi, atau jika senyawa tidak mengandung air hidrat, keringkat di atas bahan pengering yang sesuai selama tidak kurang dari 16 jam.

Isi pipa kapiler kaca yang salah satu ujungnya tertutup, dengan serbuk kering secukupnya hingga membentuk kolom di dasar tabung dengan tinggi 2,5 m hingga 3,5 mm setelah diisi semampat mungkin dengan cara mengetukkan secukupnya pada permukaan padat.

Panaskan tangas hingga suhu lebur 30 derajat di bawah suhu lebur yang diperkirakan. Angkat termometer dan secepatnya tempelkan tabung kapiler pada termometer dengan membasahi keduanya dengan tetesan cairan dari tangas atau sebaliknya, dan atur hingga tinggi bahan dalam kapiler setinggi pencadang ranksa. Tempatkan kembali termometer, dan lanjutnkan pemasanan dengan pengadukkan tetap secukupnya, hingga menyebabkan suhu naik lebih kurang 3 derajat per menit. Pada saat suhu lebih kurang 3 derajat di bawah dari batas bawah jarak lebur yang diperkirakan, kurangi pemanasan sehingga suhu naik lebih kurang 1 derajat hingga 2 derajat per menit. Lanjutkan pemanasan sampai melebur sempurna.

Suhu pada saat kolom uji yang diamati terlepas sempurna dari dinding kapiler didefinisikan sebagai permulaan melebur dan suhu pada saat zat uji mencair seluruhnya didefinisikan sebagai akhir peleburan atau "suhu lebur". Kedua suhu tersebut berada dalam batas jarak lebur.

Metode II. Letakkan zat uji dalam wadah tertutup, dinginkan hingga suhu 10 derajat atau lebih rendah selama tidak kurang dari 2 jam. Tanpa diserbutkan sebelumnya, isi bahan yang sudah dingin ke dalam pipa kapiler seperti pada metode I, kemudian segera letakkan kapiler yang telah diisi ke dalam desikator hampa, keringkan pada tekanan tidak lebih dari 20 mmHg selama 3 jam. Segera keluarkan dari desikator, lebur tutup ujung terbuka kapiler dan sesegera mungkin lanjutkan penetapan jarak lebur seprti berikut: Panaskan tangas hingga suhu 10 derajat +- 1 derajat di bawah rentang lebur yang diperkirakan. Kemudian masukkan kapiler yang berisi zat uji, dan panaskan dengan kenaikkan suhu 3 derajat +- 0,5 derajat per menit hingga melebur sempurna. Catat jarak lebur seperti tertera pada metode I.

Jika ukuran partikel terlalu besar untuk kapiler, dinginkan terlebih dahulu zat uji seperti di atas, gerus patikel hati-hati dengan tekanan rendah hingga sesuai dengan kapiler dan segera isikan ke dalam kapiler.

Metode III. Siapkan zat uji dan masukkan ke dalam kapiler seperti pada metode I. Panaskan tangas hingga suhu lebih kurang 10 derajat di bawah suhu lebur yang diperkirakan, dan naikkan suhu dengan kecepatan 1 derajat +- 0,5 derajat per menit. Masukkan kapiler seperti metode I, bila suhu mencapai 5 derajat di bawah suhu terenah yang diperkirakan, lanjutkan pemanasan hinga melebur sempurna. Catat
jarak lebur seperti pada metode I.

Metode IV. Lebur hati-hati senyawa yang akan ditetapkan pada suhu serendah mungkin, masukkan di dalam pipa kapiler, yang kedua ujungnya terbuka, hingga kedalaman 10 mm. Dinginkan kapiler yang telah berisi zat uji pada suhu 10 derajat atau lebih rendah selama 24 jam, atau tempelkan pada es selama tidak kurang dari 2 jam. Kemudian tempelkan tabung pada termometer dengan cara yang sesuai, atur dalam tangas air sehingga ujung atas dari zat uji 10 mm di bawah permukaan air dan dipanaskan seperti pada metode I, kecuali sampai 5 derajat dari suhu lebur yang diperkirakan, atur kenaikan suhu 0,5 derajat sampai 1,0 derajat per menit. Suhu pada saat senyawa yang diamati dalam pipa kapiler menaik adalah suhu lebur.

Metode V. Lebur perlahan-lahan sejumlah zat uji sambil diaduk, hingga mencapai suhu 90 derajat hingga 92 derajat. Pindahkan sumber panas dan biarkan leburan senyawa mendingin hingga 8 derajat sampai 10 derajat di atas suhu lebur yang diperkirakan. Dinginkan pencadang raksa (seperti yang tertera pada Termometer <31> ) hingga suhu 5 derajat, bersihkan hingga kering, dan sewaktu masih dingin celupkan ke dalam leburan senyawa hingga lebih kurang separo bagian bawah pencadang terendam. Ambil secepatnya, dan tahan secara vertikal dari panas hingga permukaan zat uji menjadi buram, kemudian celupkan selama 5 menit ke dalam tangas air pada suhu tidak lebih dari 16 derajat.

Letakkan erat termometer dalam tabung reaksi sehingga ujung terendam 15 mm di atas dasar tabung reaksi. Celupkan tabung reaksi dalam tangas air yang telah diatur pada suhu lebih kurang 16 derajat, dan naikkan suhu tangas air 2 derajat per menit hingga suhu 30 derajat, kemudian turunkan hingga suhu 1 derajat per menit, dan catat suhu pada saat tetesan pertamasenyawa meleleh lepas dari termometer. Ulangi penetapan 2 kali menggunakan senyawa yang baru dilelehkan. Jika variasi tiga kali penetapan kurang dari 1 derajat, gunakan hasil rata-rata ketiga penetapan tersebut sebagai suhu lebur. Jika variasi lebih besar dari 1 derajat, lakukan dua penetapan tambahan dan gunakan hasil rata-rata dari lima penetapan sebagai suhu lebur."

Tiga bahan baku lain yang memiliki spesifikasi sama, yaitu jarak lebur, yang dipilih adalah Amitriptilin Hidroklorida dengan jarak lebur antara 195 derajat dan 199 derajat,  Ketokonazol (148-152 derajat), dan Prokain Hidroklorida (153-158 derajat).




Penentuan jarak lebur ketiga bahan baku tersebut sesuai dengan metode III, sehingga prosedurnya sama seperti Sulfadoksin.

Sulfadoksin dan Amitriptilin Hidroklorida memiliki BM yang hampir sama, dan memilki struktur bangun yang simetris sehingga kedua senyawa tesrsebut memiliki jarak lebur yang hampir sama. Sementara Prokain HCl memiliki BM yang lebih rendah dari Sulfadoksin sehingga jarak leburnya pun juga lebih rendah. Berbeda dengan Prokain HCl, Ketokonazol memiliki BM yang besar, namun jarak leburnya rendah. Hal ini dipengaruhi oleh struktur bangun Ketokonazol yang atom O berikatan dengan atom C yang mengikat gugus piperazin adalah ikatan lemah yang mudah terlepas oleh panas. Tidak seperti Sulfadoksin dan Amitriptilin HCl yang memiliki banyak ikatan hidrogen.

Kemudian mengenai kemurnian kromatografi. Uji kemurinian dilakukan untuk membuktikan bahwa bahan yang diuji bebas dari senyawa asing dan cemaran pada batas tertentu. Pengujian terhadap adanya senyawa asing dan cemaran dimaksudkan untuk membatasi senyawa, sampai pada jumlah yang tidak mempengaruhi bahan utama pada kondisi penggunaan biasa. Pengukuran kemurnian dapat dengan beberapa cara, salah satunya dengan kromatografi baik KLT, KCKT, maupun KG.

Uji kemurnian menggunakan KLT pada Sulfadoksin, hampir sama prosedurnya seperti uji cemaran umum. Hanya saja larutan baku yang diperlukan hanya satu kadar saja yaitu 0,1 mg per ml, sementara larutan uji dibuat pada kadar 20 mg per ml. Bahan baku Sulfadoksin dianggap murni apabila bercak lain selain bercak utama yang diperoleh dari larutan uji tidak lebih besar dan intensif dari bercak larutan baku.

Untuk uji kemurnian kromatografi menggunakan KLT untuk ketiga bahan baku lainnya prinsipnya sama.

Selanjutnya adalah komentar atau penjelasan dari dosen.

Jadi, jika tidak disebutkan pada monografi, suatu bahan baku, penentuan jarak leburnya menggunakan metode III. Untuk memverifikasi, tidak boleh menggunakan metode semau kita, karena tiap senyawa punya karakter masing-masing. Kalau tidak sesuai metode yang digunakannya, maka hasilnya dapat menyimpang, sehingga dapat terjadi pengambilan keputusan yang salah.

"Metode III itu untuk senyawa yang seperti apa?" tanya Pak Hayun. Untuk zat padat. Metode III itu merupakan metode yang paling mudah, Kalau ada bahan baku yang kasar, ya digerus terlebih dahulu. "Senyawa padat yang seperti apa? Yang suhunya di atas 105 derjat, di atas suhu air menguap."

Pipa kapiler itu ada 2 macam, ada yang ujung keduanya terbuka, ada yang salah satunya tertutup. Tapi yang dijual kebanyakan yang pipa kapiler yang kedua ujungnya terbuka. Kalau memang mengharuskan salah satunya tertutup, maka dilakukan penutupan terlebih dahulu, sebagaimana caranya telah dijelaskan sebelumnya.

Alat uji penetapan jarak lebur, pemanasnya ada 2 macam, yaitu yang pemanas balok dan pemanas cairan. Yang paling banyak dijual adalah yang pemanas balok. Sebenarnya kalau yang cairan bisa dibuat sendiri, asal ada termometer, gelas beaker, dan kaca pembesar.

"Kapan digunakan pemanas balok?" Kalau pipa kapiler yang digunkana adalah yang salah satu ujungnya tertutup. Kalau ujung keduanya terbuka, jangan gunakan pemanas balok, karena nanti cairan leburannya akan jatuh dan mengotori baloknya. Jadi lebih baik menggunakan pemanas cairan.

Untuk bahan baku yang harus dikeringkan dahulu, hal itu dilakukan karena bahan bakunya atau senyawanya bersifat higroskopis. Jadi, metode penetapan kadarnya menggunakan metode I, yang ada tahapan pengeringan terlebih dahulu. Jadi bedanya metode I dan metode III itu ada pada penyiapan sampelnya.

Umumnya pada penentuan jarak lebur, sampel senyawa akan terdestruksi, jadi pada pipa kapiler, setelah selesai peleburan, ujung pipa kapilernya akan berwarna hitam, warna dari senyawa yang telah rusak.

Ada juga senyawa yang jarak leburnya rendah sehingga ketika digerus bisa meleleh. Untuk yang seperti ini tidak bisa menggunakan metode I, II, atau III, seperti Oleum Cacao, metode yang sesuai adalah yang metode IV/V. Bedanya pada metode IV, pengamatan dilakukan saat suhu kapiler menaik, sementara metode V saat mulai menetes.

Metode II itu digunakan untuk penentuan jarak lebur pada bahan baku padat, yang pada suhu kamar digerus dapat meleleh. Jadi, penggerusan dilakukan pada suhu di bawah jarak leburnya. Misalnya dalam ice bath atau lumpang yang didinginkan. Jadi tidak meleleh dan bisa menjadi serbuk, lalu mudah dimasukkan ke dalam pipa kapiler yang ujung satunya tertutup.

Mengenai penggunaan kromatografi, hampir sama dengan uji cemaran umum pakai KLT. Lalu bedanya apa uji cemaran umum dengan kemurnian kromatografi dengan KLT? Uji cemaran, kadar sampel bisa berbeda-beda antara yang satu dengan yang lain, tergantung dari karakteristik penampakkannya, ada yang dengan kadar sedikit saja sudah kelihatan, ada yang membutuhkan kadar dalam jumlah banyak baru kelihatan. Beda baku pembandingnya juga, ada yang butuh 4 baku pembanding, ada yang satu saja cukup. Sistem kromatografinya pun juga berbeda. (Tetapi terkait dengan hal ini, saya masih bingung, apa benar yang saya catat mengenai penjelasan perbedaan uji cemaran dan kemurnian kromatografi? Atau penjelasannya terbalik, berhubung saya ragu dengan catatan saya, jadi saya mohon maaf apabila salah. Silakan cari dari sumber yang lain untuk memperoleh penjelasan yang benar).

Penggunaan kromatografi sangat penting. Apabila dalam spesifikasi bahan bakunya ada pengujian dengan KLT ini, maka pengujian ini menjadi prioritas. Untuk verifikasi, mutlak dilakukan. Berhubung suatu senyawa memiliki potensi besar terurai akibat berbagai macam faktor.

Kalau dilihat dari struktur, tidak sestabil senyawa pada umumnya. Karena senyawa golongan sulfonamida, ester, dan sebagainya mudah mengalami degradasi. Jadi, perlu konfirmasi beanr atau tidaknya terdapat degradasi.

Demikian yang dapat saya sampaikan. Terima kasih untuk kelompok 2 yang terdiri dari Azizah, Dianah, Riah, Mel, Lia, dan Era yang telah mempresentasikan tugas kedua ini dengan baik. Mohon maaf apabila terdapat kesalahan. Semoga bermanfaat dan terima kasih sudah berkunjung :D

Catatan Analisis Farmasi #3

[Sumber Gambar: nadjeeb.wordpress.com]

Pada catatan ini, akan dibahas tugas yang diberikan oleh dosen. Tugas pertama mengenai spesifikasi dari Piridostigmin Bromida terkait dengan identifikasi dan uji cemaran umumnya. Ditambah tugas lainnya yaitu mencari 3 bahan baku lain yang memiliki spesifikasi yang sesuai. Yang mempresentasikan tugas ini adalah kelompok 1, saya termasuk ke dalam kelompok 1.

Piridostigmin Bromida.



Piridostigmin bromida memiliki aksi sebagai inhibitor kolinesterase yang digunakan untuk meningkatkan kekuatan otot pada pasien dengan penyakit otot tertentu (miastenia gravis). Zat ini bekerja dengan mencegah pemecahan asetilkolin dalam tubuh. Asetilkolin ini dibutuhkan dalam menjalankan fungsi normal otot. 

Berdasarkan Farmakope Indonesia Edisi V, identifikasinya terdiri dari:
  1. Spektrum serapan inframerah zat yang telah dikeringkan dan didispersikan dalam kalium bromida P menunjukkan maksimum hanya pada bilangan gelombang yang sama seperti pada Piridostigmin Bromida BPFI.
  2. Spektrum serapan ultraviolet larutan (35 mikrogram per ml) dalam asam klorida 0,1 N menunjukkan maksimum dan minimum pada panjang gelombang yang sama seperti pada Piridostigmin Bromida BPFI; serapan jenis masing-masing, dihitung terhadap zat yang telah dikeringkan pada panjang gelombang serapan maksimum lebih kurang 269 nm berbeda tidak lebih dari 3,0%.
  3. Masukkan lebih kurang 100 mg zat ke dalam tabung reaksi, tambahkan 0,6 ml natrium hidroksida 1 N: terjadi warna jingga. Panaskan: warna berubah menjadi kuning dan uap larutan membirukan kertas lakmus merah P.
  4. Larutan (1 dalam 50) menunjukkan reaksi Bromida cara A dan B seperti tertera pada Uji Identifikasi Umum <291>.
Mengenai identifikasi berdasarkan spektrum inframerah, di bawah ini adalah spektrum inframerahnya,


 Di bawah ini adalah spektrum UV Piridostigmin Bromida.


Sebelumnya dijelaskan bahwa larutan menunjukkan reaksi Bromida cara A dan B, yaitu: 
A) Tambahkan klor  LP tetes demi tetes terjadi brom bebas yang larut dalam kloroform P pada pengocokan menghasilkan lapiran kloroform merah hingga coklat kemerahan.
B) Tambahkan AgNO3 LP membentuk endapan putih kekuningkan yang tidak larut dalam HNO3 P dan sedikit larut dalam NH4OH 6 N.

Uji cemaran umum yang tertera pada masing-masing monografi digunakan untuk menilai profil cemaran suatu bahan. Cemaran didefinisikan sebagai bahan yang ada dalam senyawa obat/atau sediaan obat dalam jumlah tertentu yang memiliki aktivitas biologis yang tidak diinginkan. Cemaran ini dapat timbul akibat sintesis, proses pembuatan sediaan, atau peruraian bahan. Dalam beberapa kasus, cemaran yang berisiko terhadap kesehatan dapat diidentifikasi. Dalam hal ini, masing-masing cemaran tidak diidentifikasi, uji terpisah mungkin diperlukan untuk memastikan bahwa cemaran yang diidentifikasi telah memenuhi persyaratan batas seperti yang tertera dalam definisi cemran umum. Pemilihan uji dan penetapan kadar memungkinkan untuk menetapkan jumlah cemaran yang dapat diterima pada suatu bahan yang digunakan (Departemen Kesehatan RI, 2014). 

Jika pada monografi tertera batas komponen tertentu dan/atau cemaran atau produk terurai yang dapat diidentifikasi, cemaran umum tidak termasuk dalam perhitungan total cemaran kecuali dinyatakan lain dalam monografi. Komponen yang ada bersama-sama dalam bahan didefinisikan sebagai bahan tertentu dari sediaan oabt yang tidak dianggap sebagai cemaran dalam konteks farmakope. Contoh komponen yang ada bersama-sama dalam pembahasan ini adalah campuran isomer geometrik dan optik (rasemat) dan antibiotik. Komponen lain yang dianggap toksik karena efek biologis tertentu yang tidak diinginkan tidak disebut sebagai komponen yang ada bersama-sama dengan bahan (Departemen Kesehatan RI, 2014).

Pada monografi, uji cemaran Piridostigmin Bromida menggunakan penjerap berupa lempeng selulosa dengan indikator fluoresen, larutan uji dilarutkan dengan pelarut metanol P, larutan baku juga dilarutkan dengan pelarut metanol P, fase gerak berupa campuran metanol P-air (1:1) dan penampak bercak  no. 1 yaitu cahaya ultraviolet pada 254 nm dan 366 nm. Untuk informasi saja, dalam hal ini ada  22 penampak bercak pada bagian Lampiran, tiap zat berbeda penampak bercaknya sesuai dengan yang tertera pada monografi, atau bisa juga di luar 22 penampang bercak tersebut, yaitu ditulis secara khusus penampang bercaknya di monografi (Departemen Kesehatan RI, 2014). 



Metode uji cemaran umum Piridostigmin Bromida terdiri dari beberapa tahapan:
  1. Perhitungan persentase jumlah cemaran umum ditetapkan dengan metode relatif yaitu dengan membandingkannya dengan baku pembanding Piridostigmin Bromida BPFI.
  2. Uji cemaran umum menggunakan teknik kromatografi lapis tipis.
  3. Larutan uji dibuat saksama dalam pelarut metanol P hingga diperoleh +/- 10 mg per ml.
  4. Larutan baku dibuat saksama yaitu Piridostigmin Bromida BPFI dalam pelarut metanol P hingga kadar 0,01; 0,05; 0,1; dan 0,2 mg per ml.
  5. Lakukan KLT menggunakan lempeng selulosa dengan indikator fluoresen setebal 0,25 mm dan fase gerak metanol P-air (1:1).
  6. Totolkan secara terpisah sejumlah volume yang sama +/- 20 mikroliter Larutan uji dan larutan baku, gunakan aliran nitrogen P untuk mengeringkan bercak. 
  7. Masukkan lempeng ke dalam bejana kromatografi yang telah dijenuhkan dengan fase gerak hingga merambat +/- tiga per empat tinggi lempeng.
  8. Angkat lempeng, keringkan di udara.
  9. Amati lempeng menggunakan cahaya ultra violet pada 254 nm dan 366 nm.
  10. Tentukan intensitas relatif bercak lain selain bercak utama Larutan uji dengan membandingkannya terhadap kromatogram larutan baku.
Pemilihan pelarut yang digunakan dalam larutan uji dan baku serta fase gerak didasarkan atas sifat Piridostigmin Bromida yang bersifat polar. Senyawa ini polar karena adanya ikatan dengan gugus halida berupa ion Bromida. Pada KLT, zat penjerap dapat berbagai macam (silika gel, tanah diatom, atau serbuk selulosa) tergantung sifat dari senyawa uji (Harmita, 2006). Berhubung senyawa uji bersifat polar, maka zat penjerap yang ditetapkan pada monografi berupa lempeng selulosa yang bersifat nonpolar. Selain itu penjerap yang digunakan juga disertai dengan adanya indikator fluoresen. Indikator fluoresen ditambahkan karena sifatnya yang dapat menyerap cahaya ultraviolet sehingga dapat membantu dalam penampakkan bercak (Departemen Kesehatan RI, 2014).

Uji cemaran umum ini menggunakan teknik KLT. Teknik KLT sangat bermanfaat untuk analisis obat dan bahan lain dalam laboratorium karena hanya memerlukan peralatan sederhana, waktu cukup singkat (15-60 menit), jumlah zat yang diperiksa cukup kecil, tidak diperlukan ruangan yang besar, dan teknis pengerjaannya sederhana (Harmita, 2006). Seperti pada senyawa lainnya, persyaratan jumlah cemaran umum pada Piridostigmin bromida tidak lebih dari 2,0%.

Perhitungan persentase jumlah cemaran umum dapat dilakukan dengan menentukan intensitas relatif bercak lain selain bercak utama Larutan uji dengan membandingkan terhadap kromatogram Larutan baku. Setelah dilakukan perhitungan persentase jumlah cemaran, dapat disimpulkan bahwa bahan baku Piridostigmin Bromida yang diuji memenuhi persyaratan atau tidak.

Tiga bahan baku lain yang memiliki spesifikasi identifikasi dan cemaran umum antara lain Noskapin, Antipirin, dan Apomorfin Hidroklorida. 

Noskapin diidentifikasi juga dengan membandingkan spektrum IR dan UV-nya terhadap baku pembanding. Identifikasi lain yaitu dengan menggunakan 100 mg zat dalam cawan porselen kecil, ditambahkan beberapa tetes asam sulfat P, diaduk, maka akan terjadi larutan berwarna kuning kehijauan dan pada penghangatan menjadi merah kemudian menjadi ungu. Sementara uji cemaran umum Noskapin, menggunakan metode KLT, lempengnya silica gel, larutan baku dan ujinya menggunakan pelarut kloroform P, fase geraknya campuran etil asetat P-eter (80:20), dan penampak bercaknya nomor 17. Penampak bercak no. 17 yaitu dengan meletakkan lempeng selama 10 menit dalam bejana tertutup yang telah dijenuhkan dengan uap iodium dan pada dasar bejana terdapat hablur iodium P. Pengenceran larutan baku yang dibuat yaitu 0,01; 0,05; 0,1; dam 0,2 mg per ml. Rf bercak utama larutan uji sesuai dengan Rf larutan baku. Tidak ada becak lain selain bercak utama yang lebih besar dari batas yang diperbolehkan yaitu 1%. 

Antipirin juga diidentifikasi dengan membandingkan spektrum IR dan UV-nya terhadap baku pembanding. Ditambah dengan identifikasi lain yaitu pada larutan ditambahkan asam tanat LP, maka akan terbentuk endapan putih. Sementara pada uji cemarannya, digunakan metode KLT, lempeng silica gel, larutan baku dan uji menggunakan pelarut kloroform P, fase gerak berupa campuran kloroform P-aseton butil alkohol P-asam format P (60:15:15:15), penampak bercak nomor 1.

Apomorfin Hidroklorida, identifikasinya membandingkan spektrum IR terhadap baku pembanding. Identifikasi lain yaitu larutan zat dalam asam nitrat P, terjadi warna ungu gelap. Sementara uji cemarannya, menggunakan metode KLT, lempeng silica gel, larutan baku dan larutan uji menggunakan pelarut metanol P, fase gerak berupa campuran 1-butanol p-air-asam format (7:2:1), penampak bercak dibuat dengan campuran segar besi (III) klorida P 10%-kalium heksasianoferat (III) P 5% (2:1). Persyaratan tidak ada bercak lain selain bercak utama yang lebih besar dari batas yang diperbolehkan yaitu 2%. 

Selanjutnya, mendapat beberapa tambahan penjelasan, evaluasi, dan komentar dari dosen.

Pada bagian mutu di industri farmasi, meskipun bahan baku telah diterima, harus ada CoA-nya. Kita tidak boleh percaya begitu saja terhadap CoA yang diterima, kita harus melakukan verifikasi CoA. Namun, tidak perlu seluruh parameter diuji. Parameter-parameter khusus saja yang perlu diuji, misalnya identifikasi, kadar, dan lainnya. Pada penetapan kadar perlu diperhatikan untuk zat yang bersifat hidgroskopis. Penetapan kadar tergantung monografi, biasanya diukur setelah dikeringkan. Seandainya diukur tanpa pengeringan, bisa menjadi persoalan seperti tidak memenuhi persyaratan. Jadi, untuk zat yang seperti ini, susut pengeringan penting untuk dilakukan,  

Tidak harus selalu semua parameter harus diuji ketika menerima bahan awal dari supplier. Pemeriksaan semua parameter itu hanya ketika dalam rangka tindakan audit pemasok. Kalau sudah oke, selama tiga kali berturut-turut sesuai, maka kita bisa mengurangi sedikit demi sedikit parameter yang diujinya. Misalnya seperti uji cemaran umum, dilakukan pada saat pertama kali saja, untuk berikutnya kalau sudah percaya, tidak perlu dilakukan kembali.

Tetapi soal identifikasi dan penetapan kadar harus selalu diverifikasi. Identifikasi tidak cukup dengan satu jenis pengujian. Misalnya hanya dengan spektrum IR saja. IR saja tidak cukup, jadi perlu ditambah uji-uji lain untuk menyatakan bahwa bahan yang diterima benar adalah senyawa itu. 

Menarik untuk Piridostigmin Bromida, berbeda dengan morfin yang padahal 1 golongan alkaloid juga. Morfin cukup dengan menunjukkan maksimum dan mininum dari panjang gelombangnya saja. Tetapi untuk Piridostigmin Bromida, juga termasuk senyawa lain yang mengandung Bromida, harus ditentukan serapan jenis juga. Misalnya hanya mengukur panjang gelombang maksimum dan minimum, uji kualitatif saja cukup, tidak perlu ditimbang. Tapi kalau tidak hanya itu, pengukuran serapan jenis, perlu ditimbang dengan saksama, secara kuantitatif. 

Serapan jenis disimbolkan dengan A (1%, 1 cm) merupakan serapan dari larutan 1% zat terlarut dalam sel dengan ketebalan 1 cm. Harga serapan jenis pada panjang gelombang tertentu dalam suatu pelarut merupakan sifat dari zat terlarut. Sementara serapan molar disebut juga dengan koefisien atenuasi molar atau koefisien ekstinsi molar, merupakan pengukuran seberapa kuat spesies kimia melemahkan cahaya pada panjang gelombang tertentu. Ini merupakan sifat intrinsik dari suatu spesies. satuannya adalah meter persegi per mol (m2/mol), tetapi dalam praktiknya biasa digunakan L.mol-1.cm-1. 

Jadi, kenapa adanya kandungan Bromida harus dilakukan pengukuran serapan jenis? Padahal diketahui bahwa serapan yang muncul adalah dari senyawa organiknya yaitu Piridostigmin, bukan dari Bromidanya. Lalu kenapa? Karena jika dibandingkan dengan Klorida, dengan adanya kandungan Bromida, bobot molekulnya jauh sekali berbeda. Jadi sumbangan bobot molekul Bromida terhadap bobot molekul total besar sekali dibandingkan dengan Klorida. Jadi kesalahan akan perbandingannya sangat menentukan serapan jenisnya. Antara Piridostigmin dengan Bromida adalah 1:1, kalau terjadi penyimpangan menjadi 1:2 maka akan sangat berpengaruh terhadap serapan jenisnya. 

Secara garis besar, uji cemaran umum itu prosedurnya sama untuk tiap sampel, hanya saja yang berbeda adalah sistem kromatografinya, terkait dengan pelarut dan fase geraknya. Penampak bercak juga berbeda. Meskipun demikian, harus dilakukan konfirmasi, apakah fase gerak ini benar-benar bisa memisahkan antara uji dengan bercak cemaran. Karena tidak mungkin suatu sampel tidak ada cemarannya sama sekali, jadi harus ada bercak yang terpisah. Jika tidak ada yang terpisah, artinya ada yan salah dari sistem kromatografinya, atau pengerjaannya yang salah. Lakukan lagi berulang-ulang sampai diperoleh ada yang terpisah. 

Untuk menentukan besarnya persentase cemaran, dapat dibandingkan dengan intensitas bercak Larutan baku. Berdasarkan metode yang telah disebutkan di atas untuk Piridostigmin Bromida, larutan baku dibuat dengan kadar  0,01; 0,05; 0,1 dan 0,2 mg per ml, dikonversi ke persen, berapa persen kadar-kadar itu terhadap larutan sampel. Larutan sampel yang dibuat adalah 10 mg/ml. Artinya untuk kadar 0,01 mg/ml dibagi 10 mg/ml dikali 100%, sama dengan 0,1%. Jadi urutan persentase larutan kadarnya antara lain 0,1%, 0,5%, 1%, dan 2%. 


Misalnya hasil elusi ditunjukkan penampakkan bercak pada gambar di atas. Terdapat dua bercak dengan ukuran yang sama dengan kadar larutan baku 0,1%, maka jumlah persentase dua bercak lain selain bercak utama adalah 0,1% + 0,1% sama dengan 0,2%. Maka, memenuhi persyaratan uji cemaran umum, yaitu jumlah cemaran umum tidak lebih dari 2,0%. 

Penentuan jumlah persentase cemaran tidak mengharuskan harus memiliki KLT-densitometri, jadi dengan pengamatan saja, membandingkan intensitas bercak lain pada sampel terhadap bercak standar sudah cukup. 

Sekian untuk pembahasan tugas pertama yang disampaikan oleh kelompok 1. Terima kasih kepada teman-teman atas kerja kerasnya mengerjakan tugas dengan baik yaitu Mayang, Kikay, Acid, Ismi, dan Angelina. Mohon maaf apabila terdapat kesalahan. Semoga bermanfaat dan terima kasih sudah berkunjung :D

Monday, October 12, 2015

Catatan Farmasi Industri #5

[Sumber Gambar: millenialpastor.net]

Bisa dikatakan ini adalah pertemuan terakhir sebelum UTS. Bersama dengan Pak Lutfi, mempelajari dokumentasi, sanitasi, dan higienitas. Dokumentasi merupakan suatu bagian dari sistem informasi manajemen untuk perencanaan, pelaksanaan/penerapan, penyelidikan/pengendalian, dan evaluasi. Sistem dokumentasi harus dievaluasi secara berkala untuk menetapkan prosedur sesuai dengan yang diterapkan. Jadi, ada evaluasi pada periode tertentu. Ini berlaku juga dalam menjamin mutu, maka setiap proses harus ada sistem dokumentasi.

Di samping itu, dokumentasi juga dimaksudkan utnuk menggambarkan riwayat lengkap dari suatu bets lot suatu produk (obat) (mulai dari proses penimbangan, pencetakan, pengemasan, sampai disimpan), sehingga memungkinkan penyelidikan dan penelusuran kembali, serta diperlukan untuk memonitor dan mengendalikan bangunan, fasilitas, peralatan, dan personil. Pada hal dokumentasi, harus bisa memahami CPOB dari Bab 1 hingga 12, jadi harus bisa melihat regulasi yang berlaku, serta harus memiliki petunjuk teknis CPOB. Petunjuk teknis atau operasional itu akan memudahkan. Di Indonesia, telah dibuat lengkap. 

Dokumentasi didesain dan dibuat agar dapat digunakan dengan mudah, benar, dan efektif. Mudah artinya, sistem harus bisa dikerjakan oleh orang lain, kalau orang lain tidak bisa mengerjakan maka belum baik dokumentasinya. Dokumentasi mencakup seluruh data yang dipelrukan dan diperbarui secara berkala. Perlu adanya penanganan penyimpanan dokumen. Hal ini berkaitan dengan adanya suatu dokumen yang telah diperbaiki, maka dokumen yang lama harus ditandai dan ditarik, dimusnahkan, atau ditanggulangi dengan cara yang lain, untuk memastikan bahwa dokumen yang digunakan adalah dokumen terbaru, bukan yang lama. Mengenai dokumen jenis instruksi atau prosedur seperti protap atau metode analisis harus dibuat dengan jelas, tidak berarti ganda, dalam modus perintah, disusun sesuai urutan langkah (jangan sampai ada tahap yagn terlewat), serta mudah dipahami oleh pelaksana.

Dokumen juga harus diberi tanggal dan tanda tangan untuk otorisasi, mencakup penerima kopi. Contoh prosedur pengolahan induk, ketika masternya dicopy, maka copynya pun harus disahkan, sebelum disahkan, diperiksa kebenarannya oleh orang yang berotoritas. Jadi dokumen yang dicopy tidak boleh asal digunakan atau disebar, harus disahkan terlebih dahulu.

Dokumentasi harus tersedia bagi semua pihak yang bersangkutan. Jadi, tidak boleh hanya disimpan pada satu lemari arsip, tiap area harus memiliki dokumentasi yang bersangkutan. Misalnya di area produksi, orang yang ada di area produksi harus memiliki seluruh dokumentasi terkait produksi. Agar dokumennya terjangkau. 

Apabila terjadi kesalahan pada penulisan dokumentasi, ada mekanisme koreksinya, tidak boleh asal dihapus dengan tip X atau sejenisnya. Jadi harus dilakukan sedemikian rupa sehingga entri data sebelumnya tidak hilang dan diletakkan rapat dengan entri pertama, serta perlu adanya identitas orang yang melakukan koreksi dan tanggal koreksinya. Misalnya, data entri pertama dicoret, lalu diberikan perbaikannya serta dibubuhi paraf, nama, dan tanggal yang mengkoreksinya. Dokumentasi juga perlu disimpan selama jangka waktu yang ditentukan sesuai dengan kebutuhan.

Di bawah ini adalah dokumentasi-dokumentasi yang diperlukan pada tiap aktivitas:
  1. Untuk aktivitas produksi dibutuhkan dokumen produksi induk, prosedur pengolahan induk, prosedur pengemasan induk, protap pengoperasian mesin, pembersihan, dan lainnya. Dokumen produksi induk tidak sama dengan prosedur pengolahan induk. Dokumen produksi induk merupakan master dokumen yang terdiri dari formula, spesifikasi, dan semuanya yang terkait, sementara pada prosedur pengolahan induk hanya cara pembuatan obat sampai pengemasan saja. Jadi sebenarnya prosedur pengolahan induk itu bagian dari dokumen produksi induk, karena biasanya prosedur pengolahan induk menjadikan dokumen produksi induk sebagai acuan.
  2. Untuk aktivitas pengawasan mutu, diperlukan dokumen spesifiaksi (bahan/produk), prosedur pengambilan contoh (bisa contoh bahan baku atau pengemas), metode pengujian, catatan analisis (catatan analisisnya bisa berupa lab report), sertifikat analisis (CoA harus lengkap karena dibutuhkan untuk kegiatan internal maupun eksternal seperti pada saat pengiriman barang ke customer yang membutuhkan), catatan uji stabilitas, dan lainnya.
  3. Untuk aktivitas penyimpanan dan distribusi, diperlukan dokumen protap penanganan bahan awal dan obat jadi, catatan persediaan (kalau di apotek catatan persediaan disebut kartu stok, kalau di industri disebutnya warehouse management), catatan distribusi (pengiriman biasanya lewat PBF, jadi yang dicatat seberapa banyak yang dikirim termasuk yang ke customer), dan lainnya.
  4. Untuk aktivitas pemastian mutu, untuk yang selama operasi pembuatan dibutuhkan protap penyelidikan terhadap kegagalan, protap penanganan bahan yang ditolak, protap monitor kebersihan ruangan, protam inspeksi diri, dan protap penanganan obat. Sementara dokumen yang dibutuhkan setelah operasi pembuatan antara lain protap penanganan keluhan pasca distribusi, protap penarikan kembali obat jadi, protap penanganan obat kemasan, dan lainnya.
Selanjutnya akan dibahas mengenai 3 dokumen spesifik yaitu prosedur tetap (protap),dokumen produksi induk, dan pencatatan.

Protap merupakan instruksi tertulis yang rinci untuk mencapai pelaksanaan yang sama atau seragam dari suatu fungsi/pekerjaan spesifik. Intinya adalah suatu instruksi. Kalau terkait dengan penyebutan namanya bisa berbeda-beda, ada yang menyebut SOP dan lainnya. Namun kalau berdasarkan CPOB disebutnya protap. 

Protap merupakan instruk tertulis yang rinci dan menentukan cara melakukan suatu pengujian/prosdur adminstratif, cara mengoperasikan suatu peralatan (di industri ada cukup banyak peralatan yang digunakan, tidak hanya cara mengoperasikan, tapi juga cara membersihkannya), cara merawat suatu peralatan/fasilitas, dan cara mengalibrasi suatu alat pengukur. Yang dikalibrasi ada banyak, misalnya suhu, gaya, dan lainnya. Jadi, harus ditetapkan cara kalibrasinya. Kalibrasi bisa dilakukan secara internal oleh pihak yang terlatih, atau secara eksternal dengan melibatkan pihak ketiga. 

Protap itu menyatakan cara melakukan suatu hal, cara memutakhirkan suatu, dan cara merevisi suatu hal. Serta menguraikan pula cara menulis, cara merevisi, cara menyetujui, dan pengendalian distribusi protap. Contohnya ada protap terkait pengemasan, perlu diidentifikasi ada berapa bagian yang membutuhkan protap ini. Misalnya ada 9 ruangan. Hal ini harus dikendalikan, terkait siapa yang menerima, jadi kalau misalnya ada update akan mudah menariknya. 

Dokumen spesifik yang kedua adlah dokumen produksi induk. Ada berbagai macam istilah terkait dokumen ini. Kalau berdasarkan CPOB prosedur pengolahan induk, catatannya disebut Catatan Pengolahan Bets. Untuk prosedur pengemasan induk, catatannya disebut Catatan Pengemasan Bets. Sementara kalau berdasarkan WHO, yang disebut master formula, catatannya disebut Batch Processing Record.

Dokumen spesifik yang ketiga, yaitu pen(catatan), ada empat jenis, yaitu (1) catatan (pengolahan/pengemasan) bets (order pendamping/formulir permintaan). Order pendamping itu terkait berapa yang harus diproduksi, misalnya dapat permintaan dari supply shain 100.000 tablet, maka harus dikonversi, apabila 1 bets itu 10.000 tablet maka dibutuhkan 10 bets. (2) Formulir-formulit perusahaan, (3) buku catatan laboratorium, dan (4) lembaran kerja laboratorium.

Terdapat peraturan dalam mebuat pencatatan yang berlaku untuk semua personil, yaitu:
  1. Catat seluruh informasi dan data hanya di atas dokumen yang ditentukan.
  2. Laksanakan semua entri yang ditulis tangan sehingga mudah terbaca. Catatan harus selalu rapi dan jelas.
  3. Isi seluruh ruangan kosong yang telah disediakan pada catatan, formulir, atau lembar kerja.
  4. Jangan pakai potongan kertas atau lembaran "post it" untuk mencatat raw data atau informasi apapun. Jadi harus langsung isi.
  5. Jangan gunakan pensil. Umumnya menggunakan pulpen.
  6. Gunakan pena berwarna hitam untuk mencatat data dan informasi. Tetapi, sebagian besar menggunakan warna biru.
  7. Jangan gunakan "white out" untuk menghilangkan kesalahan pad anagka atau kata, Itu aturan koreksi yang benar seperti yang telah dijelaskan sebelumnya.
  8. Beri paraf atau tanda tangan pada tanggal di atas print out yang dilampirkan ke suatu catatan. Harus diperiksa apa yang ditanda tangan sudah jelas atau belum identitas dan informasinya. Misalnya itu adalah catatan hasil penimbangan, periksa apakah ada keterangan nama bahan yang ditimbang dan sebagainya.
  9. Beri paraf atau tanda tangan dan tanggal pada fotokopi informasi untuk menjamin keasliannya, cap hasil fotokopi dengan cap yang digariskan sesuai ketentuan dalam kebijakan perusahaan.
  10. Semua kalkulasi dikaji ulang, diberi paraf dan tanggal oleh petugas kedua yang mengerti dan menguasai hal tersebut.
  11. Catat semua penyimpangan sesuai ketentuan dalam protap secara langsung.
  12. Setelah menyelesaikan suatu pengujian atau suatu halaman, beri tanda tangan dan tanggal pada halaman bersangkutan. Orang yang memberi tanda tangan atau paraf pemeriksa kedua adalah yang menegaskan bahwa dia benar-benar telah menyaksikan kegiatan yang dilaksanakan (misalnya, penimbangan), dan secara pribadi tela hmemeriksa. Jadi bukan asal "teken", harus benar-benar menyaksikan prosesnya. Jadi misal pada saat produksi, akan selalu ada orang kedua yang menyaksikan.
Protap/dokumen yang diperlukan untuk bahan baku antara lain (1) spesifikasi atau kode nomor produk, (2) persetujuan pemasok, (2) penerimaan dan penyimpangan, (3) prosedur pengambilan contoh, (4) pengujian pengawasan mutu, inspeksi, (5) karantina, pelulusan dan persetujuan. 

Sementara protap/dokumen yang diperlukan untuk bangunan dan fasilitas antara lain (1) pengoperasian sistem (misalnya pengendalian udara, air, uap murni), (2) perawatan dan kalibrasi, (3) pembersihan fasilitas, (4) monitor lingkungan kerja, (5) keluar-masuk ruang bersih, (6) mengenakan pakaian kerja, (7) alur produk, (8) alur bahan awal, (9) alur personil, (10) aliran udara, (11) alur dan pemusnahan limbah, (12) pencucian dan sterilisasi pakaian, (12) pencucian dan sterilisasi peralatan gelas, (13) desinfeksi dan fumigasi, serta (14) penanggulanan hama. 

Protap/dokumen yang diperlukan untuk peralatan produksi dan pengawan mutu antara lain (1) pengoperasian (alat dan mesin), (2) pembersihan/sterilisasi, (3) pembuatan larutan pembersih, (4) penanganan sisa produk dan bahan permbersih, (5) perawatan preventif (harus ada prosedur perawatan secara berkala pada mesin, karena mesin itu sangat mempengaruhi kualitas jika tidak ditangani dengan baik), (6) kalibrasi, (7) verifikasi harian timbangan (dilakukan verifikasi, biasanya dilakukan pada pagi hari sebelum peralatan digunakan). 

Protap/dokumen yang diperlukan untuk produksi antara lain (1) dokumen produksi induk, (2) prosedur pengolahan induk, (3) catatan pengolahan bets, (4) prosedur pengemasan induk, (5) catatan pengemasan bets, (5) pengujian selama proses (produksi), dan (6) pembuatan dapar proses dan larutan.

Protap/dokumen yang diperlukan untuk pemberian label dan pengemasan antara lain (1) kaji ulang dan pengendalian label dan kemasan, (2) spesifikasi, (3) perukunan (rekonsiliasi) label, dan (4) tanggal kadaluarsa.

Protap/dokumen yang diperlukan untuk pengawasan mutu antara lain (1) pengujian obat jadi, TM, PM, Produk antara/produk ruahan, (2) pengambilan dan penanganan sampel: pengujian dan pertinggal (terkait berapa banyak sampel, diambil oleh siapa, dan pada bets ke berapa), (3) penanganan OOS (Out of Strength dan OOT (Out of Tren) (hal ini harus diinvestigasi penyebabnya, (4) pengambilan contoh dari lingkungan, (5) pembuatan ringkasan hasil uji pengawasan mutu (CoA) (harus ada protap, menentukan parameter apa saja yang harus ada di CoA), (6) studi stabilitas (terkait suhu penyimpanan, metodenya, cara pengambilan, penyimpanan, paramater apa saja yang diperiksa, format protokol dan pelaporan, biasanya mengacu pada Asian Guideline Format), (7) resertifikasi/rekalibrasi peralatan pengawasan mutu, serta (8) pembuatan pereaksi dan bahan untuk pengawasan mutu.

Protap/dokumen yang diperlukan untuk pemastian mutu antara lain (1) pembuatan protap (karena ada banyak protap yang harus dibuat, jadi harus ada protap untuk pembuatan protap supaya selaras formatnya,  jadi diharapkan tidak akan ada banyak versi protap, lalu ditentukan siapa yang mensahkan protap), (2) pengkajian/peninjauan catatan bets, (3) inspeksi diri (dapat dilakukan secara internal secara berkala, misalnya bulan pertama yang diinspeksi bagian produksi, bulan kedua bagian pengawasan mutu, dan seterusnya), (4) pelaksanaan validasi (terkait RIV (Rencana Induk Validasi), protokol, laporan dan seterusnya,  jadi harus diaturm misalnya validasi proses pembuatan sirup, bagaimana yang harus dilakukan, apa saja yang harus diuji, apa saja yang tahapan pembuatan, dan seterusnya), (5) penanganan keluhan, terhadap obat jadi dan penarikan kembali obat, (6) audit kontraktor dan pemasok (keduanya harus diaturr dalam hal pemilihan kontraktor atau pemasok, untuk mengetahui bisa atau tidaknya mereka memenuhi ekspektasi kita, lalu perlu direview secara berkala. Kalau bagus diusulkan sebagai qualified vendor, jika jelek maka dievaluasi dan untuk ke depannya mau bagaimana). 

Masih ada yang ke (6) pembuatan, pengendalian, revisi dan distribusi dokumentasi, (7) catatan mengenai karyawan, catatan kesehatan (jadi karyawan dimonitor, dilakukan tes kesehatan lengkap seperti berat badan, kolesterol, pendengaran, kondisi paru-paru, Kondisi pendengaran sangat penting diperiksa, terutama yang bekerja di bagian produksi, karena mesinnya amat berisik sehingga dapat mempengaruhi fungsi pendengaran. Oleh karena itulah, setiap yang bertugas harus dilengkapi dengan APD atau alat pelindungan diri), (8) pelatihan (teknik dan CPOB), (9) penanganan penyimpangan (contoh penyimpangan, misalnya saat produksi, waktu mixing terlalu lama akibat kelamaan ngobrol, sehingga lupa dimatikan pada waktunya, maka harus dikaji apa risiko yang akan muncul, apakah partikel dapat berubah, apa dampaknya, apakah tabletnya akan menjadi lengket dan tidak mau mengalir, seperti apa profil kekerasannya, itu semua yang dibahas, lalu penanganannya akan seperti apa), (10) pengendalian perubahan, (11) monitor suhu penyimpangan, (12) prosedur distribusi produk dan catatan distribusi, serta (13) pelulusan, penolakan, dan penyimpanan obat jadi. 

Sampai di situ pembahasan mengenai dokumentasinya.

Selanjutnya dibahas mengenai sanitasi dan hieginitas. Prinsipnya adalah bahwa setiap aspek pembuatan obat harus menerapkan tingkat sanitasi dan higienitas yang tinggi. Ruang lingkup sanitasi dan higienitas meliputi personil, bangunan, peralatan dan perlengkapan, bahan produksi serta wadahya, dan segala sesuatu yang dapat merupakan sumber pencemaran produk.  Sumber pencemaran potensial harus dihilangkan melalui suatu program sanitasi dan hieginitas yang menyeluruh dan terpadu.

Terkait hieginitas perorangan, perlu diketahui ada banyak sekali sumber kontaminasi dari manusia, mulai dari rambut, hidung, mulut, baju dan seluruh permjkaan kulit yang terbuka, sepatu, tangan, kuku dan telinga. Pada dasarnya tiap manusia dapat menyebarkan 600.000 partikel per menit. Itulah kenapa saat pengukuran jumlah partikel perlu juga diukur pada at rest tidak hanya pada at operational. Jadi, pada saat istirahat saja, pasti ada sejumlah partikel yang ada. Terkait dengan hal ini, oleh karena itu, tidak boleh menggunakan perhiasan yang berlebihan serta make up yang berlebihan. Jika ada perhiasan harus dilepas. 

Dengan demikian perlu ada suatu program hieginitas perorangan. Program tersebut harus dibuat secara rinci. Program ini akan terkait dengan sejumlah persyaratan seperti harus mengenakan pakaian pelindung (berlaku bagi semua personil yang memasuki area produksi), mengenakan pakaian pelindung yang sesuai dengan kegiatan yagn dilaksanakannya (menjamin perlindungan produk dari pencemaran dan untuk keamanan personil), prosedur dipahami dan dipatuhi secara ketat oleh setiap personil, serta perlu untuk menghindari persentuhan langsung antara tangan operatur dengan bahan awal, produk antara, produk ruahan yang terbuka, serta bagian peralatan yang bersentuhan dengan produk (jadi tidak boleh melap kontainer dengan tangan langsung, harus pakai sarung tangan dan lap pembersih). Oleh karena itu juga, terkait dengan kesehatan, harus ada kontrol secara berkala, personil tidak boleh bekerja di area produksi apabila berpenyakit kulit, atau berpenyakit saluran pernafasan, baru boleh kembali bekerja setelah benar-benar sembuh dari penyakitnya. 

Penerapan hieginitas perorangan dapat dilihat dari kebersihan perorangan, kebiasan hieginitas, dan pakaiannya, Kebersihan perorangan dapat dilakukan dengan cuci tangan dengan baik, pelihara rambut dengan bersih dan rapi, jangan meyisir rambut di ruang produksi (hanya di locker room), tidak menggunakan perhiasan yang mudah lebpas seperti kalung dan anting, dan tidak menggunakan kosmetik seperti bulu mata palsu dan sebagainya.

Kebiasan hieginitas contohnya dilarang mengunyah, makan, minum di ruang produksi (jadi kalau kamu makan ke kantin), tidak merokok di produksi, gudang, dan laboratorium, memelihara kebersiahan ruangan dan menja kerja, serta memelihara kebrsihan locker/lemari pakaian. Terkait dengan pakaian, gunakan pakaian bersih yang sudah dibersihkan, kenakan pakaian dengan benar seperti kancing baju semuanya, pakaian kerja pabrik hanya boleh digunakan di lingkungan pablrik, lab jas juga hanya di laboratorium (khawatir terjadi kontaminasi), untuk yang berkumis dan berjanggut perlu untuk mengenakan penutup kumis dan janggut, pakaian tidak boleh berkantong di bagian atas baju, untuk menghindari jatuhnya sesuatu ke dalam produk, serta pakaian kerja kotor disimpan terpisah dalam wadah tertutup hingga pada saat pencucian. 

Kemudian terkait dengan toilet, ada aturan jumlah toilet yang harus disediakan sesuai dengan jumlah personilnya. 


Hal ini untuk memastikan hieginitas tiap personil terjaga dengan baik. 

Mengenai sanitasi bangunan dan fasilitas. Desain dan konstruksi bangunan harus dapat memudahkan sanitasi yang baik. Lalu bagaimana caranya memastikan konstruksi bangunan memiliki sanitasi yang baik? Dalam CPOB sudah ada ketentuannya misalnya terkait dinding-dinding yang tidak boleh bersudut harus dibuat melengkung, lantai yang harus diepoksi, sistem drainase yang seperti leher angsa, dan seterusnya. 

Selain sarana toilet yang cukup, ventilasi juga harus cukup, tempat cuci bagi personil juga letaknya harus mudah diakses dari area produksi. Terdapat sarana/ruangan penyimpanan pakaian personil dan milik pribadinya. Terdapat penyiapan, penyimpanan, dan konsumsi makanan dan minuman yang dibatasi di area khusus misalnya kantin. Lalu juga terdapat prosedur sanitas seperti adanya penanggung jawab sanitasi, uraian rinci mengenai jadwal, metode, peralatan dan bahan pembersih yang digunakan, berlaku untuk kontraktor atau karyawan sementara maupun karyawan purnawaktu selama pekerjaan operasional biasa. 

Mengenai bahan pembersih yang digunakna harus divalidasi, apakah sudah efektif untuk membunuh kuman atau tidak. Tiap industri bisa berbeda bakteri pencemarnya. Jadi harus dilakukan pada konsentrasi berapa dapat membunuh bakteri. Makin tinggi konsentrasi memang makin bagus, tetapi bisa membahayakan personilnya, jadi harus ditentukan rentang efektifnya.

Selain itu perlu juga ada pengendalian terhadap hama/pest control. ,Jadi, perlu ada prosedur tertulis pemakaian rodentisida, insektisida, fungisida, agen fumigasi, dan pembersih sanitasi. Terkait ini, bisa dilakukan oleh pihak sendiri atau pihak ketiga. Misalnya terdapat hama tikus di pabrik, yang bekerja di QA harus mencari tahu, dari mana tikus tersebut dapat masuk, jika sudah ketemu, maka dicari solusinya supaya tidak masuk kembali,misalnya diberikan lem tikus sepanjang jalur tikus, atau lainnya. 

Rodentisida, insektisida, dan fungisida yang digunakan harus sesuai dengan peraturan terkait, jadi tidak boleh yang belum terdaftar. Hal ini terkait dengan keamanan personil yang menggunakan juga. Rodentisida, insektisida, agen fumigasi dan bahan sanitasi juga tidak boleh mencemari peralatan, bahan awal, bahan pengemas, bahan yang sedang diproses, atau produk jadi. Sampah juga tidak boleh dibiarkan menumpuk, harus dikumpulkan di dalam wadah yang sesuai untuk dipindahkan ke tempat penampungan. 

Lalu mengenai pembersihan dan sanitasi peralatan. Metode pembersihannya dapat dilakukan secara vakum atau cara basah yang lebih dianjurkan. Udaha bertekanan dan sikat, sedapat mungkin dihindari karena menambah risiko pencemaran produk. Peralatan dijaga dan disimpan dalam kondisi yang bersih, kebersihan diperiksa secara visual sebelum dipakai kembali, penyimpanan bahan pembersih di ruangan yang terpisah dari ruang pengolahan, cemaran mikroba disinfektan dan deterjen dipantau secara rutin, dan harus ada prosedur yang ditetapkan.

Prosedur tertulisnya harus rinci, divalidasi, dan dievaluasi efektifitasnya, prosedur dirancang agar tidak ada pencemaran peralatan oleh agen pembersih atau sanitasi. Prosedur setidaknya meliputi penanggung jawab pembersihan, jadwal, metode, peralatan, bahan yang dipakai dalam pembersihan, serta jika perlu meliputi metode pembongkaran dan perakitan kembali peralatan, sterilisasi peralatan, penghilangan identitas bets sebelumnya, serta perlindungan peralatan yang telah bersih terhadap pencemaran. Pelaksanaan pembersihanm sanitasi, sterilisasi dan inspeksi sebelum penggunaan peralatan dicatatat dalam buku log dan disimpan secara benar. 

Alkoohol merupakan kelompok senyawa pada antiseptik yang paling banyak digunakan. Tetapi kadang tidak efektif akibat sudah resisten. Jadi kebanyakan dilakukan kombinasi, misalnya dengan air panas. Jadi, dipilih bahan antiseptik yang mudah digunakan, murah, dan jarang membuat alergi. 

Demikian yang dapat saya sampaikan. Semua materi yang saya tulis di sini adalah apa yang ada pada slide Pak Lutfi disertai dengan penjelasan yang saya dengan di kelas. Mohon maaf apabila terdapat kesalahan. Semoga dapat bermanfaat dan terima kasih sudah berkunjung :)