Pada pertemuan kedua ini yang dibahas adalah mengenai profesi, pekerjaan/praktik kefarmasian, pedoman disiplin, kode etik, dan peningkatan profesionalitas. Ada banyak penjelasan yang diberikan oleh Pak Fauzi di luar slide yang ditampilkan. Pertama-tama Pak Fauzi memulai dengan berbagai pertanyaan, apa bedanya sarjana farmasi dengan apoteker? Apa bedanya profesi, profesional, dan profesionalisme? Sertifikat/surat apa saja yang diperoleh lulusan program profesi apoteker? Sebagian besar yang saya tulis di sini adalah materi Pak Fauzi yang ada di power-pointnya, disertai dengan penjelasan yang saya dengarkan di kelas, serta tambahan-tambahan lainnya yang saya peroleh dari berbagai sumber.
Mengenai beda sarjana farmasi dan apoteker, dengan jelas disebutkan pada PP 51 Tahun 2009 bahwa sarjana farmasi adalah bagian dari tenaga teknis kefarmasian (Pasal 1 ayat 6), sementara apoteker adalah sarjana farmasi yang telah lulus sebagai apoteker dan telah mengucapkan sumpah jabatan apoteker (pasal 1 ayat 7). Lebih lengkap dijelaskan pada pasal 1 ayat 6 bahwa "Tenaga Teknis Kefarmasian adalah tenaga yang membantu apoteker dalam menjalani pekerjaan kefarmasian, yang terdiri atas sarjana farmasi, ahli madya farmasi, analis farmasi, dan tenaga mengenah farmasi/asisten apoteker. Dengan demikian, pekerjaan sarjana farmasi setingkat dengan asisten apoteker yang mana seorang lulusan D3 farmasi, atau bahkan lulusan SMK farmasi saja juga bisa mendapatkan pekerjaan yang sama yaitu sebagai tenaga teknis kefarmasian. Oleh karena itu, agar ilmu farmasi yang didapat selama 4 tahun oleh sarjana farmasi tidak sia-sia jatuh pada pekerjaan yang sama dengan lulusan SMK farmasi, akan sangat dianjurkan untuk melanjutkan studi program profesi apoteker yang tentunya pekerjaannya setingkat lebih tinggi dibanding hanya sebagai tenaga teknis kefarmasian. Sebagai gambaran saja, lebih lanjut pada peraturan yang sama, di pasal 9 ayat 1 ditetapkan bahwa hanya seorang apoteker saja yang dapat dijadikan sebagai penanggung jawab pada bidang pemastian mutu, produksi, dan pengawasan mutu di industri farmasi, artinya hanya apoteker, tidak bisa tenaga teknis kefarmasian.
"Industri farmasi harus memiliki 3 (tiga) orang apoteker sebagai penanggung jawab masing-masing pada bidang pemastian mutu, produksi, dan pengawasan mutu setiap produksi sediaan farmasi" - Pasal 9 ayat 1
Dengan demikian, jelaslah perbedaan antara sarjana farmasi dan apoteker.
Mengenai perbedaan profesi, profesional, dan profesionalisme, saya peroleh dari perbedaan definisinya berdasarakan KBBI. Profesi merupakan kata benda, yaitu suatu bidang pekerjaan yang dilandasi dengan pendidikan keahlian (ketrampilan, kejuruan, dan sebagainya) tertentu. Profesional merupakan kata sifat, yaitu (1) bersangkutan dengan profesi, (2) memerlukan kepandaian khusus untuk menjalankannya, (3) mengharuskan adanay pembayaran untuk melakukannya (lawan amatir). Sementara profesionalisme merupakan kata benda, yaitu mutu, kualitas, dan tindak tanduk yang merupakan ciri suatu profesi atau orang yang profesional.
Terdapat 3 macam sertifikat/surat yang harus dimiliki oleh seorang apoteker berdasarkan PP 51 tahun 2009, yaitu sertifikat kompetensi, STRA, dan SIPA/SIK. Sertifikat kompetensi dapat diperoleh bagi apoteker yang baru lulus pendidikan profesi, sertifikat dapat diperoleh secara langsung setelah melakukan registrasi. STRA merupakan singkatan dari Surat Tanda Registrasi Apoteker yang diberikan oleh menteri kepada apoteker yang telah diregistrasi. Untuk memperoleh STRA apoteker harus memenuhi persyaratan yaitu memiliki ijazah apoteker, memiliki sertifikat kompetensi profesi, mempunyai surat pernyataan telah mengucapkan sumpah/janji apoteker, mempunyai surat keterangan sehat fisik dan mental dari dokter yang memiliki surat izin praktik, dan membuat pernyataan akan mematuhi dan melaksanakan ketentuan etika profesi. Sementara SIPA/SIK merupakan dua surat yang berbeda tergantung dari bidang pekerjaan kefarmasiannya, untuk apoteker yang melakukan pekerjaan kefarmasian di apotek, puskesmas atau pusat instalasi farmasi rumah sakit maka surat yang dimiliki adalah SIPA (Surat Izin Praktik Apoteker). Sementara untuk SIK (Surat Izin Kerja) merupakan sertifikat yang dimiliki oleh apoteker yang bekerja di luar itu, misalnya di industri farmasi. Dua surat itu dikeluarkan oleh pejabat kesehatan yang berwenang di kabupaten/kota tempat pekerjaan kefarmasian dilakukan, pedoman pemberian surat izin tersebut telah ditetapkan oleh menteri.
Berdasarkan ciri atau pondasinya profesi apoteker, dapat dipahami kembali bedanya profesi apoteker dengan sarjana farmasi. Ciri atau pondasi profesi apoteker terdiri dari 3 macam, yaitu science, education, dan practice. Pembeda utamanya adalah practice. Sekalipun pada sarjana farmasi telah dilakukan berbagai macam praktikum untuk meningkatkan pemahaman terkait teori yang diperoleh, itu bukanlah definisi practice yang dimaksud dalam ciri profesi apoteker ini, melainkan yang dimaksud practice dalam hal ini adalah telah melakukan semacam magang atau praktik kerja langsung pada bidang yang terkait baik di apotek, puskesmas, instalasi farmasi, maupun industri, jadi bukan hanya praktikum di laboratorium, bukan praktik kaitannya dengan pengaplikasian teori, melainkan praktik kerja. Dengan demikian, jelaslah mahasiswa lulusan program profesi apoteker lebih siap bekerja sebagai apoteker seutuhnya.
Terkait dengan profesi apoteker terdapat beberapa peraturan yang terkait, antara lain:
- UU No. 36 Tahun 2009 tentang kesehatan;
- UU No. 36 Tahun 2014 tentang tenaga kesehatan;
- PP No. 51 Tahun 2009 tentang pekerjaan kefarmasian;
- PMK No. 889 Tahun 2011 tentang registrasi, izin praktik, dan izin kerja tenaga kefarmasian;
- PMK No. 30 Tahun 2014 tentang standar pelayanan kefarmasian di puskesmas;
- PMK No. 35 Tahun 2014 tentang standar pelayanan kefarmasian di apotek;
- PMK No. 58 Tahun 2014 tentang standar pelayanan kefarmasian di rusah sakit;
- CPOB dan CDOB.
Pada UU No. 36 Tahun 2009, dijelaskan pada pasal 23 bahwa tenaga kesehatan berwenang dalam menyelenggarakan pelayanan kesehatan, lalu dijelaskan lebih lanjut pada pasal 24 bahwa tenaga kesehatan yang dimaksud harus memenuhi kode etik, standar profesi, hak pengguna pelayanan kesehatan, standar pelayanan, dan standar prosedur operasional. Adanya aturan ini, menegaskan bahwa apoteker harus memenuhi standar profesi dalam melakukan pekerjaan kefarmasian.
Pada UU No. 36 Tahun 2014, dijelaskan mengenai tenaga kesehatan pada umumnya, mengenai bagaimana tenaga kesehatan dapat bekerja sesuai dengan profesinya, yaitu harus memiliki kompetensi yang dinilai melalui uji kompetensi, pada akhirnya akan memperoleh sertifikat kompetensi, lalu sertifikat profesi, kemudian perlu melakukan registrasi sehingga diperoleh surat tanda registrasi, bagaimana memperoleh SIP, bagaimana pedoman standar profesi, standar pelayanan profesi, standar prosedur operasional, dan lain sebagainya yang terkait.
Pada PP No. 51 Tahun 2009, sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya, menerangkan mengenai sertifikat/surat apa saja, bagaimana cara memperolehnya, agar apoteker dapat melakukan pekerjaan kefarmasian, yaitu kaitannya dengan sertifikat kompetensi, STRA, SIPA/SIK. Jadi peraturan ini lebih spesifik khusus untuk profesi apoteker, sementara pada aturan sebelumnya, masih secara umum terhadap tenaga kesehatan.
Pada profesi apoteker, dapat dirangkum bahwa seorang apoteker harus memiliki 3 komponen terkait standar profesi, yaitu etika, disiplin, dan hukum. Dari sisi etika, tiap profesi memiliki kode etik termasuk apoteker, memiliki kode etik apoteker, kode etik dijadikan sebagai pedoman bagaimana seorang apoteker bersikap baik terhadap diri sendiri, teman sejawat, maupun terhadap tenaga kesehatan lainnya. Etika mempelajari soal baik dan buruk, biasanya kode etik tersebut dibuat oleh organisasi profesi yang dimaksud. Sementara disiplin merupakan komponen standar profesi tidak hanya dibuat oleh organisasi profesi yang dimaksud tetapi juga melibatkan organisasi profesi lainnya. Disiplin ditujukan agar tiap tenaga kesehatan dapat berperan dengan baik sesuai dengan perannya dan dalam interaksinya dengan tenaga kesehatan lainnya. Disiplin ini terbagi lagi menjadi 3 komponen yaitu kesehatan, kompetensi, dan komunikasi. Komponen kesehatan mengatur misalnya mengenai batas usia maksimal, kriteria layak fisik-mental, kepribadian, dan aturan bebas NAPZA. Komponen kompetensi misalnya terkait system-based practice. Komponen komunikasi misalnya terkait sikap akuntabel dan saling menghormati. Jadi, apoteker sesuai dengan disiplin, harus sehat, harus memiliki kompetensi berdasarkan ilmunya, dan mampu berkomunikasi baik kepada tenaga kesehatan lain, maupun terhadap pasien. Sementara dari sisi hukum, apoteker diminta untuk memiliki sertifikat/surat izin dalam melakukan pekerjaan kefarmasiannya. (Jujur, mengenai penjelasan komponen standar profesi ini, dalam paragraf ini, saya juga bingung bagaimana penjelasannya, lain waktu saya akan berusaha untuk mencari sumber lain yang dapat menjelaskan terkait dengan hal ini. Apa yang saya tuliskan di sini, adalah apa yang tertulis pada slide Pak Fauzi dan yang beliau jelaskan ketika di kelas).
Apabila terdapat apoteker yang tidak mematuhi atau melanggar kode etik apoteker, maka yang dapat mengadilinya adalah organisasi yang membuat kode etik tersebut, dalam hal ini IAI (Ikatan Apoteker Indonesia). Apabila terdapat apoteker yang mengalami konflik dengan tenaga kesehatan lain, terkait dengan aturan disiplin, maka yang mengadili adalah MDTK (Majelis Disiplin Tenaga Kesehatan). Sementara apabila apoteker melanggar aturan hukum, maka apoteker akan diadili di pengadilan negeri (PN) baik urusan pidana maupun perdata.
Seven stars pharmacy plus, menjelaskan peran-peran apa saja yang melekat pada apoteker. Mengenai kata "peran" secara umum, artinya terdapat suatu kegiatam yang berhubungan dengan orang lain. Peran apoteker tersebut antara lain:
- Care giver, apoteker berperan dalam asuhan kefarmasian baik di apotek, puskesmas, rumah sakit, maupun industri.
- Teacher, apoteker juga berperan dalam mendidik.
- Life long learner, apoteker harus selalu meningkatkan pengetahuannya seumur hidup, demi peningkatan kualitas kesehatan pasien.
- Manager, apoteker berperan dalam mengelola sumber daya, tidak hanya sumber daya manusia, tetapi juga sumber daya lainnya.
- Leader, apoteker berperan sebagai pemimpin yang memimpin sumber daya manusianya. Bedanya dengan manager, dalam hal leader, apoteker hanya memimpin sumber daya manusianya saja.
- Communicator, apoteker harus dapat berkomunikasi dengan pasien maupun tenaga kesehatan lainnya.
- Researcher, apoteker harus selalu melakukan penelitian untuk menambah pengetahuan.
- Decision maker, apoteker yang berperan dalam membuat keputusan, misalnya menentukan obat mana yang sesuai untuk pasien (meskipun dokter telah membuatkan resep, apoteker harus mampu menganalisis obat-obat yang diresepkan oleh dokter, dalam rangka kerasionalan peresepan obat).
Apoteker harus memiliki 9 macam kompetensi, antara lain:
- Mampu melakukan praktik kefarmasian secara profesional dan etik (menguasai kode etik yang berlaku dalam praktik profesi, mampu menerapkan praktik kefarmasian secara legal dan profesional sesuai kode etik apoteker Indonesia, dan seterusnya).
- Mampu menyelesaikan masalah terkait dengan penggunaan sediaan farmasi.
- Mampu melakukan dispensing sediaan farmasi dan alat kesehatan.
- Mampu memformulasi dan memproduksi sediaan farmasi dan alat kesehatan sesuai standar yang berlaku.
- Mempunyai ketrampilan dalam pemberian informasi sediaan farmasi dan alat kesehatan.
- Mampu berkontribusi dalam upaya preventif dan promotif kesehatan masyarakat.
- Mampu mengelola sediaan farmasi dan alat kesehatan sesuai dengan standar yang berlaku.
- Mempunyai ketrampilan organisasi dan mampu membangun hubungan interpersonal dalam melakukan praktik kefarmasian.
- Mampu mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang berhubungan dengan kefarmasian.
Pada catatan saya yang sebelumnya, telah diberikan definisi dari praktik atau pekerjaan kefarmasian (dapat dilihat di sini). Secara garis besar, pekerjaan kefarmasian meliputi pengadaan, pembuatan/produksi, distribusi, dan pelayanan. Keseluruhan tahapan tersebut terdapat legilasi, regulasi, dan kebijakan yang mengupayakan agar dapat menjaga mutu dari perbekalan farmasi, mulai dari proses pengadaan hingga penggunaannya. Adanya pelayanan kefarmasian yang bermutu, yaitu meliputi tersedianya perbekalan farmasi, adanya sumber daya manusia yang profesional, serta tepatnya informasi, maka akan dapat meningkatkan kualitas hidup masyarakat.
Penyelenggaraan pekerjaan kefarmasian, telah dimuat dengan jelas pada PP 51 Tahun 2009, meliputi pelaksaan pekerjaan kefarmasian, produksi, penyaluran, pelayanan, rahasia kedokteran, rahasia kefarmasian, kendali mutu dan kendali biaya, standar-standar, audit, pemberdayaan, dan izin.
Dalam hal ini terdapat berbagai aturan yang mengatur pelaksanaan pekerjaan kefarmasian, yaitu:
- Perpres No. 54 Tahun 2010 Jo 70 Tahun 2012 tentang pengadaan sektor pemerintah;
- PMK No. 1799 Tahun 2010 Jo 16 Tahun 2013 tentang industri farmasi (obat);
- PMK No. 006 Tahun 2012 tentang industri dan usaha obat tradisional;
- PMK No. 1175 Tahun 2010 tentang izin produksi kosmetika;
- PMK No. 1189 Tahun 2010 tentang produksi alat kesehatan dana perbekalan kesehatan rumah tangga;
- PMK No. 148 Tahun 2011 tentang pedagang besar farmasi;
- PMK No. 1191 Tahun 2010 tentang penyaluran alat kesehatan;
- PMK No. 922 Tahun 1993 Jo KMK N0. 1332 Tahun 2002 tentang perizinan apotek;
- KMK No. 1331 Tahun 2002 Jo PMK No. 167 Tahun 1972 tentang pedagang eceran obat;
- PMK No. 12 Tahun 2012 tentang standar akreditasi rumah sakit;
- PMK No. 56 Tahun 2014 tentang perizinan rumah sakit;
- PMK No. 58 Tahun 2014 tentang standar pelayanan farmasi di rumah sakit;
- PMK No. 30 Tahun 2014 tentang standar pelayanan farmasi di puskesmas;
- PMK No. 35 Tahun 2014 tentang standar pelayanan farmasi di apotek.
Selanjutnya akan dibahas mengenai pedoman disiplin dan kode etik apoteker. Dalam hal ini, terdapat alasan kenapa diperlukan adanya pedoman disiplin dan kode etik apoteker, yaitu karena peraturan perudang-undangan yang ada masih belum mengatur semuanya. Sementara apoteker sebagai suatu profesi dituntut untuk adil, jujur, dan berbudi luhur. Berangkat dari hal itulah persatuan profesi membuat suatu pedoman disiplin dan kode etik. Adanya pedoman ini, akan mempengaruh mutu pelayanan dan pertanggung jawaban profesi terhadap masyarakat. Secara umum, adanya pedoman disiplin dan kode etik apoteker ini, bertujuan untuk:
- Menjunjung tinggi martabat profesi.
- Menjaga dan memelihara kesejahteraan anggota.
- Meningkatkan pengabdian anggota.
- Meningkatkan mutu profesi.
- Meningkatkan layanan pada pengguna jasa.
- Untuk menentukan standar sendiri.
- Sebagai bentuk kewibaan profesi, yang mana substansi etis makin mantap dan prosedurnya makin kredibel.
- Sebagai paramater normatif, yang dijadikan sebagai tolok ukur perlindungan etis pasien/klien.
- Sebagai self regulating, atau self disciplining, untuk akuntabilitas profesi sehingga berani memanggil, menyidangkan, dan menjatuhkan sanksi.
- Sebagai "map" dalam berpraktik profesi, terutama bagi yang baru lulus.
- Sebagai pedoman setiap anggota dalam menjalankan profesinya.
- Sebagai sarana kontrol bagi masyarakat atas pelaksanaan profesi tersebut.
- Sebagai pencegahan campur tangan pihak luar organisasi tentang hubungan etika/disiplin dan keanggotaan profesi.
- Bersikap objektif pada saat adanya kebebasan memilih atau memutuskan, karena apoteker tahu pilihan yang terbaik.
- Selalu memenuhi hak klien untuk memperoleh pemahaman yang baik terhadap keterangan tentang manfaat dan risiko yang mungkin timbul dalam pelayanan yang dilakukan sesuai kompetensi apoteker.
- Selalu melakukan penilaian yang adil dan etis untuk menjaga rahasia kefarmasian terkait praktik maupun klien.
- Apoteker selalu berusaha untuk berbuat yang terbaik dan sekaligus berusaha menghindari adanya peluang kesalahan.
- Setiap saat loyal, tidak membedakan, adil dan bersahabat terhadap klien.
- Selalu memenuhi hak klien untuk dihargai atau dipenuhi kebutuhannya.
Kode etik apoteker Indonesia berisi kewajiban serta larangan-larangan terhadap diri sendiri, teman sejawat, penerima jasa, dan tenaga kesehatan lainnya.
Apoteker yang profesional dan beretika, memiliki paradigma positif dalam pelayanan kesehatan. Dengan demikian, sangat penting adanya akuntabilitas yang mana pengambilan keputusan didasarkan ataas data (evidence based). Apoteker harus memiliki kompetensi yang teraudit. Oleh karena itulah, harus selalu ada peningkatan profesionalisme yang berkelanjutan (CPD + PI).
Apoteker harus profesional karena apoteker amat dibutuhkan baik oleh pemerintah, dokter, pasien, investor, payer, maupun LSM. Pemerintah membutuhkan apoteker agar apoteker dapat membantu pemerintah dalam mengawasi dan mengendalikan pendistribusian atau penggunaan obat di masyarakat. Dokter membutuhkan apoteker agar dapat menghormati hak profesi dan saling memberi informasi. Pasien membutuhkan apoteker agar dapat memperoleh pelayanan kefarmasian yang optimal. Investor membutuhkan apoteker untuk dapat melaksanakan fungsi komersil dan fungsi sosial yang berkelanjutan. Payer membutuhkan apoteker dalam pelayanan terstandar, efektif, dan efisien. Sementara LSM membutuhkan apoteker dalam memberikan pelayanan sesuai dengan hak-hak konsumen.
Oleh karena itu, kembali lagi diingatkan bahwa apoteker harus selalu meningkatkan profesionalismenya atau melakukan reprofesionalisasi untuk masa depan. Apabila terus dilakukan reprofesionalisasi maka hubungan dengan tenaga kesehatan lainnya akan meningkat, fungsi kognitif mengenai MESO, TDM, dan sebagainya meningkat, fungsi informatif juga meningkat.
Reprofesionalisasi dapat dilakukan dengan selalu mengikuti pendidikan berkelanjutan serta meng"update" diri terhadap sumber informasi, misalnya dengan berlangganan jurnal-jurnal ilmiah. Dengan cara menyusun SOP di berbagai bidang/sarana pekerjaan kefarmasian, menggunakan teknologi dan informasi serta membangun sistem informasi manajemen dan sistem informasi pelayanan/produk. Lalu dengan cara mengidentifikasi kebutuhan masyarakat/pelanggan untuk menyesuaikan dengan produk dan jasa yang akan disediakan, serta mempertegas dan membedakan kegiatan fungsi distribusi dan fungsi pelayanan kefarmasian di sarana pelayanan kefarmasian.
Kompetensi apoteker harus selalu dipelihara sebagaimana aturan dalam PP 51 Tahun 2009 menyebutkan bahwa sertifikat kompetensi, STRA, dan SIPA/SIK hanya berlaku 5 tahun. Selama 5 tahun itu apoteker harus dapat mengisi dirinya melalui CPD (Continous Professional Development) dan PI (Practice Improvement). Proses sertifikasi berkelanjutan dapat dilakukan dengan melakukan akreditasi diri di awal, menyusun rencana, mengembangkan praktik kefarmasian, melaksanakan dan mendokumentasikan praktik kefarmasian, dan akreditasi dan sertifikasi lanjutan.
Akreditasi diri adalah sebuah proses yang sistematis dalam mengumpulkan bukti-bukti kemudian membandingkan bukti-bukti tersebut dengan standar kompetensi dan membuat keputusan apakah telah mencapai kompetensi.
Demikian yang dapat saya tuliskan. Mohon maaf apabila terdapat kesalahan. Semoga bermanfaat dan terima kasih sudah berkunjung ^^
terimakasih, sangat membantu
ReplyDelete