Pages - Menu

Tuesday, September 08, 2015

Catatan Pelayanan Kefarmasian #1

Sumber Gambar: cfah.org

Mata kuliah pelayanan kefarmasian ini, dibawakan oleh praktisi, beliau adalah ibu Afina Rianti, beliau dulu juga alumni farmasi UI angkatan 1981. Sebagian besar materi akan diperoleh dengan cara diskusi, di akhir pertemuan sebelum ujian, ibunya akan memberikan materi rangkuman atau tambahannya. Sebelumnya, kami telah dibagi menjadi beberapa kelompok, dan pada pertemuan pertama ini, kelompok pertama yang maju. Kelompok ini membahas mengenai "Wawancara Riwayat Obat". Materi  tersebut akan mempelajari terkait definisi, latar belakang, tujuan, fungsi, informasi yang harus diperoleh, mengenal mnemonics, kendala, teknik wawancara riwayat obat, seleksi pasien, obat, kompleksitas regimen, dan contoh kasus. Sebagian besar yang saya tulis di sini adalah materi yang dicantumkan oleh kelompok satu pada power pointnya disertai dengan adanya beberapa penambahan penjelasan yang saya dengar selama diskusi serta dari berbagai sumber lainnya. 

Wawancara riwayat obat merupakan proses wawancara untuk mendapatkan informasi spesifik pasien, informasi mengenai seluruh obat atau sediaan farmasi lain yang pernah dan sedang digunakan. Adanya wawancara riwayat obat dilatarbelakangi oleh adanya kemungkinan reaksi alergi, efek samping obat, atau reaksi obat yang tidak dikehendaki (ROTD) pada pasien, dalam hal ini pasien belum tentu memahami benar obat yang digunakannya, bisa jadi pasien tersebut bahkan tidak membaca keterangan informasi obat pada kemasannya, sehingga sangat penting adanya wawancara riwayat obat ini. 

Selain itu, hal ini juga dilatarbelakangi oleh adanya potensi terjadinya interaksi obat. Sebagaimana diketahui, suatu obat terhadap obat lainnya dapat mengalami interaksi, contohnya saja komponen zat aktif pada obat batuk yaitu fenilpropanolamin dapat berinteraksi dengan berbagai jenis obat diabetes, misalnya metformin, akibatnya jika terjadi interaksi obat, pasien dapat mengalami nanar atau terasa pusing. Apabila tidak digali informasi terkait riwayat penggunaan obat pada pasiennya dan misalnya pasiennya tersebut adalah penderita diabetes, maka hal itu menjadi salah apabila memberikan obat batuk yang mengandung fenilpropanolamin. Dengan demikian, juga jelas bahwa sangat penting untuk menggali informasi riwayat penggunaan obat pada pasien terlebih dahulu sebelum memutuskan untuk memberikan obatnya kepada pasien dalam rangka mencegah terjadinya interaksi obat dan reaksi obat yang tidak dikehendaki.

Wawancara riwayat obat juga dilakukan sebagai parameter untuk menilai pemahaman pasien terhadap obat yang digunakannya. Dalam hal ini, terdapat berbagai macam bentuk sediaan, dari yang paling sering ditemui maupun yang jarang. Pasien bisa jadi sudah sangat mengenal bagaimana caranya menggunakan obat dalam bentuk tablet, yaitu dengan meminumnya bersamaan dengan air, tetapi sesungguhnya ada berbagai macam bentuk tablet, salah satunya tablet kunyah, yang apabila digunakannya dengan cara diminum, maka akan salah, karena seharusnya digunakannya dengan cara dikunyah, karena dengan cara tersebutlah obat dapat memberikan efek lebih cepat. Beda lagi penggunaan obat yang dalam bentuk lain, beberapa bentuk sediaan obat seperti inhaler, sangat penting untuk diinformasikan penggunaannya kepada pasien. Lagi-lagi hal ini sangat penting dilakukan demi diperolehnya efek farmakologis yang diinginkan. 

Secara umum, tujuan wawancara riwayat obat adalah mendapatkan informasi umum terkait pengobatan pasien. Sementara secara khusus, wawancara riwayat obat juga bertujuan untuk memeriksa resep yang diberikan oleh dokter, mengetahui ada atau tidaknya reaksi alergi, mengetahui respon pasien terhadap obat, melakukan penapisan interaksi obat, mengkaji ada atau tidaknya penyalahgunaan obat, mengetahui kepatuhan pasien, dan informasi umum tentang pasien (misalnya pasien juga mengkonsumsi minuman beralkohol, kafein, nikotin dan lainnya). 

Dengan demikian, wawancara riwayat obat berfungsi dalam menilai rasionalitas obat yang diresepkan, memperoleh dan memverifikasi riwayat pengobatan serta menambahkan informasi tambahan (jika perlu), membandingkan profil pengobatan sekarang dengan sebelumnya, mendokumentasikan adanya alerfi, skrining interaksi obat, menilai kejadian penyalahgunaan obat, dan menilai kendala yang dapat terjadi semasa pengobatan. 

Dalam wawancara, telah dijelaskan bahwa apoteker melakukannya bertujuan dalam rangka mendapatkan informasi umum terkait pengobatan pasien. Di bawah ini adalah beberapa informasi umum yang penting untuk diperoleh dari pasien:
  1. Data demografi pasien. Data yang meliputi usia, jenis kelamin, berat badan, tinggi badan, suku, tempat tingal, pendidikan, pekerjaan. Faktor-faktor ini berpengaruh terhadap pemilihan obat, dosis pengobatan, dan cara pemberian obatnya. Misalnya dengan mengetahui pasien tersebut adalah seorang pengendara mobil, maka perlu diinformasikan penggunaan obatnya bahwa tidak boleh digunakan ketika akan mengendari kendaraan (apabila obat yang digunakan dapat menyebabkan kantuk).
  2. Riwayat penyakit yang diderita. Informasi ini penting pula dalam pemilihan obat, beberapa obat-obatan tidak boleh diberikan apabila pasien menderita suatu penyakit, contohnya parasetamol tidak boleh diberikan kepada pasien yang mengalami gangguan hati, karena parasetamol bersifat hepatotoksik. 
  3. Informasi diet. Terkait dengan pantangan diet, suplemen diet, pola atau kebiasaan makan, dan lain-lain. Misalnya pasien biasa minum susu setiap bangun pagi, lalu setiap pagi pasien tersebut harus minum obat. Dalam hal ini terdapat beberapa obat yang tidak boleh diminum bersamaan dengan susu, karena susu memiliki sifat pengkhelat yang artinya senyawa yang ada dalam susu dapat membentuk suatu senyawa kompleks dengan senyawa lainnya, akibatnya apabila suatu obat dapat bereaksi dengan susu membentuk senyawa kompleks tersebut, maka senyawa tersebut terjerat dan tidak dapat memberikan fungsinya sebagai obat. Sebenarnya, ada juga obat yang akan lebih baik digunakan bersamaan dengan susu dalam rangka meningkatkan daya serapnya. Dari pada bingung terkait dengan hal ini, maka memang sangat disarankan untuk mengkonsumsi obat dengan air putih saja. 
  4. Kebiasaan sosial. Contohnya adalah kebiasan seperti merokok, meminum minuman beralkohol, dan lain sebagainya. Hal ini ada kaitannya dengan pengaruhnya terhadap metabolisme suatu obat. Apabila seorang pasien perokok menggunakan obat teofilin, maka perlu diinformasikan bahwa teofilin tidak baik digunakan oleh pasien yang merokok. Karena, rokok dapat merangsang biotransformasi teofilin di hati, yang akibatnya waktu paruh teofilin menjadi singkat, akibat lebih lanjut, teofilin gagal memberikan efek terapinya.
  5. Riwayat penggunaan obat. Ada kaitannya dengan kekhawatiran adanya interaksi obat antara obat yang akan digunakan dengan obat yang telah lama digunakan, contohnya seperti yang telah dijelaskan sebelumnya yaitu interaksi antara fenilpropanolamin dengan obat diabetes. 
  6. Reaksi obat yang tidak dikehendaki. Informasi ini berguna sebagai catatan untuk apoteker, apabila mendapatkan informasi bahwa suatu pasien pernah mengalami reaksi obat yang tidak dikehendaki maka untuk berikutnya tidak diberikan obat yang sama. Terkait dengan ROTD berupa alergi, tiap orang berbeda-beda responnya, ada orang yang bisa memunculkan reaksi alergi terhadap suatu obat, ada pula yang tidak sama sekali, jadi catatan khusus terkait ini menjadi sangat penting.
  7. Kepatuhan pemakaian obat. Informasi ini penting dalam menilai keefektifan suatu pengobatan. Misalnya diketahui bahwa seorang pasien tidak patuh meminum obat yang akibatnya kondisinya makin memburuk, setelah digali informasinya yang menyebabkan keengganan pasien tersebut minum obat adalah bentuk sediaannya yaitu tablet dengan ukuran yang besar dan pasien tersebut mengalami kesulitan menelan. Beranjak dari hal itu, apoteker dapat memutuskan untuk mengganti obat dalam bentuk sediaan lain yang tersedia, misalnya berupa sirup atau obat berupa tablet dengan merk dagang yang lain yang memiliki ukuran yang lebih kecil.
Akibat terlalu banyaknya informasi yang harus didapatkan dari pasien, dan agar dapat memudahkan apoteker dalam mengingatnya, maka dikenal adanya suatu teknik yang disebut dengan mnemonics. Mnemonics merupakan suatu teknik yang memudahkan penghapalan dengan menghubungkan suatu informasi baru dengan sesuatu yang kita kuasai. Contoh penggunaan tekniknya dapat dibaca di sini. Teknik penggunaannya juga dapat dengan membuat singkatan, misalnya singkatan AS METHOD.
A = Age?
S = Self or someone els?
M = Medications?
E = Exact symptoms?
T = Taken anything?
H = History or diseases?
O = Other sympstoms?
D = Doing anything to worsen or alleviate condition?

Ketika di kelas, ada teman yang bertanya, bagaimana jika ada terlalu banyak singkatan yang harus dihapal? Akibatnya lupa juga. Kemudian Ibu Afina menjawab, kita tidak harus menghapal, setiap kali dilakukan konseling, sesungguhnya ada formulir yang harus diisi, bagian-bagian yang diisi itu sebenarnya dapat membantu apoteker sebagai pedoman wawancara. 

Terkait dengan wawancara, ada beberapa hal yang bisa menjadi kendala, antara lain waktu, karakter pasien, dan perbedaan bahasa. Apabila pasiennya adalah pasien yang sibuk dalam pekerjaannya, maka waktu dapat menjadi kendala dalam wawancara, perlu ditentukan jadwal yang tepat dengan pasien yang seperti ini, bisa jadi bahkan terkadang apoteker harus meluangkan waktu di luar jam kerjanya demi melakukan wawancara riwayat obat ini. 

Karakter pasien juga dapat menjadi kendala, tidak semua pasien mau diajak untuk wawancara. Tetapi dengan pengalaman dan teknis khusus, wawancara dapat tetap dilakukan. Ibu Afina bercerita, dulu ketika sedang magang di rumah sakit, ada seorang pasien yang memberikan keterangan bahwa pasien tersebut tidak mau diwawancara oleh anak magang. Mengetahui hal itu, tidak membuat ibu Afina kecil hati, bahkan beliau menjadi makin penasaran. Kemudian didekatilah pasien tersebut, beliau memperkenalkan diri bahwa beliau datang dari Indonesia dan belajar di Malaysia, karena tertarik dengan Indonesia, pasien tersebut lanjut bercerita. Di tengah-tengah pembicaraan rupanya ibu Afina menyelipkan pertanyaan-pertanyaan agar dapat memperoleh informasi dari pasien tersebut. Di akhir pembicaraan, pasien tersebut tersadar dan mengatakan tidak mengapa jika telah diwawancara. Pada akhirnya, hal itu tidak menjadi kendala lagi. 

Terkait dengan perbedaan bahasa, hal itu sudah sangat jelas menjadi kendala, bahkan menjadi kendala pada komunikasi secara umum. 

Selanjutnya, akan dijelaskan lebih lengkap seperti apa teknik wawancara riwayat obat. Wawancara pada umumnya adalah suatu bentuk komunikasi, komunikasi adalah pengiriman dan penerimaan pesan atau berita antara dua orang atau lebih sehingga pesan yang dimaksud dapat dipahami. Pada proses wawancara, perlu memperhatikan agar pesan yang diterima oleh pengirim pesan dapat dipahami sebagaimana maksud dari pengirim pesan. Agar komunikasi berjalan lancar antara apoteker dan pasien, apoteker perlu untuk mendengarkan dengan baik, bukan hanya mendengar, tetapi mendengar"kan", dalam artian apoteker harus bersikap positif, mempertahankan konsentrasi atau fokus pada pasien, tidak terburu-buru atau memotong penjelasan pasien, berempati, dan memberikan respon berupa aspek non verbal, serta memberikan umpan balik yang baik. Pada dasarnya, terdapat suatu aturan sebelum wawancara, yaitu apoteker memperkenalkan diri dan menjelaskan keperluan dari wawancara, pasien diberi tahu perkiraan jumlah waktu wawancara, jenis pertanyaan apa saja yang akan ditanyakan, dan selalu ingat untuk memanggil pasien dengan namanya. Apabila pembaca sudah pernah mendapatkan mata kuliah komunikasi dan konseling, maka sebagian besar teknik wawancara ini bahkan dengan lebih detail telah dipelajari. 

Sejauh ini, mungkin sudah berpikiran bahwa wawancara riwayat obat ini akan memakan waktu yang tidak sedikit, lalu mungkin bertanya, "Bagaimana apabila di apotek sedang ada banyak pasien, apakah semuanya harus diwawancara?" Terkait dalam hal ini, jawabannya adalah tidak. Hanya pasien tertentu saja yang dilakukan wawancara. Hal ini juga terkait dengan adanya keterbatasan jumlah apoteker di apotek. Berikut adalah pasien-pasien yang harus diwawancara:
  1. Pasien yang masuk rumah sakit dengan berbagai macam penyakit sehingga memperoleh banyak obat (polifarmasi).
  2. Pasien kanker yang menerima terapi sitostatika.
  3. Pasien dengan gangguan fungsi organ terutama hati dan ginjal.
  4. Pasien geriatri dan pediatri.
  5. Pasien hamil dan menyusui.
  6. Pasien dengan perawatan intensif. 
Pasien dengan polifarmasi perlu diwawancara terkait dengan kompleksitas regimen akibat adanya variasi rute pemberian, variasi aturan pakai, dan cara pemberian khusus. Apabila ada banyak pasien yang harus diwawancarai, maka terdapat suatu prioritas, pasien dengan kondisi seperti apa yang harus diwawancara terlebih dahulu, yaitu berdasarkan nomor urut, nomor urut satu menjadi yang paling diprioritaskan.
  1. Pasien dengan gejala DRPs (Drug Related Problems).
  2. Pasien dengan gejala akut dan parah.
  3. Pasien dengan riwayat ketidakpatuhan, respon terapi yang tidak memadai, dan lainnya.
  4. Pasien yang pernah menerima obat dengan rentang terapi sempit.
  5. Pasien yang sebelumnya diopname karena kesalahan pengobatan.
  6. Pasien dengan polifarmasi.
  7. Pasien geriatrik/lanjut usia.
  8. Pasien pediatrik/anak-anak.
  9. Pasien psikiatris.
Di bawah ini adalah contoh kasus terkait dengan wawancara riwayat obat:
Seorang pasien datang ke apotek dan memberikan resep berupa tetrasiklin. Setelah digali informasinya, diketahui bahwa pasien tersebut terkadang terkena maag lalu mengkonsumsi antasid. Informasi apa yang harus diberikan oleh apoteker terhadap pasien?

Penjelasan:
Berdasarkan penggalian informasi, diketahui akan adanya interaksi obat apabila tetrasiklin digunakan bersamaan dengan antasid. Oleh karena itu, informasi yang harus diberikan oleh apoteker adalah bahwa   tetrasiklin tidak boleh digunakan bersamaan dengan antasid, dan jika pun perlu mengkonsumsi antasid juga, maka apoteker dapat memberikan penjelasan bahwa tetrasiklin dapat digunakan dalam jeda waktu tertentu, misalnya 2 jam, sebelum atau sesudah antasid digunakan. 

Di akhir pertemuan, beberapa teman mengajukan pertanyaan, "Apakah harus selalu wawancara riwayat obat dilakukan sesuai dengan ketentuan informasi apa saja yang harus didapat, dan kiranya akan memakan waktu 5-10 menit, dan itu cukup lama jika ternyata apotek sedang ramai?". Ibunya menjelaskan, sebelumnya sudah dikatakan bahwa ada formulir yang dapat menjadi pedoman wawancara riwayat obat, formulir itu dapat diberikan terlebih dahulu kepada pasien agar diisi, sehingga ketika wawancara, apoteker sudah dapat mengetahui informasi apa yang paling penting harus diketahui dan digali, tidak harus bertanya lagi hal-hal yang umum sehingga waktu wawancara menjadi lebih efisien. Selain itu, sebelum wawancara, agar lebih cepat, kita perlu menilai terlebih dahulu apakah pasien yang akan diwawancara ini adalah pasien yang baru pertama kali akan menggunakan, atau sudah sering menggunakan. Jika baru pertama kali, maka informasi terkait pasien tersebut harus digali dan informasi  obat yang pasien itu harus ketahui perlu diberikan. Sementara apabila pasien tersebut sudah biasa menggunakan atau mengkonsumsinya maka sudah sebagian informasi diperoleh sehingga bisa lebih cepat. 

Demikian yang dapat saya tuliskan pada catatan ini. Mohon maaf apabila terdapat kesalahan. Terima kasih pada kelompok 1 kelas Pelayanan Kefarmasian B yang telah mempresentasikan dan menjelaskannya dengan sangat baik. Semoga catatan ini dapat bermanfaat. Terima kasih sudah berkunjung :D

1 comment:

  1. Terimakasih untuk informasinya, Kak...
    Semangat menebar manfaat :)

    ReplyDelete

If you want to be notified that I've answered your comment, please leave your email address. Your comment will be moderated, it will appear after being approved. Thanks.
(Jika Anda ingin diberitahu bahwa saya telah menjawab komentar Anda, tolong berikan alamat email Anda. Komentar anda akan dimoderasi, akan muncul setelah disetujui. Terima kasih.)