Sumber Gambar: indiatimes.com |
Pada pertemuan yang kedua ini, kelompok pertama maju, kebetulan saya termasuk ke dalam kelompok pertama. Kelompok ini membahas mengenai Kerasionalan. Jadi, sebagian besar yang saya tuliskan di sini adalah materi pada power-point kelompok pertama ini, disertai dengan penjelasan yang saya dengan dari tiap-tiap presenter di kelas, ataupun yang saya tambahkan dari sumber lainnya.
Sebelum membahas terkait dengan kerasionalan, latar belakang perlu adanya kerasionalan dalam pemberian obat adalah bahwa WHO telah memperkirakan bahwa separuh dari seluruh obat di dunia yang diresepkan, diberikan, dan dijual dengan cara yang tidak tepat dan bahkan separuh dari pasiennya juga menggunakan obat secara tidak tepat. Hal ini diakibatkan dari adanya ketidakrasionalan dalam penggunaan obat. Oleh karena itu, demi keamanan pasien, pemberian atau penggunaan obat secara rasional penting untuk dilakukan.
Menurut WHO, kerasionalan adalah ketika pasien menerima pengobatan yang sesuai dengan yang mereka butuhkan, dalam dosis yang sesuai dengan kebutuhan klinis masing-masing individu, pada periode waktu yang tepat, dan pada harga terendah untuk pasien dan masyarakat. Jadi, tujuan penggunaan obat yang rasional adalah untuk menjamin pasien mendapatkan pengobatan yang sesuai dengan kebutuhannya, untuk periode waktu yang adekuat dengan harga yang terjangkau.
Prinsip penggunaan obat rasional antara lain:
- Tepat diagnosis. Penggunaan obat yang rasional harus didasari atas diagnosis yang tepat. Misalnya berdasarkan anamnesis seorang pasien diketahui mengalami diare, terdapat darah dan lendir pada tinja, dan ada gejala tenesmus. Maka pasien ini didiagnosis mengalami amoebiasis. Oleh karena itu diresepkan metronidazol. Seandainya dokter yang melakukan anamnesis tidak menanyakan ada atau tidaknya darah pada tinja, maka diagnosis menjadi tidak tepat, pasien dapat didiagnosis kolera yang mana akan diresepkan tetrasiklin, bukannya metronidazol. Dengan demikian jelas, ketidaktepatan diagnosis berakibat buruk terhadap kesalahan obat yang seharusnya diberikan.
- Tepat indikasi penyakit. Beda penyakit, beda obat atau pengobatannya. Penggunaan obat yang rasional adalah yang menggunakan obat sesuai atau tepat dengan penyakit yang dideritanya. Misalnya seorang pasien mengalami infeksi bakteri, maka obat yang tepat adalah antibiotik. Akan jadi tidak rasional jika diberikan antivirus.
- Tepat pemilihan obat. Obat yang dipilih secara rasional adalah yang tepat dengan terapi yang dibutuhkan. Misalnya seorang pasien mengalami demam tidak disertai dengan inflamasi, maka parasetamol menjadi obat pilihan yang rasional karena aman dan efeknya sebagai antipiretik. Akan jadi tidak rasional jika diberikan ibuprofen, karena ibuprofen merupakan obat yang diberikan untuk pasien yang demam disertai dengan inflamasi. Jadi apabila tidak disertai inflamasi, parasetamol saja sudah cukup.
- Tepat dosis. Penggunaan obat yang rasional harus tepat dosisnya. Hal ini berkaitan dengan obat-obatan yang memiliki jendela terapi yang sempit. Apabila dinaikkan sedikit dosisnya, maka efek samping dapat muncul. Di samping itu, apabila diturunkan pun dosisnya, maka tidak akan memberikan pengaruh apa-apa terhadap hasil pengobatannya.
- Tepat cara pemberian. Penggunaan obat rasional adalah yang diberikan dengan cara pemberian yang tepat. Jika salah mulai dari cara pemberiannya saja, maka zat yang berkhasiat tidak akan dapat masuk ke dalam tubuh dengan baik dan tidak akan dapat memberikan efek farmakologisnya. Misalnya adalah tablet kunya antasid. Tablet tersebut harus dikunyah sebelum ditelan supaya efektif. Akan menjadi tidak rasional jika langsung ditelan.
- Tepat interval waktu pemberian. Ini juga mempengaruhi kerasionalan penggunaan obat. Beda obat, beda interval waktu pemberian yang dibutuhkan guna mencapai efek terapi. Misalnya, apabila terdapat obat yang harus diminum tiga kali sehari, maka interval waktu yang tepat adalah diminum setiap 8 jam.
- Tepat lama pemberian. Beda obat atau pengobatan, beda pula lama pemberiannya. Harus tepat lama pemberiannya agar rasional dalam memberikan efikasinya kepada pasien. Contohnya, obat TBC harus diberikan selama 6 bulan, jadi yang harus 6 bukan, tidak rasional jika hanya 4 bulan, jika begitu maka tidak akan memperoleh efek terapi sama sekali. Beda lagi dengan obat penyakit tifus, hanya perlu dihabiskan dalam waktu 10-14 hari. Baik kurang dari lama pemberian ataupun lebih dari lama pemberian yang seharusnya tetap tidak akan dapat memberikan hasil pengobatan yang baik.
- Tepat penilaian kondisi pasien. Kita perlu untuk menilai kondisi pasien terlebih dahulu agar dapat menentuan obat yang sesuai supaya rasional. Misalnya diketahui pasien mengalami gagal ginjal, maka rasionalnya jangan diberi aminoglikosida, karena obat golongan tersebut bersifat nefrotoksik atau toksik terhadap ginjal.
- Tepat informasi. Informasi yang diberikan harus tepat, demi efikasi yang dapat dirasakan oleh pasien. Misalnya dalam memberikan informasi pengobatan untuk pasien TBC, salah satu obat yang dikonsumsinya adalah Rifampisin, perlu untuk diinformasikan kepada pasien bahwa rifampisin bisa memberikan warna merah pada urin pasien. Akan menjadi tidak rasional jika tidak tepat informasinya, misalnya apoteker tidak menjelaskan mengenai hal itu, yang misalnya pasien menganggap bahwa yang terjadi adalah urinnya berdarah, yang kemudian menyebabkan pasien tersebut menghentikan pengobatan. Padahal diketahui bahwa pengobatan TBC ini harus dilakukan selama 6 bulan, dengan adanya penghentian ini, pasien akan mengalami kerugian sendiri. Belum lagi jika mempertimbangkan kemungkinan adanya resistensi obat.
- Tepat tindak lanjut. Ketika seorang dokter memberikan resep berisi obat-obat yang harus dikonsumsi, dokter harus memperhitungkan kemungkinan buruk yang terjadi dan apa yang harus dilakukan jika hal tersebut terjadi. Misalnya ketika mengkonsumsi teofilin, efek samping yang mungkin muncul adalah takikardi, maka tindak lanjut yang dapat dilakukan adalah dengan mempertimbangkan antara diturunkan dosis obatnya, atau dengan mengganti teofilin dengan obat yang lain.
- Tepat penyerahan obat. Setiap kali apoteker mendapatkan resep dari pasien, yang diserahkan obatnya harus tepat sesuai dengan yang ada di resep, akan menjadi fatal jika terjadi kesalahan. Misalnya salah mengambil obat, efek yang timbul menjadi berbeda bahkan reaksi yang tidak dikehendaki dapat terjadi.
Agar penggunaan obat menjadi rasional, ada beberapa hal yang harus dipertimbangkan oleh dokter antra lain diagnosis, pemilihan obat, pemberian informasi kepada pasien, dan tindak lanjut pasien. Agar diagnosis menjadi tepat, anamnesis dan pemeriksaannya pun harus tepat. Setelah dilakukan diagnosis, perlu ditentukan apakah terapinya membutuhkan obat atau tidak. Apabila diperlukan obat, maka ada yang perlu dipertimbangkan dalam pemilihan, yaitu efek terapi, pertimbangan manfaat dan risiko sesuai dengan kondisi pasien, keamanan obat (efek samping, kontraindikasi), penentuan dosis, cara pemberian, dan penentuan interval waktu, serta lama pemberian.
Di samping dokter perlu untuk memberikan informasi kepada pasien, pasien juga harus dapat menerima informasi mengenai keadaan penyakitnya, cara mencegah dan mengatasi penyakit tersebut, cara penggunaan obat, waktu/lama penggunaan obat, dan efek samping obat, serta apa yang harus dilakukan jika terjadi efek samping yang berbahaya. Selain pasien dapat menerima informasi mengenai keadaan penyakitnya, pasien juga harus dapat memperoleh informasi obat yang digunakannya, misalnya terkait alasan menggunakan obat tersebut, alasan pasien memerlukan obat tersebut, permasalahan apa yang terjadi, cara kerja obat, bagaimana mekanisme obat itu bekerja, aturan pakai, cara pemakaian, lama pengobatan, termasuk di dalamnya apa yang harus dilakukan apabila suatu dosis terlewati, cara penyimpanan, harapan yang diinginkan setelah pengobatan, cara mengetahui obat telah bekerja, dan pengaruh yang diharapkan tampak.
Kini, masih banyak terjadi penggunaan obat yang tidak rasional, alasannya antara lain:
- Kurangnya pengetahuan dokter atau apoteker dalam memberikan pengobatan yang tepat. Dokter atau apoteker tidak akan tahu pemberian obatnya sudah tepat dosis atau belum apabila belum pernah mempelajari obat tersebut. Jadi memang pada dasarnya kedua profesi ini harus terus mengejar pengetahuan yang salah satu tujuannya juga adalah agar adanya penggunaan obat yang rasional.
- Hubungan antara pasien dan dokter/apoteker.
- Ketidaktersediaan obat sebagai alternatif yang tepat. Teman saya, Itin, menjelaskan berdasarkan literatur yang dibacanya, bahwa di daerah Teheran, obat analgesik kurang begitu banyak tersedia. Ditambah lagi dengan karakteristik masyarakatnya yang menginginkan memperoleh efek pengobatan yang cepat. Jadi misalnya terkena demam biasa saja, langsung diresepkan kortikosteroid. Kortikosteroid dianggap sebagai "obat dewa" karena langsung dapat memberikan efek terapi dengan cepat. Tetapi ini merupakan penggunaan obat yang tidak rasional. Kortikosteroid mestinya diberikan apabila memang pasien mengalami inflamasi, jika demam biasa, maka analgesik umum seperti parasetamol yang lebih tepat.
- Regulasi dan pengawasan yang kurang dan belum sempurna.
Ketidakrasionalan obat juga akibat dari adanya beberapa hambatan, antara lain:
- Ketidakpatuhan pasien. Jelas akan menjadi tidak rasional, misalnya jika pasien TBC tidak patuh menghabiskan obatnya dalam waktu 6 bulan. Hasil pengobatan tidak dapat diperoleh sama sekali.
- Edukasi. Pasien yang tidak teredukasi misalnya dalam cara penggunaan obat, maka tidak akan dapat memperoleh efek terapi yang diinginkan. Misalnya suppositoria yang seharusnya dimasukkan ke dalam anus, tanpa informasi yang diberikan oleh apoteker, bisa saja pasien menganggap cara penggunaannya ditelan, padahal cara kerjanya tidak melalui saluran cerna sehingga ketika ditelan, tidak akan memberikan efek terapi apa-apa maupun hasil pengobatan.
- Perusahaan atau pabrik obat. Adanya persaingan yang tidak sehat antar pabrik obat. Bagian marketing terkadang memberikan "bonus" kepada dokter apabila dapat meresepkan obat perusahaan tersebut, padahal misalnya sesungguhnya obat yang tepat diresepkan adalah bukan obat tersebut, maka hal ini menjadi tidak rasional.
- Komunikasi antar tenaga kesehatan. Misalnya hubungan antara dokter dan apoteker. Ketika diberikan resep oleh pasien, apoteker menemukan ketidakrasionalan peresepan obat, menurut apoteker, obat yang diresepkan dapat diganti dengan obat generik yang lebih murah dan terjangkau. Misalnya terjadi hubungan yang tidak baik antara dokter dan apoteker tersebut, ketika apoteker mengkonfirmasi dan memberikan saran kepada dokter untuk mengganti, lalu dokter menolaknya, maka bisa dikatakan telah terjadi ketidakrasionalan. Seandainya hubungan antara keduanya baik, hal tersebut dapat didiskusikan dan saling menyadari bahwa telah terjadi ketidakrasionalan dan dapat memutuskan untuk melakukan tindakan lain sehingga menjadi rasional.
- Pengalaman. Misalnya ada anggapan "a pill for every ill". Contohnya ada seorang pasien yang sembuh penyakitnya setelah mengkonsumsi Tetrasiklin, dan merasa untuk kondisi penyakit yang lainnya akan sembuh juga apabila diberikan Tetrasiklin. Jelas ini menjadi tidak rasional, karena beda penyakit beda pengobatan, tidak bisa disamakan obatnya.
Penggunaan obat yang tidak rasional dalam skala yang luas bisa menyebabkan terjadinya efek samping. Pengaruh yang lebih berbahaya dari penggunaan obat yang tidak rasional dapat dilihat dari adnya tingkat kualitas dari efk terapi yang mengarah kepada morbiditas dan mortalitas. Morbiditas memiliki arti kualitas yang tidak sehat (the quality of being unhealthful). Sementara mortalitas merupakan kondisi pasien yang terkesan dekat dengan kematian. Dengan demikian, akibatnya kembali lagi kepada pasien, jika ketidakrasionalan ini terjadi, bukankah pasien menjadi tidak percaya terhadap obat atau pengobatan? Jadi, sangat penting untuk menerapkan penggunaan obat secara rasional.
Dampak lainnya yang dapat terjadi antara lain:
- Pemborosan sumber daya yang mengarah pada berkurangnya ketersediaan obat vital lainnya dan peningkatan biaya. Misalnya yang diberikan adalah obat paten atau bermerk dagang padahal ada obat efikasi sama tetapi lebih murah, jika dilakukan hal seperti ini terus menerus, bukankah akan menyebabkan peningkatkan biaya?
- Peningkatan risiko dari efek yang tidak diinginkan seperti reaksi yang merugikan dari obat dan munculnya resistensi obat. Hal ini bisa terjadi apabila tidak tepat pemilihan obat. Seperti yang dicontohkan sebelumnya pada "tepat pemilihan obat", padahal ada obat yang lebih aman, yaitu parasetamol, tetapi yang dipilih malah ibuprofen yang juga padahal pasien tidak mengalami inflamasi sama sekali, jelas efek samping dapat muncul.
- Dampak psikososial, seperti ketika pasien datang untuk percaya bahwa ada "pil untuk setiap penyakit". Ini dapat menyebabkan peningkatan permintaan yang jelas untuk obat ini. Jadi ilustrasinya misalnya pasien menganggap bahwa antibiotik adalah pil untuk segala macam penyakit, padahal kondisi yang terjadi bukanlah infeksi bakteri, maka sesungguhnya tidak memerlukan antibiotik. Hal ini menjadi salah.
Jadi, sesungguhnya, peresepan yang baik haruslah memiliki tujuan untuk memaksimalkan efek klinis, meminimalkan efek samping, menghindari penggunaan sumber daya yang sia-sia, dan menghargai pilihan pasien, sehingga pemberian obat dan penggunaan obat dapat dilakukan secara rasional. Di bawah ini adalah faktor-faktor pemilihan obat yang rasional:
- Diagnosis.
- Prognosis.
- Faktor obat. Terkait dengan farmakokinetik (metabolisme, interaksi obat, distribusi pada jaringan, bioavailabilitas, dan frekuensi penggunaan), serta farmakodinamik (indeks terapi, karakteristik dosis-respon, dan target spesifik serta selektif.
- Faktor pasien. Mengenai riwayat reaksi adverse effect yang pernah dialami, kerentanan terhadap adverse effect, terapi obat yang sedang dijalani atau digunakan, dan kepatuhan pasien serta monitoring.
- Faktor pemberi resep. Berhubungan dengan familiarity, pengetahuan dokter terhadap obat yang diberikan, serta kemudahan untuk ditindaklanjuti.
Secara garis besar, terdapat upaya perbaikan dan intervensi terhadap masalah penggunaan obat yang tidak rasional, yaitu upaya pendidikan, upaya manajerial, dan intervensi regulasi. Upaya edukasi dapat mencakup pendidikan selama kuliah (pre service) maupun setelah menjalankan praktik keprofesian (post service). Upaya tersebut mutlak harus diikuti dengan pendidikan kepada pasien/masyarakat secara simultan. Jadi dengan adanya edukasi pengenai penggunaan obat yang rasional, persoalan ketidakrasionalan obat saat ini dapat teratasi. Upaya manajerial dapat dilakukan dalam memperbaiki praktik obat yang tidak rasional, misalnya dengan cara pengendalian kecukupan obat, perbaikan sistem suplai, pembatasan sistem peresepan dan dispensing obat, pembentukkan dan pemberdayaan komite farmasi terapi (KFT) di rumah sakit, informasi harga, dan pengaturan pembayaran. Sementara dengan adanya intervensi regulasi, maka penggunaan obat yang rasional pada umumnya akan dapat mudah ditaati, mengingat sifatnya yang mengikat secara formal serta memiliki kekuatan hukum.
Demikian yang dapat saya sampaikan terkait dengan materi ini. Terima kasih kepada seluruh teman-teman saya di kelompok satu yang telah menjelaskan materinya dengan sangat baik. Saya mohon maaf apabila terdapat kesalahan dalam penulisan. Semoga bermanfaat dan terima kasih sudah berkunjung :D
You actually make it seem so easy with your presentation but I find this
ReplyDeletetopic to be actually something which I think I would never understand.
It seems too complex and very broad for me. I am looking forward for your next
post, I will try to get the hang of it!