Sesungguhnya materi Farmakologi Dasar ini merupakan mata kuliah saya di semester 3. Sementara, saat ini saya menulisnya ketika saya memasuki semester 7. Tidak mengapa, kebetulan saat saya menulis ini, saya masih memiliki 1 bulan masa liburan.
Sebagai mahasiswa farmasi, kompetensi utama yang diharapkan adalah mahasiswa mampu memahami dan menerapkan prinsip-prinsip farmakologi dalam penggunaan dan pengembangan obat. Sementara kompetensi dasarnya adalah mahasiswa mampu melakukan pelayanan kefarmasian secara profesional sebagai anggota tim kesehatan di berbagai sarana kesehatan.
Materi yang dipelajari di mata kuliah Farmakologi Dasar ini--sesuai dengan namanya--mempelajari hal-hal yang bersifat dasar dari disposisi obat, dosis dan faktor-faktor yagn mempengaruhi, mekanisme kerja obat, rute pemberian obat dan bentuk sediaan, perubahaan efek obat, prinsip terapi obat dan masalah terkait obat, faktor yang mempengaruhi efek obat, monitoring dan evaluasi penggunaan obat, pengembangan dan evaluasi obat, autokoid, obat pada sistem otonom, obat parasimpatomimetik dan parasimpatolitik, obat simpatomimetik dan simpatolitik, serta obat pada ganglion.
Farmakologi merupakan ilmu yang mempelajari obat dan pengaruhnya terhadap manusia melalui reseptor. Sebelumnya, perlu juga untuk sama-sama memahami definisi dari obat. Obat merupakan senyawa yang dapat mencegah, mengobati, mediagnosis penyakit/gangguan, atau menimbulkan suatu kondisi tertentu, misalnya obat KB, anastesi, dan sebagainya. Salah satu cabang dari Farmakologi adalah Farmakologi Klinik. Farmakologi Klinik merupakan ilmu Farmakologi yang mempelajari pertimbangan penggunaan obat yang efektik, aman, dan rasional.
Selain itu, terdapat pula beberapa ilmu lainnya yang terkait dengan Farmakologi, yaitu Farmakognosi, Farmakokinetika, Farmakodinamika, Farmakoterapi, dan Toksikologi. Farmakognosi merupakan ilmu yang mempelajari bagian-bagian tanaman atau hewan yang dapat digunakan sebagai obat alami yang telah melewati berbagai macam uji. Farmakokinetika merupakan ilmu yang mempelajari proses obat dalam tubuh yang meliputi absorpsi, distribusi, metabolisme, dan ekskresi. Farmakodinamika merupakan ilmu yang mempelajari pengaruh obat terhadap sel tubuh, organ, atau makhluk. Farmakoterapi merupakan ilmu yang membahas mengenai penggunaan serta kedudukan obat dalam tatalaksana terapi suatu penyakit. Sementara toksikologi merupakan ilmu yang mempelajari efek merugikan dari bahan kimia terhadap organisme hidup.
Setelah mengetahui pengertian dari obat, ada suatu istilah yang terkait dengan obat, yaitu obat ideal. Yang dimaksud dengan obat ideal adalah obat yang bersifat efektif, aman, selektif, mudah dalam pemberian, stabil secara kimia, biaya murah, dan sedikit interaksi obat. Tentunya obat tersebut harus efektif, artinya khasiat yang ada pada obat tersebut dapat diberikan dengan tepat. Aman tentu diperlukan, jika membahayakan bukan obat namanya, bisa menjadi racun istilahnya. Obat harus selektif, yang dengan demikian akan memberikan efek samping yang minimal, obat-obatan yang banyak efek samping artinya tidak bersifat selektif sehingga bekerja di berbagai reseptor dan menghasilkan efek-efek lain selain efek khasiat yang tidak diinginkan sesungguhnya. Obat harus mudah dalam pemberian, dalam arti, untuk memberikan kenyamanan, jika ada pemberian yang mudah, lantas tidak perlu yang susah-susah, kecuali ada keadaan tertentu yang menyebabkan pasien tidak dapat diberikan melalui pemberian yang mudah, misalnya pasien yang mengalami kesulitan menelan, maka rute pemberian injeksi yang lebih 'susah' menjadi pilihan. Terkait dengan biaya yang seringkali menjadi bahan perbincangan. Kabarnya, beberapa rumah sakit memberikan obat yang mahal, padahal sesungguhnya, obat yang dimaksud tersedia dalam golongan obat generik yang dijual dengan harga yang lebih murah. Ada yang mengatakan hal ini disebabkan akibat adanya perjanjian antara rumah sakit dengan pabrik obat yang menyediakan obatnya sehingga rumah sakit hanya diperbolehkan menyediakan obat dari pabrik obat tersebut saja. Entahlah bagaimana fenomenanya yang terjadi saat ini. Yang penting, pasien dapat lebih pandai lagi dalam memilih obat. Obat dengan kandungan zat aktif yang sama, tentunya golongan generik yang bisa menjadi pilihan. Sedikit interaksi obat tentu menjadi alasan agar suatu kondisi yang membahayakan akibat interaksi obat tidak terjadi.
Sebelumnya, sempat disebut-sebut istilah reseptor. Reseptor merupakan sesuatu yang ada di tubuh makhluk hidup di mana merupakan tempat mulai kerjanya obat. Pengaturan sintesis. Jadi, untuk mendapatkan efek dari suatu obat, obat harus dapat berikatan dengan reseptor. Meskipun demikian, reseptor tidak boleh mendapatkan rangsangan yang berlebihan, karena adanya rangsangan yang berkepanjangan pada reseptor, akan menyebabkan reseptor mengalami desensitisasi sehingga memberikan efek yang menurun. Ada suatu istilah apabila reseptor dapat melakukan adaptasi yang cepat, yaitu disebut dengan takifilaksis.
Sedikit terkait hubungan dengan reseptor sudah dijelaskan. Lebihnya, molekul obat harus sesuai (bentuk, komposisi, muatan listrik) dengan struktur ruangan reseptor. Obat harus dapat mencapai reseptor. Serta, obat harus dapat dibuat tidak aktif apabila mengalami metaboliseme dalam tubuh sehingga hasil dari proses metabolismenya adalah obat aktif, obat yang dapat memberikan efeknya. Selain itu, obat juga harus mampu dikeluarkan dari tubuh pada kecepatan tertentu sehingga dapat memberikan efeknya sesuai dengan waktu yang diinginkan. Artinya kecepatan ini mempengaruhi durasi kerja obat.
Masih terkait dengan obat, sekedar pengetahuan saja, molekul obat memiliki ukuran yang bervariasi, mulai dari yang paling kecil yang pernah ada yaitu obat Li dengan bobot molekul 7, dan yang paling besar obat Ateplase dengan bobot molekul 59050. Sementara pada umumnya obat memiliki bobot molekul 100-1000. Sebelumnya, telah jelas bahwa obat harus dapat mencapai reseptornya atau dapat berpindah, hal ini akan sulit untuk obat dengan bobot molekul lebih dari 1000 karena sulit berdifusi pada antar kompartemennya. Sebelumnya juga telah jelas bahwa obat dapat memberikan efek apabila dapat berikatan dengan reseptornya, ikatan antara obat dengan reseptor dapat berupa ikatan kovalen, elektrostatik, maupun hidrofobik yang tiap-tiap ikatannya memiliki perbedaan afinitas. Dalam hal ini, ikatan kovalen merupakan ikatan yang sangat kuat dan seringkali menyebabkan ikatan antara obat dan reseptornya bersifat tidak reversibel.
Obat harus dapat berdifusi sehingga dapat berpindah dari satu kompartemen ke kompartemen lainnya. Sebenarnya, dalam mentransportasikan suatu obat dari satu kompartemen ke kompartemen lainnya tidak hanya dengan difusi saja. Ada dua jenis transportasi yaitu transportasi pasif dan transportasi aktif. Transportasi aktif meliputi transportasi paraseluler dan difusi. Sementara transportasi aktif meliputi difusi terfasilitasi dan transportasi menggunakan drug transporters.
Transportasi pasif merupakan perpindahan molekul obat yang tidak membutuhkan energi, sementara transportasi aktif merupakan perpindahan molekul obat yang memerlukan energi. Seperti pada gambar di atas, yang dimaksud dengan transportasi paraseluler adalah perpindahan molekul obat melalui celah di antara sel. Difusi merupakan perpindahan molekul obat dari konsentrasi tinggi ke konsentrasi yang lebih rendah. Difusi terfasilitasi merupakan cara molekul obat berpindah apabila tidak bisa hanya dengan difusi pasif saja, melainkan membutuhkan protein pembawa dan energi. Sementara yang dimaksud dengan transportasi menggunakan drug transporters-dalam hal ini saya kurang yakin--merupakan perpindahan obat yang berdasarkan gambar, drug transporternya berada di permukaan sel. Sesungguhnya saya tidak dapat membedakan berdasarkan difusi terfasilitasi dengan transportasi menggunakan drug transporters. Daripada saya frustasi mencari perbedaannya, lebih baik saya jujur saya. Jadi, untuk lebih memahaminya, saya sarankan untuk pembaca mencari dari literatur yang lainnya. Alangkah senangnya, apabila saya diberikan pencerahan oleh Anda lewat kolom komentar di bawah ini.
Sebelumnya, salah satu kriteria dari obat ideal adalah mudah diberikan. Dalam hal ini ada setidaknya empat macam rute pemberian obat, yaitu intravena, subkutan, intramuskular, dan peroral. Intravena merupakan rute pemberian melalui pembuluh darah vena. Subkutan merupakan rute pemberian melalui suntikan ke area bawah kulit atau pada jaringan konektif atau lemak di bawah dermis. Intramuskular merupakan pemberian obat melalui jaringan otot. Sementara peroral merupakan pemberian obat melalui mulut.
Berikut ini, saya akan menjelaskan karakteristik-karakteristik dari tiap rute pemberian obat terkait dengan pola absorpsi, kegunaan khusus, keterbatasan dan hal-hal yang perlu diperhatikan.
Intravena
Terkait dengan hal absorpsi, rute intravena berusaha untuk menghindari absorpsi molekul obat sehingga dapat memiliki efek terapi secara langsung yan potensial. Karena langsung melalui pembuluh darah, maka molekul obat tidak perlu melewati kompartemen-kompartemen pada saluran cerna yang mana akan tidak bisa semua molekul obat terserap. Jadi, dengan melalui pembuluh darah, 100% molekul obat tersedia dalam darah sehingga dapat langsung didistribusi menuju reseptor. Oleh karena itu, rute ini cock untuk obat dengan volume besar, obat dengan molekul yang bersifat iritatif, dan obat yang berupa suatu campuran yang kompleks. Kegunaan khusus dari rute pemberian intravena adalah bermanfaat untuk penggunaan darurat (karena sifatnya darurat, maka obat diharapkan dapat cepat memberikan efek), memperkenankan adanya titrasi pada dosis, dan seperti yang sudah disebutkan sebelumnya, biasa dibutuhkan untuk obat-obatan dengan bobot molekul besar. Meskipun demikian, keterbatasannya adalah dapat meningkatkan risiko efek samping, harus dilakukan dengan cara injeksi sehingga memberikan sedikit ketidaknyamanan pada pasien, tidak cocok untuk larutan yang berminyak atau obat dengan zat yang sukar larut dalam air.
Subkutan
Pola absorpsinya, untuk yang berupa larutan absorpsinya cepat, sementara untuk yang berupa sediaan
repository absorpsinya lambat dan berkelanjutan. Kegunaan khususnya cocok untuk suspensi yang mana zatnya sulit larut dalam air, serta untuk pemasangan implan lepas lambat. Keterbatasannya, tidak cocok untuk obat dengan ukuran besar dan memiliki kemungkinan menimbulkan nyeri atau nekrosis dari zat yang menyebabkan iritasi.
Intramuskular
Pola absorpsinya, sama seperti subkutan, yaitu cepat untuk yang berupa larutan dan lambat serta berkelanjutan untuk sediaan berupa
repository. Kegunaan khususnya untuk obat yang bervolume sedang, berbahan minyak, dan zat-zat yang dapat mengiritasi, serta tepat digunakan untuk pengobatan mandiri seperti penggunaan insulin oleh pasien DM. Keterbatasannya, tidak dapat digunakan selama pengobatan menggunakan terapi antikoagulan, serta dapat mengganggu interpretasi beberapa uji diagnostik tertentu seperti yang menggunakan kreatinin kinase.
Peroral
Pola absorpsinya bervariasi tergantung dari beberapa faktor, karena melalui saluran cerna ini maka obat perlu untuk melewati berbagai macam membran untuk dapat masuk ke pembuluh darah. Sementara di dalam saluran cerna, sifat dari tiap membran berbeda-beda, misalnya luas permukaan. Kegunaan khusus dibandingkan dengan rute pemberian yang sebelumnya adalah merupakan rute pemberian yang paling memberikan kenyamanan dan ekonomis untuk pasien, serta lebih aman. Meskipun demikian, keterbatasannya adalah kepatuhan dari pasien menjadi sangat dibutuhkan, serta bioavailabilitas dari obat tidak menentu dan dapat tidak lengkap.
|
sumber: prasagung.files.wordpress.com |
|
sumber: health.detik.com |
Sebelumnya, sedikit disinggung adanya istilah farmakokinetika. Dalam definisi lain, farmakokinetika merupakan studi tentang nasib obat di dalam tubuh. Sebagian besar dari obat akan melewati empat proses farmakokinetika ini, yang terdiri dari Absorpsi, Distribusi, Metabolisme, dan Ekskresi, sehingga sering disingkat agar lebih mudah menghafal dengan singkatan ADME.
Jelasnya, suatu obat ketika pertama kali masuk ke dalam tubuh, obat yang dalam sediaan farmasi tersebut akan mengalami pelepasan dari sediaannya dan terdisolusi. Selanjutnya obat yang berada di dalam saluran cerna akan terserap atau diabsorpsi hingga dapat mencapai sirkulasi sistemik dalam pembuluh darah. Selanjutnya obat didistribusikan agar dapat mencapai reseptor. Dalam hal ini, ketika didistribusi, ada banyak kemungkinan, salah satunya seperti yang dijelaskan sebelumnya yaitu dapat mencapai reseptornya hingga dapat memberikan efek farmakologi, atau obat terdistribusi ke jaringan lain dan tersimpan dalam jaringan tersebut, atau kemungkinan lain, obat tersebut terdistribusi ke dalam jaringan yang membuat obat tersebut masuk ke tahap farmakokinetika yang lain yaitu metabolisme. Ketika obat masuk ke dalam tahap metabolisme, obat tersebut akan mengalami serangkaian reaksi hingga obat tersebut dapat berubah menjadi tidak aktif jika sebelumnya aktif, atau jika sebelumnya merupakan suatu produk (obat inaktif) ketika termetabolisme menjadi suatu obat yang aktif. Dari tahap ini, obat dapat berujung ke tahap ekskresi jika sampai di jaringan yang melakukan ekskresi seperti ginjal, yang artinya obat keluar dari tubuh, atau dapat pula kemungkinan sampai di jaringan yang lain.
Terkait dengan proses absorpsi, suatu obat tidak dengan mudah dapat terabsorpsi agar dapat segera sampai ke reseptornya. Ada banyak faktor yang mempengaruhi proses absorpsi ini, antara lain faktor fisikokimia dan faktor pasien itu sendiri. Dari segi faktor fisikokimia, beberapa hal yang termasuk ke dalam faktor tersebut antara lain bobot molekul, derajat ionisasi di bawah kondisi fisiologis, sifat sediaan obat, kemampuan disintegrasi dan laju disolusi untuk sediaan obat berupa solid, dan sifat pelepasan obat untuk obat dengan sediaan yang pelepasannya bergantung waktu (
time-released).
Salah satu cara obat dapat terabsorpsi adalah dengan cara difusi. Obat dengan bobot molekul kecil-lah yang memiliki kemampuan untuk terdifusi secara pasif. Oleh karena itu, akan sulit untuk obat-obat dengan bobot molekul besar untuk terdistribusi secara pasif.
Selain itu, obat dapat terabsorpsi apabila berada dalam bentuk nonion.Hal tersebut didasarkan atas karakteristik dari lapisan membran yang tidak bermuatan, sehingga zat-zat yang tidak bermuatan atau nonion yang bisa masuk, untuk zat yang bermuatan maka akan tertolak dan tidak dapat masuk. Hal ini jelas seperti teori "Like Dissolve Like". Dengan demikian derajat ionisasi dari suatu obat akan menjadi faktor dapat atau tidaknya suatu obat terabsorpsi. Sebagai contoh, suatu obat dengan sifat basa lemah, jika berada dalam kondisi pH rendah (suasana asam), maka obat tersebut akan terionisasi sehingga tidak dapat diabsorpsi pada lingkungan tersebut. Sementara apabila obat tersebut merupakan basa lemah, maka pada kondisi dengan pH rendah (suasana asam) tidak akan terionisasi dan tetap dalam bentuk ion, dengan demikian maka obat tersebut dapat terabsorpsi dengan mudah.
Sifat sediaan obat juga menjadi faktor absorpsi. Sesungguhnya dalam hal ini melibatkan pula kemampuan dari disintegrasi dan laju disolusinya. Suatu obat dengan bentuk sediaan obat yang berbeda misalnya yang satu dalam bentuk solid, yang satunya lagi dalam bentuk semisolid, maka kemampuan disintegrasi dan laju disolusinya menjadi berbeda. Dengan demikian, hal ini menjadi penting untuk diperhatikan oleh pembuat formulasi obatnya, sediaan obat mana yang cocok untuk menghasilkan efek terapi yang diharapkan.
Sebenarnya sifat dari pelepasan obatnya, juga berhubungan dengan bentuk sediaan obat. Ketika obat berada balam bentuk sediaan yang bersifat
time-released, maka obat tersebut tidak akan terlepas selama bukan waktunya untuk dilepas, jadi ketika kondisinya demikian, obat tersebut tidak akan terabsorpsi di lingkungan tersebut. Hingga ketika sudah waktunya untuk terlepas, barulah obat tersebut dapat terabsorpsi. Ini menjadi salah satu strategi untuk obat-obatan yang dapat rusak akibat asamnya lambung, sehingga obattersebut tidak terlepas sehingga terlindung dari asam lambung, hingga ketika sudah keluar dari lambung, obat tersebut dapat keluar dengan aman, terabsorpsi, dan terdistribusi menuju reseptornya.
Faktor dari pasien itu sendiri yang mempengaruhi kemampuan absorpsi antara lain luas permukaan dari tempat absorpsi, pH dari lambung dan usus, waktu pengosongan lambung, adanya kolonisasi dari bakteri dalam saluran cerna, dan adanya suatu penyakit yang dideritanya.
Terkait dengan luas permukaannya tentunya akan berbanding lurus dengan banyaknya yang diabsorpsi, semakin besar, maka semakin banyak yang dapat terabsorpsi. pH lambung dari lambung dan usus terkait hubungannya dengan derajat ionisasi zatnya nanti, apakah nantinya dapat terabsorpsi atau tidak. Adanya kolonisasi bakteri dalam saluran cerna tentu akan mengganggu absorpsi dari obat tersebut, bisa jadi obat tersebut diserap oleh bakteri atau adanya bakteri menyebabkan membran rusak sehingga kemampuan absorpsi menjadi menurun. Sementara adanya penyakit yang diderita--bukan berarti seluruh penyakit--menyebabkan adanya perubahan sifat dari membran untuk melakukan absorpsi atau menyebabkan hal yang lain sehingga proses absorpsi menjadi terganggu.
Masih terkait dengan absorpsi, seperti penjelasan yang sebelumnya, absorpsi terjadi dengan cara difusi, baik difusi pasif maupun aktif. Dalam hal ini saya memberi contoh obat yang diabsorpsi dengan cara difusi aktif menggunakan suatu transporter, yaitu Levodopa. Levodopa ketika akan terabsorpsi berupa ion. Karena tidak dapat berdifusi secara pasif, maka digunakanlah suatu transporter asam amino yang menggunakan energi sel agar dapat mentransportasikannya. Ada banyak jenis transporter obat, salah duanya effluks/ekspor obat (P-Glikoprotein (P-gp) dan Multidrug Resistance Protein (MRP)) dan
uptake obat (Organic Anion Transporting Polypeptide (OATP), OAT, dan OCT).
Sekarang beralih ke distribusi. Suatu obat dapat terdistribusi diakibatkan karena adanya ikatan dengan suatu protein. Ikatan tersebut bersifat reversibel. Jenis ikatannya dapat berupa ikatan hidrofobik, van der Waals, hidrogen, maupun ionik. Protein yang berikatan dengan obat juga ada banyak jenisnya, contoh protein plasmanya antara lain albumin, alfa-glikoprotein,
corticosteroid-binding globulin, dan
sex steroid-binding globulin. Dalam hal ini, ikatan antara protein dengan obat yang bersifat lipofilik lebih kuat dibandingkan dengan ikatan antara protein dengan obat yang bersifat hidrofilik.
Suatu obat dapat terdistribusi seperti gambar di bawah ini, yaitu pertama-tama obat bersirkulasi dalam pembuluh (intravaskuler), kemudian obat masuk ke dalam interstitial, lalu masuk ke dalam intraseluler, hingga pada akhirnya dapat berikatan dengan jaringan.
Dalam distribusi suatu obat, ada istilah yang sering disebut, yaitu Vd (Volume distribusi). Volume distribusi adalah suatu volume yang mengandung sejumlah obat pada cairan-cairan tertentu di dalam tubuh (volume hipotesis penyebaran obat dalam cairan tubuh). Volume distribusi menghubungkan jumlah obat dalam tubuh dengan konsentrasi obat dalam darah atau plasma. Obat yang memiliki volume distribusi sangat tinggi artinya memiliki konsentrasi yang lebih tinggi dalam jaringan ekstravaskuler dibandingkan dengan obat yang berada dalam vaskuler. Obat yang volume distribusinya rendah, artinya lebih banyak di vaskuler dibandingkan dalam jaringan ekstravaskuler yang dengan demikian obat tersebut tidak didistribuskan secara homogen. Dengan demikian, obat-obat yang dapat bertahan secara keseluruhan dalam bagian vaskuler, pada dasarnya memiliki kemungkinan volume distribusi yang sama dengan komponen darah (karena darah tetap berada di dalam vaskuler, lalu obat juga tetap berada dalam vaskuler, maka volume distribusinya hampir sama). Tentunya, tujuan obat berada dalam sirkulasi darah adalah agar dapat sampai ke reseptor yang salah satunya berada dalam jaringan ekstravaskuler. Hal ini sejalan dengan rumus sebagai berikut:
C menyatakan konsentrasi obat dalam darah. Rumus tersebut menyatakan bahwa Vd berbanding terbalik dengan C. Artinya jika volume distribusi tinggi maka konsentrasi obat dalam darah rendah, berlaku juga sebaliknya, jika volume distribusi rendah maka konsentrasi obat dalam darah tinggi.
Distribusi tergantung pada koefisien distribusi obat pada darah dan jaringan, aliran darah, ikatan dengan protein plasma dan jaringan, serta transport aktif ke jaringan.
Koefisien distribusi dalam rumus, disimbolkan dengan huruf D. Artinya, jika D besar, maka Vd juga besar. Terkait dengan aliran darah, seperti ibaratnya sebuah selang berisi air, jika alirannya cepat, maka distribusi obatnya pun juga obat. Sementara terkait dengan ikatan protein plasma dan jaringan, jika ikatan obat dengan protein sangat erat maka obat akan sulit terlepas untuk masuk ke dalam jaringan menuju reseptornya sehingga Vd menjadi kecil, sementara jika ikatan obatnya lebih kuat dengan jaringan, jika obat tersebut terikat pada jaringan yang bukan seharusnya, maka obat akan sulit terlepas dari jaringan untuk berpindah ke jaringan yang seharusnya. Intinya ikatan antara obat dengan protein maupun obat dengan jaringan memang penting untuk diperhatikan dalam memformulasikan suatu obat. Ada atau tidaknya nya transport aktif ke jaringan menjadi penting untuk distribusi obat-obatan yang tidak dapat berpindah dengan cara difusi pasif.
Selanjutnya beralih ke metabolisme. Metabolisme disebut juga dengan biotransformasi merupakan reaksi yang berlangsung di dalam sistem biologis, dilakukannya dengan cara mengubah obat menjadi bentuk yang berbeda aktivitas dan fisikokimianya. Dalam hal ini, hati menjadi organ utama yang bertanggung jawab untuk reaksi metabolisme obat. Terdapat pula organ lain yang berperan dalam metabolisme obat seperti kulit, saluran pernapasan, flora usus, paru-paru, darah, otak, ginjal, dan plasenta.
Ketika obat mengalami metabolisme, ada dua reaksi yang terjadi yaitu reaksi fase I dan reaksi fase II. Reaksi fase I terdiri dari reaksi oksidasi, reduksi, dan hidrolisis. Reaksi ini menciptakan gugus fungsional reaktif pada senyawa yang selanjutnya mengalami biotransformasi pada fase II. Dalam fase ini terdapat suatu sistem enzim yang berperan yaitu aneka jenis sitokrom P-450 mikrosom (40-50 isoenzim). Selanjutnya pada reaksi fase II, reaksinya terdiri dari reaksi konjugasi, glukuronidasi, sulfatasi, dan glutationasi yang menghasilkan metablit lebih polar, lebih mudah terion dalam lingkungan pH fisiologi, sehingga mudah dieleminasi dari tubuh, sehingga hal ini pula-lah yang menjadi dasar tubuh kita mengatasi zat-zat yang bersifat toksik, tubuh mengeluarkannya melalui metabolisme ini dengan mengubahnya menjadi gugus fungsional reaktif lalu menjadi senyawa yang lebih polar agar dapat segera dieliminasi dari tubuh.
Contoh obat yang termetabolisme antara lain Mephobarbital, Primidone, Imipramine, dan Prednisone. Mephobarbital terdemetilasi menjadi Phenobarbital. Primidone teroksidasi menjadi Phenobarbital. Imipramine terdemetilasi menjadi Desmetilimipramine. Sementara Prednisone tereduksi menjadi Prednisolone.
Dalam metabolisme terdapat beberapa hal yang mempengaruhinya antara lain farmakogenetik, gangguan fungsi hati, usia, induksi dan inhibisi enzim, spesies, dan jenis kelamin.
Dalam hal farmakogenetik, beberapa hal seperti hipersensitifitas, defisiensi enzim glucose-6-phosphat dehydrogenase, dan asetilase merupakan hal yang termasuk ke dalamnya.
Ketika terjadi gangguan pada hati, tentunya hati tidak dapat melakukan peranannua dalam metabolisme secara maksimal. Terkait dengan usia juga, makin tua usia, organ vital seperti hati tentunya fungsinya menjadi menurun, hal yang demikian juga mempengaruhi kinerja hati dalam melakukan metabolisme. Selain itu, adanya suatu zat atau senyawa yang dapat menginduksi atau menginhibisi enzim yang terlibat dalam metabolisme bisa mempengaruhi prosesnya. Beda lagi dengan spesies, beda spesies, beda kemampuan metabolismenya. Antara manusia dengan sapi, tentunya berbeda. Berdasarkan jenis kelamin, suatu literatur mengatakan bahwa pria memiliki metabolisme yang lebih cepat dibandingkan dengan wanita.
Sebelumnya saya menjelaskan bahwa dalam metabolisme terdapat beberapa enzim yang terlibat. Berikut merupakan tabel yang menjelaskan substrat-substrat apa saja yang bereaksi dengan enzim tersebut, dan senyawa-senyawa apa saja yang dapat menginduksi serta menginhibisi kinerja enzim tersebut sehingga proses metabolisme dapat terganggu.
Untuk lebih jelasnya, dapat melihat
laman ini agar lebih paham terkait faktor-faktor yang dapat mempengaruhi kecepatan metabolisme.
Isoform P-450 yang terdapat pada tabel antara lain CYP1A2, CYP2A5, CYP2C9, CYP2C19, CYP2D6, CYP2E1, CYP3A4, dan CYP4A1.
CYP1A2 memiliki substrat Amitriptilin, Imipramin, Teofilin, dan R-Warfarin. Sementara itu CYP1A2 dapat diinduksi oleh Omeprazol dan asap rokok. Fluvoksamin, Siprofloksasin, dan Simetidin dapat menginhibisinya.
CYPA25 memiliki substrat Halotan. CYPA25 diinduksi oleh fenitoin. Sementara itu dihambat oleh Transiklopromin.
CYP2C9 memiliki substrat Olazepam, Diklofenak, Fluvostatin, Losaftan, dan S-Warfarin. Sementara Barbiturat, Karbamazepin, Doxametason, Primidon, Rifampisin, dan St. John's wort merupakan penginduksinya. Sementara dalam hal ini CYP2C9 tidak memiliki inhibitor.
CYP2C19 memiliki substrat Citalopram dan Omeprazol. Penginduksinya Rifampisin. Sementara inhibitornya Omeprazol dan Transiklopromin.
CYP2D6 memiliki substrat Amisiptilin, Kodein, Dihidrokodein, Flokainid, Fluoxetin, Haloperidol, Imipramin, Nortriptilin, Clanzapin, Propanolol, Fusperidon, Tioridazin, dan Velafaksin. Penginduksinya Quinidin. Sementara inhibitornya Amiodaron, Simetidin, Ritonavir, dan SSRIs.
CYP2E1 substratnya Enfluran dan Halotan. Penginduksinya alkohol dan Isoniazid. Inhibitrnya Simetidin dan Disulfiram.
CYP3A4 substratnya Amiodaron, Terfenadin, Siklosporin, Kortikosteroid, Kontrasepsi Oral, ekrolimus, dan R-Warfarin. Penginduksinya Karbamazepin, Fenitoin, Barbiturat, Deksametason, Primidon, Rifampisin, dan St John's wort. Sementara inhibitornya Eritromisin, Itrakonazol, Simetidin, Ketokonazol, Flukonazol, dan Flutanacir.
Terakhir CYP4A1 substratnya Testosteron dan penginduksinya Klofibrat. Sementara tidak memiliki inhibitor.
Proses terakhir yaitu ekskresi. Ekskresi merupakan proses pembuangan metabolit obat dari tubuh melalui sistem renal yaitu hingga menghasilkan urin atau melalui sistem biliaris hingga menghasilkan feses. Organ utamanya yang berperan adalah ginjal, sementara organ lainnya yang terlibat adalah empedu dan paru-paru. Dalam hal ini, ekskresi obat yang terjadi di ginjal dipengaruhi oleh pH urin dan aliran darah di ginjal.
pH urin mempengaruhi ekskresi obat karena adanya perubahan pH urin dapat mengakibatkan perubahan bersihan ginjal, yaitu melalui perubahan jumlah reabsorpsi pasif di tubulus ginjal.
Obat tereliminasi melalui proses ekskresi hingga terkandung dalam urin seperti mekanisme sistem ekskresi pada umumnya. Mulai dari filtrasi di glomerulus, kemudian terjadi reabsorpsi di tubulus, lalu adanya sekresi juga di tubulus lainnya hingga dihasilkanlah urin yang mengandung obat yang tereliminasi tersebut.
Demikian yang dapat saya sampaikan dalam catatan ini. Tentunya masih banyak sekali kekurangan. Saya harap catatan ini tidak dijadikan sebagai bahan rujukan. Mohon dijadikan untuk meningkatkan kepahaman saja. Kalau ada yang salah dari catatan saya ini, perbaikan yang dituliskan di kolom komentar sangat saya apresiasi. Semoga dapat bermanfaat. Terima kasih atas kunjungannya :D