Pada kesempatan kali ini saya akan berbagi catatan terkait dengan mata kuliah OGSO (Obat Gangguan Saraf dan Otot) dengan materi kali ini mengenai penyakit alzheimer. Materi ini dibawakan oleh kelompok 5 yang terdiri dari Ardika Ardiyanti, Mayangsari, Ainina Al Shadrina, Rizky Fajar Wirawan, Evelyn Yuliusman, dan Elita Yuliantie.
Berikut merupakan beberapa penjelasan yang terdapat pada presentasinya.
Penyakit Alzheimer adalah gangguan degeneratif yang menyerang sel-sel saraf otak atau neuron secara progresif yang mengakibatkan hilangnya memori, kemampuan berpikir dan berbahasa, serta perubahan perilaku. Ini merupakan pengertian yang diambil dari website Alzheimer's Foundation of America.
Kemudian terdapat pengertian Demensia Alzheimer dari Depkes RI tahun 2013, bahwa Demensia Alzheimer adalah proses penyakit dengan kemampuan kerja otak yang menurun atau disebut juga gangguan pikun yang berlangsung secara progresif yang mengakibatkan gangguan berpikir, mengingat, mental, emosi, dan perilaku.
Selain itu dari Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 263/Menkes/SK/II/2010 tentang Pedoman Rehabilitasi Kognitif ditulis bahwa gejala klinis demensia alzheimer merupakan kumpulan gejala demensia akibat gangguan saraf yang berlangsung progresif dan lambat akibat proses degeneratif menyebabkan kematian sel-sel otak yang masif.
Nah, sampai di sini saya menjadi bingung dengan beberapa kata yang saya cetak dengan tebal di atas. Saya bingung, bukankah yang sedang dipelajari saat itu terkait dengan Alzheimer, kenapa tiba-tiba muncul kata demensia yang awalnya menurut saya berbeda, jadi sebenarnya demensia dan alzheimer itu merupakan suatu istilah yang menerangkan suatu kondisi yang sama atau suatu hal yang berbeda? Dengan dituliskan dengan cara seperti yang di atas seakan-akan menjelaskan bahwa demensia dan alzheimer itu sama. Tapi perasaan saya, sepertinya kedua hal tersebut berbeda. Dengan bekal penasaran ini kemudian saya searching-searching mulai dari sumber yang kurang dipercaya sampai buku yang tampaknya dapat dipercaya dan keduanya memberikan penjelasan yang sama. Intinya kedua hal tersebut ternyata berbeda.
Berdasarkan yang saya pahami dari buku Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit tulisan Sylvia A. Price dan Lorraine M. Wilson, Alzheimer itu merupakan salah satu bentuk demensia. Demensia atau kehilangan memori secara progresif ini terdiri menjadi 2 macam yaitu demensia primer dan demensia sekunder. Dalam hal ini penyakit alzheimer merupakan bentuk dari demensia primer yang tersering, sementara demensia sekunder biasanya bentuknya berupa penyakit degeneratif nutrisional, suatu ketiadaan atau kekurangan zat-zat makanan tertentu yang dengan demikian kondisi tersebut diketahui dapat merusak otak. Misalnya kekurangan vitamin B kompleks yang meskipun demikian masih banyak yang belum diketahui tentang peranan nutrisi dalam perkembangan saraf dan mempertahankan saraf tersebut. Selain itu yang dapat menyebabkan demensia sekunder ini adalah kebiasaan meminum alkohol. Jadi intinya, telah jelas bahwa alzheimer itu berbeda dari demensia karena alzheimer merupakan salah satu bentuk atau penyebab demensia.
Kembali lagi membahas Alzheimer, sekarang terkait dengan prevalensinya. Global Burner Disease pada tahun 2000 melaporkan prevalensi alzheimer dan demensia jenis lainnya sebesar 0,6% di dunia. Di negara Uni Eropa pada tahun 1006, jumlah penderita Alzheimer dan demensia jenis lainnya sebesar 4,5 juta jiwa. Di Amerika Serikat, diperkirakan, 2 juta orang menderita penyakit alzheimer yang meliputi 5 juta orang berusia di atas 65 tahun dan 200 ribu orang berusia di bawah 65 tahun yang dengan demikian alzheimer ini bukan hanya menjangkit lansia saja tetapi orang yang masih muda juga berpeluang terkena. Saat ini, kasus baru penyakit alzheimer muncul setiap 68 detik dan diperkirakan menjadi setiap 33 detik pada tahun 2050 (Alzheimer's Association, 2013). Lalu bagaimana prevalensinya di Indonesia? Pada tahun 2005 tercatat jumlah penderita demensia di Indonesia sebanyak 606.100 orang, hampir 10 kali lipat dibandingkan dengan Malaysia yang hanya 63.000 orang, hal ini jelas dikarenakan jumlah penduduk Malaysia pada tahun 2010 sebanyak 28,3 juta, hampir persepuluhnya jumlah penduduk Indonesia.
Berdasarkan jenis kelaminnya, wanita lebih berisiko terkena alzheimer dibandingkan pria. Berikut grafiknya.
Terkait mengapa wanita lebih berisiko, saya belum mencari tau lebih dalam lagi.
Alzheimer diklasifikasikan menjadi 3 jenis yaitu alzheimer ringan, sedang, dan berat. Pada alzheimer ringan yang bisa terjadi adalah penderita tampak sehat yang sebenarnya mereka mengalami kesulitan memahami lingkungan dan sering dikelirukan dengan penuaan. Alzheimer sedang yang terjadi adalah adanya degeneari otak yang memburuk kemudian menyebar ke area lainnya yang mengontrol bahasa, penalaran, pengolahan sensorik, dan proses berfikir, jadi pada alzheimer jenis sedang ini tanda-tanda penyakit semakin jelas dan perubahan perilaku sering terjadi. Pada alzheimer berat terjadi adanya kerusakan sel-sel saraf yang tersebar luas, kehilangan koordinasi motorik, kemampuan berjalan, berbicara, makan sendiri, dan mengenali orang lain.
Terkait dengan patologi dan patogenesis penyakitnya, secara makroskopik, perubahan otak pada alzheimer melibatkan kerusakan berat pada neuron korteks dan hipokampus serta penimbunan amiloid pada pembuluh darah intrakranial. Secara mikroskopik, terdapat perubahan morfologis (struktural) dan biokimia pada neuron-neuron. Perubahan morfologis terdiri dari dua ciri khas lesi yang pada akhirnya berkembang menjadi degenari soma (badan) dan/atau akson dan dendrit neuron. Dua ciri khas lesi tersebut antara lain kekusutan neurofibrilaris dan plak senilis.
Gambar di atas merupakan sketsa diagram perubahan degeneratif progresif dalam neuron pada penyakit Alzheimer. Badan sel dan prosesusnya menjadi membengkak dan berubah bentuk, dan terjadi kerusakan dendrit secara perlahan-lahan. Pada bagian A merupakan proses hilangnya akson dan dendrit secara progresif, sementara bagian B merupakan peningkatan inklusi patologis yang abnormal dari dalam badan sel, distorsi nukleus, dan sumbatan pada celah sitoplasma.
Kekusutan neurofibrilaris atau adanya serabut neuron yang kusut (disebut juga Tangles) merupakan suatu struktur intraseluler yang berisi serat khusut dan sebagian besar terdiri dari protein "tau". Dalam sistem saraf pusat, protein "tau" sebagian besar sebagai penghambat pembentuk struktural yang terikat dan menstabilkan mikrotubulus dan merupakan komponen penting dari sitoskeleton sel neuron. Pada alzheimer ini, terjadi fosforilasi abnormal dari protein "tau" yang secara kimia menyebabkan perubahan pada tau sehingga tidak lagi dapat terikat pada mikrotubulus secara bersama-sama. Tau yang abnormal dapat terpuntir masuk ke filamen heliks ganda. Dengan kolapsnya sistem transport internal, hubungan interseluler adalah yang pertama kali tidak berfungsi dan akhirnya diikuti oleh kematian sel. Pembentukkan neuron yang kusut dan berkembangnya neuron yang rusak ini yang salah satunya menyebabkan alzheimer.
Lesi khas yang kedua yaitu plak senilis, terdiri dari beta amiloid (A-beta) yang terbentuk dalam cairan jaringan di sekeliling neuron bukan dalam sel neuronal. A-beta adalah fragmen protein prekursor amiloid (APP) yang pada keadaan normal melekat pada membran neuron yang berperan dalam pertumbuhan dan pertahanan neuron. APP terbagi menjadi fragmen-fragmen oleh enzim protease yang salah satu fragmennya adalah A-beta, suatu fragmen yang lengket dan berkembang menjadi gumpalan yang bisa larut. Pada alzheimer, gumpalan tersebut akhirnya tercampur dengan bagian dari neuron dan sel-sel glia (khususnya mikroglia dan astrosit). Setelah beberapa waktu, campuran tersebut membeku menjadi fibril-fibril yang membentuk plak yang matang, padat, tidak dapat larut, dan diyakini beracun bagi neuron yang utuh. Selain itu, A-beta mengganggu hubungan interselular dan menurunkan respons pembuluh darah sehingga menyebabkan makin rentannya neuron-neuron terhadap stressor (misal, iskemia). Kemungkinan lain adalah bahwa A-beta menghasilkan radikal bebas sehingga mengganggu hubungan intraseluler dan menurunkan respon pembuluh darah sehingga mengakibatkan rentannya neuron terhadap stressor.
Perubahan biokimia dalam sistem saraf pusat adalah temuan mikroskopis khas lain yang ditemukan pada alzheimer. Diketahui bahwa korteks otak manusia terdiri dari sejumlah besar akson kolinergik yang melepaskan asetilkolin yang mana merupakan kunci neurotransmitter dalam fungsi kognitif yang kemudian pada penderita alzheimer ini terjadi penurunan pada neurotransmitter ini berhubung akson kolinergiknya mengalami kerusakan. Oleh karena itu salah satu obat-obatan yang bekerja berupa inhibitor kolinesterase yang bekerja menghambat enzim tersebut agar tidak mendegradasi asetilkolin sehingga tidak memperparah kondisi. Obat yang bekerja dengan mekanisme ininn hanya membantu beberapa pasien alzheimer dalam jangka waktu yang pendek (beberapa bulan hingga 2 tahun).
Kembali lagi terkait dengan jenis-jenis alzheimer. Pada alzheimer ringan, biasanya berlangsung antara 3 sampai 4 tahun; penderitanya sering mengalami berkurangnya energi; menunjukkan gejala perubahan mood, hilangnya ingatan, dan lambatnya reaksi; serta lebih suka bertemu dan bersosialisasi dengan orang-orang yang sudah mereka kenal daripada bertemu dengan orang baru.
Pada alzheimer sedang, biasanya pasien memiliki waktu antara 10 sampai 20 tahun untuk bertahan; pasien semakin membutuhkan bantuan dalam melakukan tugas-tugas yang sulit meskipun mereka masih bisa melakukan hal yang mudah dan sederhana; pasien mengalami hilangnya ingatan dan kebingungan yang serius; pasien mengalami kesulitan berbicara dan berkomunikasi; serta pasien tidak bisa ditinggal sendirian karena mereka akan mudah tersesat dan mungkin menderita depresi, stress, gelisah, dan mudah marah.
Sementara pada alzheimer berat, biasanya berlangsung antara 1 sampai 3 tahun. Kondisinya akan memburuk dari sebelumnya; kehilangan kemampuan untuk makan, berbicara, mengenal orang, dan mengontrol fungsi tubuh mrereka sendiri; seringkali hanya tidur; dan sangat penting untuk merawat mereka baik-baik karena mereka sangat rentan akan penyakit lain seperti infeksi atau penyakit pernafasan.
Terkait dengan gejalanya, secara umum keluhan awalnya biasanya susah mengingat-ingat memori. Sementara secara khusus, gejala pada alzheimer dibagi menjadi 3 yaitu yang bersifat kognitif, nonkognitif, dan fungsional.
Gejala kognitifnya berupa memory lost, aphasia (gangguan berbicara), apraxia, agnosia, dan disorientation. Terkait memory lost, pasien akan sulit mengingat-ingat memori dan sering kehilangan barang karena lupa. Aphasia merupakan suatu kondisi adanya gangguan pada kemampuan berbicara karena kesulitan mengingat kata untuk menyusun kaliat sehingga bicaranya menjadi berbelit-belit. Apraxia merupakan suatu kondisi ketika kemampuan untuk mengalami gerakan motoriknya berkurang sehingga mengalami kesulitan dalam melakukan aktivitas yang kompleks seperti memasak. Agnosia merupakan kesulitan mengenali benda-benda baik secara visual, auditori, maupun rabaan atau sentuhan yang mana gangguan ini terjadi pada saraf sensoriknya. Sementra disorientation merupakan gangguan yang menyebabkan adanya kesalahan dalam mempersepsikan waktu dan tidak bisa mengenali orang-orang terdekat. Gejala koginitif ini akan terus meningkat seiring dengan perkembangan penyakit alzheimernya.
Gejala nonkognitif dibagi menjadi dua yaitu gejala nonkognitif psikis dan gejala nonkognitif behavioral. Gejala nonkognitif psikis terdiri dari depresi dan halusinasi. Sementara yang behavioral terdiri dari agresif, hiperaktif, dan melakukan perbuatan yang sama berulang-ulang.
Sementara gejala fungsional terkait dengan ketidakmampuan untuk mengurus diri sendiri, tidak dapat melakukan pekerjaan-pekerjaan seperti mandi, makan, berpakaian, dan pergi ke toliet. Gejala fungsional ini biasa muncul pada alzheimer tahap berat.
Terkait dengan diagnosis alzheimernya, diperlukan informasi terkait gaya hidup dan riwayat pengobatannya, utamanya informasi mengenai penggunaan alkohol, pemakaian obat-obatan, dan adnaya trauma kepala. Selain itu perlu juga dilakukan pemeriksaan neurologis terkait dengan pemeriksaan terhadap refleks, koordinasi, kekuatan otot, pergerakkan mata, bicara, dan sensasi, selain itu perlu juga dilakukan pemeriksaan menggunakan CT Scan atau MRI, untuk melihat adanya kerusakan jaringan otak seperti tumor pada otak atau lesi lainnya. Kemudian pemeriksan mental juga diperlukan untuk dapat mengevaluasi memori, kemampuan memecahkan masalah, dan kemampuan berpikir, biasanya digunakan Folstein Mini-Mental State Examination (MMSE) untuk mengetahui hal tersebut.
Mengenai pemeriksaan menggunakan metode MMSE tersebut, perlu diketahui bahwa pemeriksaan dengan MMSE biasanya diberikan berupa pertanyaan-pertanyaan yang diajukan lalu diberikan skor yang apabila skor antara 10-26 maka terkena alzheimer ringan sampai sedang.
Pada terapinya, tujuan terapi dibedakan menjadi dua yaitu tujuan terapi primer dan sekunder. Tujuan terapi primer yaitu untuk merawat gangguan kognitif dan mempertahankan fungsi otak pasien selama mungkin. Sementara tujuan sekunder yaitu untuk merawat masalah perilaku dan kejiawaan yang terjadi karena adanya alzheimer.
Algoritma terapinya adalah sebagai berikut:
Skema di atas menjelaskan algoritme terapi untuk mengatasi gejala kognitifnya. Jadi pertama-tama perlu diketahui diagnosis alzheimernya terkait dengan kriteria NINCDS-ADRDA, lalu dinilai semua gangguan secara medis yang menyertainya dan terapi obat-obatan lain yang digunakan yang kemungkinan juga ada pengaruh pada kognisinya. Setelah itu, kesampingkan semua depresi yang menyertainya, evaluasi farmakoterapinya berdasarkan tahapan penyakitnya. Jika sedang sampai berat maka berikan obat inhibitor kolinesterase, memantine, atau kombinasi inhibitor kolinesterase dan memantin ditambah dengan vitamin E, jika hasil MMSE stabil (kurang dari 4 poin penurunan setelah 1 tahun) lanjutkan terapi regimen di atas. Untuk yang ringan, berikan inhibitor kolinesterase atau memantine ditambah vitamin E, jika MMSE memburuk (lebih dari sama dengan 4 pin di atas 1 tahun), alternatifkan dari yang di atas ditambah dengan vitamin E.
Mengenai algoritme terapi untuk gejala perilakunya (behavioral symptoms) atau gejala psikis yang bersamaan. Pertama-tama perlu dinilai terkait dengan gejala psikisnya dan terapi obat yang menyertainya. Kemudian berikan intervensi dari segi lingkungan dan psikososial. Terapi ini berbeda jika gejala perilakunya berupa depresi, psikosis, atau agitasi lainnya. Depresi adalah suatu kondisi yang lebih dari suatu keadaan sedih, bila kondisi depresi seseorang sampai menyebabkan terganggunya aktivitas sosial sehari-harinya. Psikosis adalah gangguan pada pribadi yang menyebabkan ketidakmampuan seseorang menilai realtia dan fantasi dirinya. Sementara agitasi adalah keresasahan atau kegelisahan, suatu bentuk gangguan yang menunjukkan aktivitas motorik berlebihan dan tak bertujuan atau kelelahan, biasanya dihubungkan dengan keadaan tegang dan ansietas.
Terkait dengan terapi depresinya dapat diberikan obat Citalopram atau Sertaline, kemudian perlu diselingi penggunaan pilihan obat tersebut, jika tidak mempan dapat diberikan Fluoxetine, Paroxetine, Venlafaxine, atau Mirtazapine. Untuk terapi dengan gejala psikosisnya dapat diberikan obat Olanzapine atau Risperidone, kemudian sama seperti yang sebelumnya dapat diselingi penggunaan obatnya, lalu jika tidak mempan dapat diberikan Quetiapine, yang jika tidak mempan juga dapat diberikan Haloperidol. Sementara untuk gejala agitasi lainnya dapat diberikan Olanzapine atau Risperidone, kemudian juga dapat diselingi pemilihan obat yang di atas, jika tidak mempan dapat digunakan Citalopram atau Carbamazepine, jika tidak mempan juga dapat diberikan Oxazepam, Buspirone, Tradozone, atau Selegiline. (Mengenai algoritme terapi ini sepertinya pembaca perlu untuk mencari dari literatur yang lain, karena saya hanya menerjemahkan apa yang ada di skema di atas yang kemungkinan dapat terjadi kesalahan dalam penerjemahannya).
Di bawah ini akan dijelaskan terkait dengan terapi farmakologi alzheimernya yang mana akan dibahas lebih mendalam terkait inhibitor kolinesterase (Donepezil, Galantamine, dan Rivastigmine), NMDA Receptor Antagonis (Memantine), Risperidone, Olanzapine, Citalopram, Sertaline, Carbamazepine, dan Asam Valproat.
Donepezil merupakan piperidine cholinesterase inhibitor. Cara kerjanya dengan menghambat enzim acetylcholinesterase secara reversibel dan nonkompeittif. Biasanya digunakan untuk pengobatan ringan hingga sedang. Adverse reaction yang biasa muncul antara lain mual, muntah, dan diare.
Galantamine mekanisme kerjanya dnegan memperlambat degradasi asetilkolin di korteks serebral dan juga mengatur reseptor nikotinik asetilkolin untuk meningkatkan asetilkolin di presinapsis saraf. Selain itu juga meningkatkan level serotonin dan glutamat. Biasanya digunakan untuk alzheimer ringan hingga sedang. Efek samping yang mungkin muncul antara lain mual, muntah, dan diare yang mana ketiga hal ini berkaitan dengan efek kolinergiknya.
Rivastigmine, selain memiliki aktivitas pada asetilkolinesterase juga memiliki aktivitas pada butirilkolinesterase. Perlu diketahui bahwa asetilkolinesterase memiliki 2 bentuk, yaitu globular 1 dan globular 4 yang mana globular 1 lebih banyak daripada globular 4. Dalam hal ini, rivastigmine dapat mencegah degradasi asetilkolin pada bagian globular 1-nya yang mana yang telah disebutkan sebelumnya jumlahnya lebih banyak sehingga aktivitas ini akan menyebabkan obat ini menjadi lebih poten. Rivastigmmine biasa digunakan untuk mengobati alzheimer ringan hingga sedang.
Obat berikutnya yang bekerja pada NMDA Reseptor. Telah diketahui bahwa pada penderita alzheimer terjadi penurunan ingatan secara progresif. Diketahui bahwa NMDA reseptor bekerja pada aktivitas otak dengan cara mengatur jumlah ion kalsium yang masuk ke sel saraf yang mana hal ini penting untuk dapat menyimpan informasi. Apabila reseptor ini distimulasi secara berlebihan akan terjadi gangguan pada proses pengolahan informasinya sehingga beberapa obat-obatan bekerja sebagai antagonis dari reseptor ini. Contoh obatnya adalah Memantine.
Memantine digunakan untuk mengobati alzheimer tingkat sedang hingga berat. Dapat dikombinasi dengan ChE inhibitor, tetapi pada umumnya digunakan sebagai monoterapi. Efek samping yang mungkin muncul antara lain konstipasi, bingung, pusing, sakit kepala, batuk, hipertensi (mirip seperti efek samping pada kolinesterase inhibitor).
Obat-obatan untuk gangguan perilaku diberikan jika memang terdapat gejala gangguan perilaku tersebut dan benar-benar dibutuhkan. Dasar pemilihan obatnya didasarkan pada efek samping obat yang didasarkan atas data empirik karena data kliniknya terbatas. Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pemilihan obatnya adalah bahwa obat tersebut perlu diberikan dalam dosis rendah, diberikan lalu dimonitor, dosisnya disesuaikan perlahan, dan didokumentasikan.
Terkait dengan depresi, golongan obat yang sesuai tentunya adalah yang termasuk ke dalam golongan antidepresan seperti SSRI, SNERI, dan TCA, namun dalam hal ini TCA harus dihindari penggunaannya pada penderita alzheimer karena bersifat antikolinergik. Golongan obat lainnya yang dapat digunakan adalah benzodiazepin, buspiron, selegilin, carbamazepin, dan asam valproat.
Risperidone merupakan salah satu obat untuk gejala perilaku nonkognitif ini yaitu obat antipsikotik atipikal yang bekerja sebagai antagonis dopamin. Efek sampingnya berupa ekstrapiramidal, somnolens, dan orthostatis. Ekstrapiramidal merupakan suatu kondisi yang menimbulkan gerakan otot tak sadar atau kejang yang biasanya terjadi pada wajah dan leher. Somnolens adalah suatu keadaan seseorang yang dapat digugah dengan berbagai stimulasi serta dapat bereaksi secara motorik. Terkait dengan orthostatik yang saya temukan lebih kepada pengertian hipotensi ortostatik yaitu kejatuhan tekanan darah pada saat seseorang berdiri, mungkin definisi ini dapat berguna dalam mengartikan orthostatik tersebut atau yang dimaksud oleh teman saya adalah hipotensi ortostatik karena berdasarkan yang saya cari tau juga ortostatik lebih mendefiniskan sebagai sikap tubuh bukan sesuatu yang memiliki makna kata kerja.
Olanzapine, merupakan obat antipsikotik atipikal juga yang bekerja dengan memblokade kolinergik. Efek samping yang mungkin muncul antara lain peningkatan berat badan, risiko diabetes, ekstrapiramidal, dan sedatif.
Citalopram merupakan antidepresan lini pertama yang mana termasuk ke dalam golongan SSRI. Sertaline juga merupakan golongan obat SSRI ini.
Carbamazepine merupakan obat antikonvulsan yang mana dapat menstabilkan suasana hati (mood). Asam valporat juga merupakan obat golongan antikonvulsan.
Selain terapi farmakologi, alzheimer juga dapat diterapi secara nonfarmakologi. Yang mana tujuan dari terapi ini adalah mengatasi gejala perilaku dan psikis serta gangguan memorinya. Terapi ini perlu dilakukan secara sinergis dengan trapi farmakologinya agar dapat meningkatkan kualitas hidup pasiennya.
Beberapa hal yagn dapat dilakukan terkait terapi nonfarmakologi ini meliputi metode komunikasi dengan penderitanya, aktivitas terapetik, melakukan modifikasi keadaan lingkungan, menjaga kesehatan secara general, dan terapi untuk kognitifnya.
Mengenai metode komunikasi dengan penderita alzheimernya, perlu untuk diusahakan masuk ke dalam pola pikir pasiennya. Perlu juga untuk mengurangi kemungkinan stres yang muncul selama interaksi.
Beberapa aktivitas terapetik yang dapat meningkatkan kualitas hidup pasien natara lain melakukan aktivitas-aktivitas yang dapat memfokuskan hobi pasien sebelum terserang alzheimer sehingga dapat menstimulus memori pasien, menggunakan ketrampilan pasien yang masih terseisa, dan mengurangi fokus pada ketrampilan yang hilang. Selain itu dapat pula dilakukan aktivitas yang dilakukan secara berkelompok seperti berkebun, melukis, menonton video dokumentasi orang-orang yang pernah disayangi.
Mengenai modifikasi keadaan lingkungan, dapat disediakan suatu lingkungan yang telah didesain agar pasien mejadi lebih mandiri, dapat mengikuti kegiatan sehingga dapat mengurangi gejala perilakunya.
Kesehatan secara umum juga perlu untuk dikendalikan dengan makan makanan yang seimbang, kaya nutrisi, dn mungkin beberapa pasien lansia memerlukan suplemen. Olahraga ringan setiap hari sepertinya perlu juga dilakukan.
Kemampuan kognitif pasien alzheimer dapat ditingkatkan melalui kegiatan-kegiatan yang dapat mengasah otak seperti mengerjakan teka-teki silang, bermain komputer, membaca, dan menebak kata.
Berikut merupakan skema ringkasan dari terapi nonfarmakologinya.
Demikian yang dapat saya sampaikan. Tentunya tidak lepas dari kekurangan dan kesalahan. Apabila terdapat kesalahan, mohon dimaafkan. Saya sarankan untuk mencari literatur lain yang lebih reliabel. Semoga sedikitnya terdapat manfaat yang dapat pembaca peroleh. Terima kasih sudah berkunjung :)
Berikut merupakan beberapa penjelasan yang terdapat pada presentasinya.
Penyakit Alzheimer adalah gangguan degeneratif yang menyerang sel-sel saraf otak atau neuron secara progresif yang mengakibatkan hilangnya memori, kemampuan berpikir dan berbahasa, serta perubahan perilaku. Ini merupakan pengertian yang diambil dari website Alzheimer's Foundation of America.
Kemudian terdapat pengertian Demensia Alzheimer dari Depkes RI tahun 2013, bahwa Demensia Alzheimer adalah proses penyakit dengan kemampuan kerja otak yang menurun atau disebut juga gangguan pikun yang berlangsung secara progresif yang mengakibatkan gangguan berpikir, mengingat, mental, emosi, dan perilaku.
Selain itu dari Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 263/Menkes/SK/II/2010 tentang Pedoman Rehabilitasi Kognitif ditulis bahwa gejala klinis demensia alzheimer merupakan kumpulan gejala demensia akibat gangguan saraf yang berlangsung progresif dan lambat akibat proses degeneratif menyebabkan kematian sel-sel otak yang masif.
Nah, sampai di sini saya menjadi bingung dengan beberapa kata yang saya cetak dengan tebal di atas. Saya bingung, bukankah yang sedang dipelajari saat itu terkait dengan Alzheimer, kenapa tiba-tiba muncul kata demensia yang awalnya menurut saya berbeda, jadi sebenarnya demensia dan alzheimer itu merupakan suatu istilah yang menerangkan suatu kondisi yang sama atau suatu hal yang berbeda? Dengan dituliskan dengan cara seperti yang di atas seakan-akan menjelaskan bahwa demensia dan alzheimer itu sama. Tapi perasaan saya, sepertinya kedua hal tersebut berbeda. Dengan bekal penasaran ini kemudian saya searching-searching mulai dari sumber yang kurang dipercaya sampai buku yang tampaknya dapat dipercaya dan keduanya memberikan penjelasan yang sama. Intinya kedua hal tersebut ternyata berbeda.
Berdasarkan yang saya pahami dari buku Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit tulisan Sylvia A. Price dan Lorraine M. Wilson, Alzheimer itu merupakan salah satu bentuk demensia. Demensia atau kehilangan memori secara progresif ini terdiri menjadi 2 macam yaitu demensia primer dan demensia sekunder. Dalam hal ini penyakit alzheimer merupakan bentuk dari demensia primer yang tersering, sementara demensia sekunder biasanya bentuknya berupa penyakit degeneratif nutrisional, suatu ketiadaan atau kekurangan zat-zat makanan tertentu yang dengan demikian kondisi tersebut diketahui dapat merusak otak. Misalnya kekurangan vitamin B kompleks yang meskipun demikian masih banyak yang belum diketahui tentang peranan nutrisi dalam perkembangan saraf dan mempertahankan saraf tersebut. Selain itu yang dapat menyebabkan demensia sekunder ini adalah kebiasaan meminum alkohol. Jadi intinya, telah jelas bahwa alzheimer itu berbeda dari demensia karena alzheimer merupakan salah satu bentuk atau penyebab demensia.
Kembali lagi membahas Alzheimer, sekarang terkait dengan prevalensinya. Global Burner Disease pada tahun 2000 melaporkan prevalensi alzheimer dan demensia jenis lainnya sebesar 0,6% di dunia. Di negara Uni Eropa pada tahun 1006, jumlah penderita Alzheimer dan demensia jenis lainnya sebesar 4,5 juta jiwa. Di Amerika Serikat, diperkirakan, 2 juta orang menderita penyakit alzheimer yang meliputi 5 juta orang berusia di atas 65 tahun dan 200 ribu orang berusia di bawah 65 tahun yang dengan demikian alzheimer ini bukan hanya menjangkit lansia saja tetapi orang yang masih muda juga berpeluang terkena. Saat ini, kasus baru penyakit alzheimer muncul setiap 68 detik dan diperkirakan menjadi setiap 33 detik pada tahun 2050 (Alzheimer's Association, 2013). Lalu bagaimana prevalensinya di Indonesia? Pada tahun 2005 tercatat jumlah penderita demensia di Indonesia sebanyak 606.100 orang, hampir 10 kali lipat dibandingkan dengan Malaysia yang hanya 63.000 orang, hal ini jelas dikarenakan jumlah penduduk Malaysia pada tahun 2010 sebanyak 28,3 juta, hampir persepuluhnya jumlah penduduk Indonesia.
Berdasarkan jenis kelaminnya, wanita lebih berisiko terkena alzheimer dibandingkan pria. Berikut grafiknya.
Terkait mengapa wanita lebih berisiko, saya belum mencari tau lebih dalam lagi.
Alzheimer diklasifikasikan menjadi 3 jenis yaitu alzheimer ringan, sedang, dan berat. Pada alzheimer ringan yang bisa terjadi adalah penderita tampak sehat yang sebenarnya mereka mengalami kesulitan memahami lingkungan dan sering dikelirukan dengan penuaan. Alzheimer sedang yang terjadi adalah adanya degeneari otak yang memburuk kemudian menyebar ke area lainnya yang mengontrol bahasa, penalaran, pengolahan sensorik, dan proses berfikir, jadi pada alzheimer jenis sedang ini tanda-tanda penyakit semakin jelas dan perubahan perilaku sering terjadi. Pada alzheimer berat terjadi adanya kerusakan sel-sel saraf yang tersebar luas, kehilangan koordinasi motorik, kemampuan berjalan, berbicara, makan sendiri, dan mengenali orang lain.
Terkait dengan patologi dan patogenesis penyakitnya, secara makroskopik, perubahan otak pada alzheimer melibatkan kerusakan berat pada neuron korteks dan hipokampus serta penimbunan amiloid pada pembuluh darah intrakranial. Secara mikroskopik, terdapat perubahan morfologis (struktural) dan biokimia pada neuron-neuron. Perubahan morfologis terdiri dari dua ciri khas lesi yang pada akhirnya berkembang menjadi degenari soma (badan) dan/atau akson dan dendrit neuron. Dua ciri khas lesi tersebut antara lain kekusutan neurofibrilaris dan plak senilis.
Gambar di atas merupakan sketsa diagram perubahan degeneratif progresif dalam neuron pada penyakit Alzheimer. Badan sel dan prosesusnya menjadi membengkak dan berubah bentuk, dan terjadi kerusakan dendrit secara perlahan-lahan. Pada bagian A merupakan proses hilangnya akson dan dendrit secara progresif, sementara bagian B merupakan peningkatan inklusi patologis yang abnormal dari dalam badan sel, distorsi nukleus, dan sumbatan pada celah sitoplasma.
Kekusutan neurofibrilaris atau adanya serabut neuron yang kusut (disebut juga Tangles) merupakan suatu struktur intraseluler yang berisi serat khusut dan sebagian besar terdiri dari protein "tau". Dalam sistem saraf pusat, protein "tau" sebagian besar sebagai penghambat pembentuk struktural yang terikat dan menstabilkan mikrotubulus dan merupakan komponen penting dari sitoskeleton sel neuron. Pada alzheimer ini, terjadi fosforilasi abnormal dari protein "tau" yang secara kimia menyebabkan perubahan pada tau sehingga tidak lagi dapat terikat pada mikrotubulus secara bersama-sama. Tau yang abnormal dapat terpuntir masuk ke filamen heliks ganda. Dengan kolapsnya sistem transport internal, hubungan interseluler adalah yang pertama kali tidak berfungsi dan akhirnya diikuti oleh kematian sel. Pembentukkan neuron yang kusut dan berkembangnya neuron yang rusak ini yang salah satunya menyebabkan alzheimer.
Lesi khas yang kedua yaitu plak senilis, terdiri dari beta amiloid (A-beta) yang terbentuk dalam cairan jaringan di sekeliling neuron bukan dalam sel neuronal. A-beta adalah fragmen protein prekursor amiloid (APP) yang pada keadaan normal melekat pada membran neuron yang berperan dalam pertumbuhan dan pertahanan neuron. APP terbagi menjadi fragmen-fragmen oleh enzim protease yang salah satu fragmennya adalah A-beta, suatu fragmen yang lengket dan berkembang menjadi gumpalan yang bisa larut. Pada alzheimer, gumpalan tersebut akhirnya tercampur dengan bagian dari neuron dan sel-sel glia (khususnya mikroglia dan astrosit). Setelah beberapa waktu, campuran tersebut membeku menjadi fibril-fibril yang membentuk plak yang matang, padat, tidak dapat larut, dan diyakini beracun bagi neuron yang utuh. Selain itu, A-beta mengganggu hubungan interselular dan menurunkan respons pembuluh darah sehingga menyebabkan makin rentannya neuron-neuron terhadap stressor (misal, iskemia). Kemungkinan lain adalah bahwa A-beta menghasilkan radikal bebas sehingga mengganggu hubungan intraseluler dan menurunkan respon pembuluh darah sehingga mengakibatkan rentannya neuron terhadap stressor.
Perubahan biokimia dalam sistem saraf pusat adalah temuan mikroskopis khas lain yang ditemukan pada alzheimer. Diketahui bahwa korteks otak manusia terdiri dari sejumlah besar akson kolinergik yang melepaskan asetilkolin yang mana merupakan kunci neurotransmitter dalam fungsi kognitif yang kemudian pada penderita alzheimer ini terjadi penurunan pada neurotransmitter ini berhubung akson kolinergiknya mengalami kerusakan. Oleh karena itu salah satu obat-obatan yang bekerja berupa inhibitor kolinesterase yang bekerja menghambat enzim tersebut agar tidak mendegradasi asetilkolin sehingga tidak memperparah kondisi. Obat yang bekerja dengan mekanisme ininn hanya membantu beberapa pasien alzheimer dalam jangka waktu yang pendek (beberapa bulan hingga 2 tahun).
Kembali lagi terkait dengan jenis-jenis alzheimer. Pada alzheimer ringan, biasanya berlangsung antara 3 sampai 4 tahun; penderitanya sering mengalami berkurangnya energi; menunjukkan gejala perubahan mood, hilangnya ingatan, dan lambatnya reaksi; serta lebih suka bertemu dan bersosialisasi dengan orang-orang yang sudah mereka kenal daripada bertemu dengan orang baru.
Pada alzheimer sedang, biasanya pasien memiliki waktu antara 10 sampai 20 tahun untuk bertahan; pasien semakin membutuhkan bantuan dalam melakukan tugas-tugas yang sulit meskipun mereka masih bisa melakukan hal yang mudah dan sederhana; pasien mengalami hilangnya ingatan dan kebingungan yang serius; pasien mengalami kesulitan berbicara dan berkomunikasi; serta pasien tidak bisa ditinggal sendirian karena mereka akan mudah tersesat dan mungkin menderita depresi, stress, gelisah, dan mudah marah.
Sementara pada alzheimer berat, biasanya berlangsung antara 1 sampai 3 tahun. Kondisinya akan memburuk dari sebelumnya; kehilangan kemampuan untuk makan, berbicara, mengenal orang, dan mengontrol fungsi tubuh mrereka sendiri; seringkali hanya tidur; dan sangat penting untuk merawat mereka baik-baik karena mereka sangat rentan akan penyakit lain seperti infeksi atau penyakit pernafasan.
Terkait dengan gejalanya, secara umum keluhan awalnya biasanya susah mengingat-ingat memori. Sementara secara khusus, gejala pada alzheimer dibagi menjadi 3 yaitu yang bersifat kognitif, nonkognitif, dan fungsional.
Gejala kognitifnya berupa memory lost, aphasia (gangguan berbicara), apraxia, agnosia, dan disorientation. Terkait memory lost, pasien akan sulit mengingat-ingat memori dan sering kehilangan barang karena lupa. Aphasia merupakan suatu kondisi adanya gangguan pada kemampuan berbicara karena kesulitan mengingat kata untuk menyusun kaliat sehingga bicaranya menjadi berbelit-belit. Apraxia merupakan suatu kondisi ketika kemampuan untuk mengalami gerakan motoriknya berkurang sehingga mengalami kesulitan dalam melakukan aktivitas yang kompleks seperti memasak. Agnosia merupakan kesulitan mengenali benda-benda baik secara visual, auditori, maupun rabaan atau sentuhan yang mana gangguan ini terjadi pada saraf sensoriknya. Sementra disorientation merupakan gangguan yang menyebabkan adanya kesalahan dalam mempersepsikan waktu dan tidak bisa mengenali orang-orang terdekat. Gejala koginitif ini akan terus meningkat seiring dengan perkembangan penyakit alzheimernya.
Gejala nonkognitif dibagi menjadi dua yaitu gejala nonkognitif psikis dan gejala nonkognitif behavioral. Gejala nonkognitif psikis terdiri dari depresi dan halusinasi. Sementara yang behavioral terdiri dari agresif, hiperaktif, dan melakukan perbuatan yang sama berulang-ulang.
Sementara gejala fungsional terkait dengan ketidakmampuan untuk mengurus diri sendiri, tidak dapat melakukan pekerjaan-pekerjaan seperti mandi, makan, berpakaian, dan pergi ke toliet. Gejala fungsional ini biasa muncul pada alzheimer tahap berat.
Terkait dengan diagnosis alzheimernya, diperlukan informasi terkait gaya hidup dan riwayat pengobatannya, utamanya informasi mengenai penggunaan alkohol, pemakaian obat-obatan, dan adnaya trauma kepala. Selain itu perlu juga dilakukan pemeriksaan neurologis terkait dengan pemeriksaan terhadap refleks, koordinasi, kekuatan otot, pergerakkan mata, bicara, dan sensasi, selain itu perlu juga dilakukan pemeriksaan menggunakan CT Scan atau MRI, untuk melihat adanya kerusakan jaringan otak seperti tumor pada otak atau lesi lainnya. Kemudian pemeriksan mental juga diperlukan untuk dapat mengevaluasi memori, kemampuan memecahkan masalah, dan kemampuan berpikir, biasanya digunakan Folstein Mini-Mental State Examination (MMSE) untuk mengetahui hal tersebut.
Mengenai pemeriksaan menggunakan metode MMSE tersebut, perlu diketahui bahwa pemeriksaan dengan MMSE biasanya diberikan berupa pertanyaan-pertanyaan yang diajukan lalu diberikan skor yang apabila skor antara 10-26 maka terkena alzheimer ringan sampai sedang.
Pada terapinya, tujuan terapi dibedakan menjadi dua yaitu tujuan terapi primer dan sekunder. Tujuan terapi primer yaitu untuk merawat gangguan kognitif dan mempertahankan fungsi otak pasien selama mungkin. Sementara tujuan sekunder yaitu untuk merawat masalah perilaku dan kejiawaan yang terjadi karena adanya alzheimer.
Algoritma terapinya adalah sebagai berikut:
Skema di atas menjelaskan algoritme terapi untuk mengatasi gejala kognitifnya. Jadi pertama-tama perlu diketahui diagnosis alzheimernya terkait dengan kriteria NINCDS-ADRDA, lalu dinilai semua gangguan secara medis yang menyertainya dan terapi obat-obatan lain yang digunakan yang kemungkinan juga ada pengaruh pada kognisinya. Setelah itu, kesampingkan semua depresi yang menyertainya, evaluasi farmakoterapinya berdasarkan tahapan penyakitnya. Jika sedang sampai berat maka berikan obat inhibitor kolinesterase, memantine, atau kombinasi inhibitor kolinesterase dan memantin ditambah dengan vitamin E, jika hasil MMSE stabil (kurang dari 4 poin penurunan setelah 1 tahun) lanjutkan terapi regimen di atas. Untuk yang ringan, berikan inhibitor kolinesterase atau memantine ditambah vitamin E, jika MMSE memburuk (lebih dari sama dengan 4 pin di atas 1 tahun), alternatifkan dari yang di atas ditambah dengan vitamin E.
Mengenai algoritme terapi untuk gejala perilakunya (behavioral symptoms) atau gejala psikis yang bersamaan. Pertama-tama perlu dinilai terkait dengan gejala psikisnya dan terapi obat yang menyertainya. Kemudian berikan intervensi dari segi lingkungan dan psikososial. Terapi ini berbeda jika gejala perilakunya berupa depresi, psikosis, atau agitasi lainnya. Depresi adalah suatu kondisi yang lebih dari suatu keadaan sedih, bila kondisi depresi seseorang sampai menyebabkan terganggunya aktivitas sosial sehari-harinya. Psikosis adalah gangguan pada pribadi yang menyebabkan ketidakmampuan seseorang menilai realtia dan fantasi dirinya. Sementara agitasi adalah keresasahan atau kegelisahan, suatu bentuk gangguan yang menunjukkan aktivitas motorik berlebihan dan tak bertujuan atau kelelahan, biasanya dihubungkan dengan keadaan tegang dan ansietas.
Terkait dengan terapi depresinya dapat diberikan obat Citalopram atau Sertaline, kemudian perlu diselingi penggunaan pilihan obat tersebut, jika tidak mempan dapat diberikan Fluoxetine, Paroxetine, Venlafaxine, atau Mirtazapine. Untuk terapi dengan gejala psikosisnya dapat diberikan obat Olanzapine atau Risperidone, kemudian sama seperti yang sebelumnya dapat diselingi penggunaan obatnya, lalu jika tidak mempan dapat diberikan Quetiapine, yang jika tidak mempan juga dapat diberikan Haloperidol. Sementara untuk gejala agitasi lainnya dapat diberikan Olanzapine atau Risperidone, kemudian juga dapat diselingi pemilihan obat yang di atas, jika tidak mempan dapat digunakan Citalopram atau Carbamazepine, jika tidak mempan juga dapat diberikan Oxazepam, Buspirone, Tradozone, atau Selegiline. (Mengenai algoritme terapi ini sepertinya pembaca perlu untuk mencari dari literatur yang lain, karena saya hanya menerjemahkan apa yang ada di skema di atas yang kemungkinan dapat terjadi kesalahan dalam penerjemahannya).
Di bawah ini akan dijelaskan terkait dengan terapi farmakologi alzheimernya yang mana akan dibahas lebih mendalam terkait inhibitor kolinesterase (Donepezil, Galantamine, dan Rivastigmine), NMDA Receptor Antagonis (Memantine), Risperidone, Olanzapine, Citalopram, Sertaline, Carbamazepine, dan Asam Valproat.
Donepezil merupakan piperidine cholinesterase inhibitor. Cara kerjanya dengan menghambat enzim acetylcholinesterase secara reversibel dan nonkompeittif. Biasanya digunakan untuk pengobatan ringan hingga sedang. Adverse reaction yang biasa muncul antara lain mual, muntah, dan diare.
Galantamine mekanisme kerjanya dnegan memperlambat degradasi asetilkolin di korteks serebral dan juga mengatur reseptor nikotinik asetilkolin untuk meningkatkan asetilkolin di presinapsis saraf. Selain itu juga meningkatkan level serotonin dan glutamat. Biasanya digunakan untuk alzheimer ringan hingga sedang. Efek samping yang mungkin muncul antara lain mual, muntah, dan diare yang mana ketiga hal ini berkaitan dengan efek kolinergiknya.
Rivastigmine, selain memiliki aktivitas pada asetilkolinesterase juga memiliki aktivitas pada butirilkolinesterase. Perlu diketahui bahwa asetilkolinesterase memiliki 2 bentuk, yaitu globular 1 dan globular 4 yang mana globular 1 lebih banyak daripada globular 4. Dalam hal ini, rivastigmine dapat mencegah degradasi asetilkolin pada bagian globular 1-nya yang mana yang telah disebutkan sebelumnya jumlahnya lebih banyak sehingga aktivitas ini akan menyebabkan obat ini menjadi lebih poten. Rivastigmmine biasa digunakan untuk mengobati alzheimer ringan hingga sedang.
Obat berikutnya yang bekerja pada NMDA Reseptor. Telah diketahui bahwa pada penderita alzheimer terjadi penurunan ingatan secara progresif. Diketahui bahwa NMDA reseptor bekerja pada aktivitas otak dengan cara mengatur jumlah ion kalsium yang masuk ke sel saraf yang mana hal ini penting untuk dapat menyimpan informasi. Apabila reseptor ini distimulasi secara berlebihan akan terjadi gangguan pada proses pengolahan informasinya sehingga beberapa obat-obatan bekerja sebagai antagonis dari reseptor ini. Contoh obatnya adalah Memantine.
Memantine digunakan untuk mengobati alzheimer tingkat sedang hingga berat. Dapat dikombinasi dengan ChE inhibitor, tetapi pada umumnya digunakan sebagai monoterapi. Efek samping yang mungkin muncul antara lain konstipasi, bingung, pusing, sakit kepala, batuk, hipertensi (mirip seperti efek samping pada kolinesterase inhibitor).
Obat-obatan untuk gangguan perilaku diberikan jika memang terdapat gejala gangguan perilaku tersebut dan benar-benar dibutuhkan. Dasar pemilihan obatnya didasarkan pada efek samping obat yang didasarkan atas data empirik karena data kliniknya terbatas. Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pemilihan obatnya adalah bahwa obat tersebut perlu diberikan dalam dosis rendah, diberikan lalu dimonitor, dosisnya disesuaikan perlahan, dan didokumentasikan.
Terkait dengan depresi, golongan obat yang sesuai tentunya adalah yang termasuk ke dalam golongan antidepresan seperti SSRI, SNERI, dan TCA, namun dalam hal ini TCA harus dihindari penggunaannya pada penderita alzheimer karena bersifat antikolinergik. Golongan obat lainnya yang dapat digunakan adalah benzodiazepin, buspiron, selegilin, carbamazepin, dan asam valproat.
Risperidone merupakan salah satu obat untuk gejala perilaku nonkognitif ini yaitu obat antipsikotik atipikal yang bekerja sebagai antagonis dopamin. Efek sampingnya berupa ekstrapiramidal, somnolens, dan orthostatis. Ekstrapiramidal merupakan suatu kondisi yang menimbulkan gerakan otot tak sadar atau kejang yang biasanya terjadi pada wajah dan leher. Somnolens adalah suatu keadaan seseorang yang dapat digugah dengan berbagai stimulasi serta dapat bereaksi secara motorik. Terkait dengan orthostatik yang saya temukan lebih kepada pengertian hipotensi ortostatik yaitu kejatuhan tekanan darah pada saat seseorang berdiri, mungkin definisi ini dapat berguna dalam mengartikan orthostatik tersebut atau yang dimaksud oleh teman saya adalah hipotensi ortostatik karena berdasarkan yang saya cari tau juga ortostatik lebih mendefiniskan sebagai sikap tubuh bukan sesuatu yang memiliki makna kata kerja.
Olanzapine, merupakan obat antipsikotik atipikal juga yang bekerja dengan memblokade kolinergik. Efek samping yang mungkin muncul antara lain peningkatan berat badan, risiko diabetes, ekstrapiramidal, dan sedatif.
Citalopram merupakan antidepresan lini pertama yang mana termasuk ke dalam golongan SSRI. Sertaline juga merupakan golongan obat SSRI ini.
Carbamazepine merupakan obat antikonvulsan yang mana dapat menstabilkan suasana hati (mood). Asam valporat juga merupakan obat golongan antikonvulsan.
Selain terapi farmakologi, alzheimer juga dapat diterapi secara nonfarmakologi. Yang mana tujuan dari terapi ini adalah mengatasi gejala perilaku dan psikis serta gangguan memorinya. Terapi ini perlu dilakukan secara sinergis dengan trapi farmakologinya agar dapat meningkatkan kualitas hidup pasiennya.
Beberapa hal yagn dapat dilakukan terkait terapi nonfarmakologi ini meliputi metode komunikasi dengan penderitanya, aktivitas terapetik, melakukan modifikasi keadaan lingkungan, menjaga kesehatan secara general, dan terapi untuk kognitifnya.
Mengenai metode komunikasi dengan penderita alzheimernya, perlu untuk diusahakan masuk ke dalam pola pikir pasiennya. Perlu juga untuk mengurangi kemungkinan stres yang muncul selama interaksi.
Beberapa aktivitas terapetik yang dapat meningkatkan kualitas hidup pasien natara lain melakukan aktivitas-aktivitas yang dapat memfokuskan hobi pasien sebelum terserang alzheimer sehingga dapat menstimulus memori pasien, menggunakan ketrampilan pasien yang masih terseisa, dan mengurangi fokus pada ketrampilan yang hilang. Selain itu dapat pula dilakukan aktivitas yang dilakukan secara berkelompok seperti berkebun, melukis, menonton video dokumentasi orang-orang yang pernah disayangi.
Mengenai modifikasi keadaan lingkungan, dapat disediakan suatu lingkungan yang telah didesain agar pasien mejadi lebih mandiri, dapat mengikuti kegiatan sehingga dapat mengurangi gejala perilakunya.
Kesehatan secara umum juga perlu untuk dikendalikan dengan makan makanan yang seimbang, kaya nutrisi, dn mungkin beberapa pasien lansia memerlukan suplemen. Olahraga ringan setiap hari sepertinya perlu juga dilakukan.
Kemampuan kognitif pasien alzheimer dapat ditingkatkan melalui kegiatan-kegiatan yang dapat mengasah otak seperti mengerjakan teka-teki silang, bermain komputer, membaca, dan menebak kata.
Berikut merupakan skema ringkasan dari terapi nonfarmakologinya.
Demikian yang dapat saya sampaikan. Tentunya tidak lepas dari kekurangan dan kesalahan. Apabila terdapat kesalahan, mohon dimaafkan. Saya sarankan untuk mencari literatur lain yang lebih reliabel. Semoga sedikitnya terdapat manfaat yang dapat pembaca peroleh. Terima kasih sudah berkunjung :)
Hi there! I know this is kinda off topic nevertheless
ReplyDeleteI'd figured I'd ask. Would you be interested in exchanging
links or maybe guest writing a blog post or vice-versa?
My blog goes over a lot of the same subjects as yours and I believe we could
greatly benefit from each other. If you might be interested feel
free to shoot me an email. I look forward to hearing from you!
Wonderful blog by the way!
Mau tanya, untuk yg algiritma guideline terapi farmakologi behavioral symptoms atau non kognitifnya dapat dari sumber mana ya?
ReplyDelete