Pages - Menu

Thursday, October 17, 2013

Catatan OGES #2

Pada catatan ini, saya akan banyak membahas terkait definisi penyakit, penyebab, dan klasifikasi (jika ada) dari penyakit-penyakit sebagai berikut, antara lain konstipasi, diare, ulkus peptikum, GERD, Inflamatory Bowel Disease, nausea dan vomitting, pankreatitis, serta sirosis hati dan hepatitis. Tentunya akan dibahas terkait obat yang dapat digunakan, mekanisme kerjanya, efek samping, kontraindikasi, dan contoh obat dagangnya. Algoritma terapi akan dijelaskan sebelum deskripsi terkait masing-masing obat.

Konstipasi merupakan suatu kondisi terjadinya kesulitan dalam melakukan defekasi, biasanya pada wanita periode BAB-nya kurang dari 3 kali seminggu, sementara untuk laki-laki periode BABnya kurang dari 5 kali seminggu. Konstipasi bukan merupakan suatu penyakit, melainkan gejala dari adanya suatu penyakit, jadi salah satunya yang menyebabkan konstipasi adalah adanya penyakit, utamanya biasa terjadi pada penderita megakolon kongenital dan gangguan refleks defekasi. Penyakit lain yang menyebabkan konstipasi antara lain obstruksi gastroduodenal akibat ulkus atau kanker, Irritable Bowel Syndrom, Divertikulitis, hemoroid, ulcerative proctitis, dan tumor. Selain itu, dapat juga terjadi pada penderita gangguan metabolisme seperti DM, hipotiroidism, panhipopituitarism, peokromositoma (tumor pada kelenjar adrenal), dan hiperkalsemia. Penyakit-penyakit tersebut biasanya mempengaruhi kesulitan defekasi denagn cara melumpuhkan otot polos usus sehingga mengalami penurunan motilitas atau mengganggu refleks defekasi.

Kondisi lain seperti kurang makan-makanan yang berserat, kehamilan, faktor psikologi, dan meminum obat-obatan tertentu juga bisa menjadi penyebab konstipasi. Kurang makanan berserat menyebabkan feses menjadi keras, kondisi kehamilan menyebabkan terjadinya perubahan hormon, faktor fisiologis seperti kebiasaan menahan defekasi merupakan penjelasan terkait penyebab kesulitan defekasi tersebut. Sementara terkait obat-obatan yang dapat menyebabkan konstipasi antara lain analgesik, antihistamin, antasida, barium sulfat, blok kanal kalsium (verapamil), klonidin, diuretik, ganglion bloker, preparat besi, muscle bloker, dan polistiren sodium sulfonat.

Manifestasi klinis pada konstipasi antara lain berkurangnya frekuensi defekasi, kurangnya volume tinja, ketidaknyamanan pada perut, perasaan perut yang penuh, dan rasa sakit saat BAB.

Tujuan terapi konstipasi antara lain mengosongkan isi kolon, menghilangkan gejala, menormalkan defekasi dan mengatasi penyebab.  Terapi nonfarmakologi dilakukan dengan cara meningkatkan asupan serat dan memperbanyak minum cairan.Terapi farmakologinya dengan menggunakan obat-obatan yang bekhasiat sebagai laksatif. Laksatif terdapat dalam 4 jenis, yaitu laksatif stimulan, laksatif pembentuk massa, laksatif osmotik, dan laksatif lubrikan (emolien).

Laksatif stimulan merupakan golongan obat pencahar yang bekerja untuk meningkatkan peristaltik dan sekresi lendir usus melalui perangsangan mukosa melalui saraf intramural atau otot polos usus, bekerja pula dengan cara menghambat Na+, K+, dan ATP-ase sehingga dengan demikian dapat meningkatkan retensi air lalu menjadikan tinja menjadi lunak dan memudahkan defekasi. Selain itu bekerja pula dengan cara mensintesis prostaglandin dan mempengaruhi siklik AMP untuk meningkatkan sekresi air dan elektrolit. 

Laksatif pembentuk massa bekerja dengan cara menyerap air ke dalam lumen kolon dan meningkatkan massa feses sehingga terjadi peregangan dinding saluran cerna dan merangsang pergerakkan peristaltis. Obat ini dapat bekerja dengan cara demikian karena biasanya bahan obatnya merupakan senyawa polisakarida maupun derivat selulosa yang mudah mengembang dengan adanya air.

Laksatif osmotik merupakan obat yang terdiri dari garam atau salin katartik dan laktulosa yang dapat menyebabkan penarikan air ke kolon dengan konsep osmotis tersebut sehingga dapat meningkatkan air dalam feses. Laktulosa dapat bekerja sebagai laksatif karena adanya laktulosa dapat menginduksi bakteri untuk melakukan fermentasi dan menghasilkan asam yang dapat mempengaruhi keseimbangan ion sehingga pada akhirnya akan ada banyak air yang tertarik ke kolon. Salin katartik terdiri dari ion-ion yang sulit diabsorpsi seperti Mg, sulfat, fosfat, dan sitrat yang memiliki efek osmotik dalam menahan cairan di saluran cerna.

Laksatif lubrikan disebut juga emolien bekerja sebagai pelunak tinja dan pelumas. Bekerja dengan cara meningkatkan penimbunan air dalam usus tanpa merangsang peristaltik secara langsung maupun tidak langsung, jadi tanpa menimbulkan rasa mulas.


Diare merupakan suatu keadaan abnormal ketika pengeluaran feses menjadi terlalu sering atau frekuen. Diare ada 2 macam, yaitu diare akut dan diare kronik. Diare akut terjadi kurang dari 14 hari, sementara diare kronik terjadi lebih dari 14 hari. Diare dapat disebabkan oleh infeksi bakteri maupun virus, makanan, faktor psikologi, dan malabsorpsi. Pada infeksi, bakteri yang menyerang dapat berkembang di usus dan menyebabkan hipersekresi air dan elektrolit sehingga menyebabkan feses menjadi encer yang kemudian juga menyebabkan terjadinya peningkatan pada isi usus. Makanan yang dimakan apabila mengandung toksin dapat memicu terjadinya hiperperistaltik sehingga penyerapan makanan di usus menjadi menurun. Faktor psikologi seperti cemas juga dapat menyebabkan hiperperistaltik. Sementara terjadinya malabsorbsi, misal pada karbohidrat, lemak, maupun protein, dapat menyebabkan meningkatnya tekanan osmotik sehingga terjadi pergeseran air dan elektrolit ke usus.


Berikut merupakan algoritma terapi dari diare.



Pertama perlu diperiksa, diare yang sedang dialami merupakan diare akut atau kronik. Jika diare akut, perlu diperiksa apakah disertai dengan demam atau tidak. Jika disertai dengan demam maka perlu diberikan terapi simtomatik berupa pemberian carian sebagai pengganti elektrolit yang hilang, atau obat-obatan seperti Loperamide, Diphenoxylate, atau absorben, atau cukup ditangani dengan mengendalikan pola makan. Jika disertai dengan demam, perlu diperiksa fesesnya, apakah terdapat darah atau parasit, jika negatif maka dapat dilakukan terapi simtomatik, sementara jika positif, maka penanganannya dengan menggunakan terapi yang sesuai dengan diagnosis tersebut.


Kemudian jika kronik, perlu dilihat riwayat penyakitnya, apakah mengalami infeksi intestinal, inflamatory bowel disease, malabsorpsi, penggunaan obat-obatan tertentu, atau terdapat gangguan pergerakan usus. Jika iya, maka penanganannya adalah dengan pemberian terapi yang sesuai dengan penyakitnya.  Jika tidak, maka segera atasi dehidrasi, hentikan obat-obatan yang mungkin menjadi pemicu, perbaiki diet, dan dapat mengkonsumsi obat Loperamide atau yang bersifat adsorben.

Tujuan terapi diare antara lain mencegah dehidrasi, mengatasi dehidrasi, mencegah kerusakan nutrisi, dan mengurangi durasi dan keparahan diare. Perlu diketahui adanya derajat dehidrasi, karena hal ini penting dalam mencegah maupun mengatasi dehidrasi akibat diare. Dehidrasi ada 3, yaitu tanpa  dehidrasi, dehidrasi ringan/sedang, dan dehidrasi berat. Tanpa dehidrasi biasanya pasien dalam kondisi baik, sadar, minum seperti biasa, tidak haus, maka dapat diterapi dengan pemberian oralit atau air bersih yang matang dan ditambah dengan zinc 10-20 mg untuk anak selama 10-14 hari. Dehidrasi ringan/sedang ditandai dengan kondisi pasien yang merasa gelisah, haus, dan ingin minum banyak, diterapi dengan memberikan larutan oralit sesuai dengan berat badannya yang mana jumlah larutan ditentukan dengan mengalikan berat badan (kg) dikalikan 75 ml, atau dapat mengikuti aturan berikut:


Dehidrasi berat ditandai dengan pasien yang tampak lesu, lunglai, tidak sadar, kering, dan malas minum atau tidak bisa minum. Dapat diterapi secara intravena dan diberikan tambahan zinc.

Terapi nonfarmakologi untuk diare yang dapat dilakukan adalah dengan mengatur pola makan dan mengatur cairan dan elektrolit dalam tubuh. Sementara terapi farmakologi dapat diberikan obat-obatan yang bersifat antimotilitas, adsorben, antisekretori, dan antibakteri, lalu mikroflora dan ocreotide juga bisa digunakan.

Obat antimotilitas dapat bekerja dengan cara mengurangi gerakan usus sehingga akan memperpanjang waktu kontak dan penyerapan di usus.

Adsorben bekerja dengan cara menyerap zat-zat yang terdapat dalam saluran pencernaan dan mengeluarkannya bersama-sama dengan feses, namun karena sifatnya yang tidak spesifik selain dapat menyerap bakteri dan toksin, adsorben juga dapat menyerap nutrisi yang dibutuhkan oleh tubuh.
 
Antisekretori bekerja dengan cara menghambat peningkatan sekresi dan meningkatkan absorpsi cairan dan elektrolit pada usus ke jaringan sehingga sekresi elektrolit menjadi normal.

Antibakteri bekerja dengan cara menghambat pertumbuhan bakteri patogen usus, dengna cara menghambat sintetis THF (Tetrahidrogen Folat), sebagai inhibitor fungsi DNA, dan menghambat sintesis protein.

Mikroflora bekerja degan cara menghasilkan enzim laktase yang dapat memulihkan fungsi intestinal dan menekan pertumbuhan mikroorganisme patogen.

Obat golongan okreotida bekerja dengan cara menstimulasi cairan intestinal, menstimulasi absorpsi elektrolit, dan menghambat sekresi Cl melalui pelepasan peptida gastrointestinal.


Ulkus peptikum merupakan kerusakan atau pembentukan tukak pada saluran pencernaan bagian atas yang disebabkan oleh asam, kondisi hipoksia, obat AINS, maupun infeksi bakteri (Helicobacter pylori). Kondisi asam menyebabkan lapisan mukosa pada lambung mengalami iritasi hingga menyebabkan tukak, kondisi hipoksia menyebabkan jaringan pada membran mukosa tidak dapat memproduksi mukus sehingga tidak dapat menyeimbangkan dengan kondisi asam yang kuat, obat-obatan AINS dapat mengiritasi lambung karena dapat menghambat enzim siklooksigenase yang seharusnya dapat membentuk prostaglandin yang bekerjanya untuk melindungi produksi mukus, sementara infeksi bakteri dengan aktivitasnya dan pembentukkan koloninya dapat melubangi membran sehingga menimbulkan tukak pada lambung. Manifestasi klinisnya antara lain sakit seperti terbakar (dispepsia) pada bagian perut, mual, muntah, anoreksia, dan berat badan turun. Jika asam yang terlalu kuat tidak dapat ditahan di lambung kemudian masuk ke duodenum maka dapat menyebabkan ulkus dudonum.

Algoritma terapi ulkus peptikum dan duodenum antara lain, pertama perlu diketahui apakah yang menyebabkan ulkus H. pylori atau bukan, Jika iya, maka lakukan pengobatan pemberantasan, jika berhasil berikan obat antisekretori, lalu ulangi gastrocopy jika sembuh maka difollow up, jika tidak sembuh, lanjutkan pengobatan dan pertimbangkan pembedahan. Jika bukan H. pylori penyebabnya, apakah obat AINS penyebabnya, jika iya maka hentikan pengobatan. lanjutkan dengan pemberian antisekretori dan lanjutannya sama seperti sebelumnya. 

Terapi farmakologinya dapat dilakukan dengan menggunakan obat antasida, antagonis reseptor H2, antimuskarinik, kelator, senyawa kompleks, analog prostaglandin, serta PPI (Proton Pump Inhibitor).

Antasida bekerja dengan cara melawan keasaman lambung. Obat ini dapat pula menstimulasi produksi prostaglandin.

Antagonis reseptor H2 bekerja dengan cara menghambat reseptor H2 yang dapat mensekresi asam lambung. Contoh obatnya antara lain simetidin, ranitidin, famotidin, dan nizatidin.

Antimuskarinik bekerja dengan memblok reseptor M1 pada saraf parasimpatis sehingga menghambat aktivitas asetilkolin yaitu dapat menekan sekresi asam lambung.

Kelator, contohnya golongan obat trikalium disitratobismutat, bekerja melalui efek toksik langsung pada H. pylori atau dengan merangsang sekresi prostaglandin.

Senyawa kompleks, contohnya golongan sukralfat, bekerja dengan cara melindungi mukosa dari serangan pepsin.

Analog prostaglandin merupakan obat analog prostaglandin yang dibuat secara sintetik yang bersifat antisekresi dan proteksi, serta mempercepat penyembuhan ulkus peptikum dan duodenum.

PPI dapat menghambat sekresi asam lambung dengan cara menghambat sistem enzim adenosin trifosfat hidrogen-kalium (pompa proton) dari sel parietal lambung.


GERD (Gastroesophageal Reflux) merupakan gerakan membaliknya isi lambung menuju esofagus. GERD dapat disebabkan oleh terlalu lamanya kontak asam yang diproduksi dengan mukosa esofagus, menurunnya tekanan LES (Lower Esophageal Sphincter), lemahnya LES, masalah pertahanan mukosa normal, dan berkurangnya resistensi mukosa. Manifestasi klinisnya antara lain rasa panas dalam perut (pirosis), hipersaliva, bersendawa, dan muntah.

Terapi dapat dilakukan dengan cara menilai atau memeriksa mukosa esofagus terlebih dahulu. Terapi nonfarmakologinya antara lain dengan memodifikasi gaya hidup seperti tidak meroko, tempat tidur bagian kepala ditinggikan, tidak minum alkohol, dan diet rendah lemak. Kemudian juga dapat dilakukan terapi endoskopik, dan medika mentosa. Jika terdapat komplikasi, maka komplikasinya diberikan penanganan sesuai dengan terapinya.

Algoritma terapinya adalah sebagai berikut. Pertama, perlu diketahui terkait adanya gejala alarm pada GERD, yaitu odinofagia (rasa nyeri waktu menelan), disfagia (kesulitan menelan), berdarah, muntah, dan kehilangan berat badan. Di awal, perlu diperiksa apakah terdapat gejala alarm pada usia lebih dari 40 tahun atau tidak. Jika iya, maka lakukan endoskopi. Jika tidak, dapat dilakukan terapi empirik dengan tes PPI, apila respon menetap kemudian kambuh lagi maka lakukan endoskopi, jika responnya membaik, lakukan terapi PPI minimal 4 minggu, setelahnya jika tidak terjadi kekambuhan, maka lanjutkan, tetapi jika kambuh, lakukan endoskopi.Berikut merupakan skema algoritma dari Konsensus GERD, 2004, dan ditampilkan saat presentasi oleh teman saya.


Terapi farmakologinya menggunakan obat-obatan seperti antagonis reseptor H2, PPI, stimulan motilitas, dan pelindung mukosa. Penjelasan dan contoh obat yang termasuk ke dalam golongan obat antagonis reseptor H2 dan PPI telah diberikan sebelumnya, begitu pula pelindung mukosa yang dalam hal ini juga termasuk senyawa kompleks seperti sukralfat yang juga telah dijelaskan sebelumnya. Namun dalam hal ini, terdapat obat golongan lain yang tidak sama seperti obat pada ulkus peptikum dan duodenum, yaitu obat golongan stimulan motilitas.

Obat stimulan motilitas bekerja dengan ara merangsang pengosongan lambun dan transit usus halus, serta meningkatkan kekuatan kontraksi sfingter esofagus. contohnya cisaprid. Cisaprid memiliki kontraindikasi dengan ibu hamil dan menyusui. Efek sampingnya antara lain kram abdomen, diare, sakit kepala, pusing ,kejang, dan peningkatan frekuensi berkemih. Contoh obat dagangnya adalah acpulsif.

Inflammatory Bowel Disease (IBD), merupakan peradangan yang terjaid pada saluran scerna. Ada 2 macam tipe yaitu Crohn disease (untuk seluruh bagian saluran cerna) dan ulcerative coltiss (usus besar dan kolon.  Crohn disease secara umum belum diketahui namun dihubungkan secara genetik dengan mutasi ges NOD2 yang mungkin merupakan reseptor intraseluler terhadap komponen dinding sel bakteri. Sementara kolitis ulseratif merupakan penyakit yang meyebabkan diare berdarah, kram perut, dan demam. Biasa terjadi di bagian kolom sigmoid dan rektum.

Algoritma terapi dari IBD antara lain, perlu diketahui aktif atau tidaknya IBD, jika aktif, lalukan terapi dengan mengatasi nyeri, jika nyeri di extraintestinal berikan obat asetaminofen, jika tidak mempan berikan AINS. Jika nyerinya intraintestinal berikan asetaminofen atau langsung diberi obat golongan opioid, jika tidak mempan, berikan opioid jenis lain atau jika kejang diberi antikonvulsan. Lalu jika IBD tidak aktif ada 3 penanganan terkait dengan fungsional, adesi, dan strukturnya. Terkait fungsional, jika terjadi depresi, berikan antidepresi, lalu jika terasa nyeri lakukan konsultasi penatalaksanaan nyeri. Terkait adhesi segera lakukan pembedahan, dan terkait struktur dapat dilakukan balloon dilatation, lalu strictuloplasty, lalu resection.


Obat-obatan IBD untuk terapi farmakologi antara lain golongan obat aminosalisilat, kortikosteroid, antibiotik, antibodi anti-TNF alfa, dan immunosupresan.

Obat golongan aminosalisilat bekerja dengan cara mengurangi pembengkakkan pada rasang usus besar, mekanisme aksinya di lokal dengan cara menurunkan respon inflamasi dengan cara menghambat sintesis prostaglandin. Contoh obat golongan ini antara lain Sulfasalazin dan Mesalamine.

Obat kortikosteroid bekerja dengan cara mengurangi peradangan tanpa kontak langsung dengan jaringan yang meradang. Obat ini merupakan lini kedua setelah aminosalisilat. Bekerja dengan cara menekan sistem imun dengan mengurangi aktivitas dan produksi dari limfosit dan eosinofil. Obat golongan ini contohnya prednison dan prednisolon.

Obat golongan antibiotik diberikan jika salah satu penyebab terjadinya IBD adalah karena keberadaan bakteri, contoh antibiotik yang biasa diberikan adalah metronidazol.

Obat golongan antibodi anti-TNF alfa. TNF alfa merupakan sitokin yang terlibat dalam inflamasi sistemik dan merupakan anggota dari kelompok sitokin yang merangsang reaksi fase akut, obat golongan ini akan bekerja dengan cara menghambat ikatan TNF alfa dengan reseptornya. Contohnya adalah infliksimab.

Obat golongan imunosupresan bekerja dengan cara menghambat sintesis purin sel dan mengakibatkan adanya hambatan pada penggandaan sel sehingga dapat menekan fungsi sistem imun seluler dengan menurunkan jumlah monosit (contoh: azatioprin), bekerja dengan menghambat mitosis dengan cara mengadakan ikatan kovalen dengan DNA, RNA, atau enzim, lalu dapat menghambat pertumbuhan sel kanker (contoh: siklofosfamid), bekerja dengan menghambat enzim dihidrofolat reduktase yang mana merupakan enzim yang mengkatalisis dihidrofolat menjadi tetrahidrofolat pada sintesis asam folat sehingga sintesis DNA dapat terganggu (contoh: metotreksat).

Nausea and vomitting. Nausea atau mual merupakan perasaan ingin muntah atau gejala yang dirasakan sebelum muntah. Vomitting atau muntah merupakan pengeluaran isi lambung melalui mulut. Tahapan sebelum muntah dimulai dari mual, lalu retching, lalu ekspulsi. Retching merupakan tahapan terjadinya kekejangan dan terhentinya pernafasan yang berulang-ulang sementara glotis masih tertutup, sementara ekspulsi merupakan puncak dari retching ketika terdapat dukungan dari kontraksi otot abdomen dan diafragma sehingga terjadi muntah.

Penyebab terjadinya muntah antara lain kondisi kehamilan, obat-obatan tertentu, adanya toksin, nyeri, iradiasi, bau, tekanan serebral, inflamasi di lambung, terjadi peregangan di lambung, ketidakseimbangan pada pusat pengatur keseimbangan, sehingga kesemuanya dapat mempengaruhi saraf pengatur muntah yang diikuti dengan adanya perasaan mual, pelebaran pupil, peningkatan salica, berkeringan, dan pucat.

Terapi farmakologinya antara lain antasida, antagonis reseptor H2, antikolinergik, kortikosteroid,  benzodiazepin, antagonis dopamin, dan SSRI.

Antasida diberikan ketika penyebab mual dan muntah adalah karena adanya iritasi akibat asam yang berlebih pada lambung. Contoh obat dan mekanisme kerja yang lebih jelas telah disebutkan sebelumnya. Terkait obat antagonis reseptor H2 juga telah dijelaskan sebelumnya.

Antikolinergik bekerja denagn cara menjadi inhibitor kompetitif dari asetilkolin yang mana dapat berikatan dengan reseptor muskarinik dan menimbulkan efek seperti muntah. Contoh obatnya atropin sulfat.

Kortikosteroid bekerja seperti yang telah disebutkan sebelumnya, contoh obatnya deksametason.

Golongan obat benzodiazepin bekerja pada sistem GABA dengan memperkuatn fungsi hambatan neuron GABA, dengan adanya afinitas GABA terhadap reseptornya maka jumlah ion klorida yang mengalir akan meninkgkat sehingga menyebabkan hiperpolarisasi yang dengan demikian dapat menurukan kemampuan sel untuk dirangsang. Contoh obatnya, nitrazepam.

Antagonis dopamin bekerja dengan menghambat reseptor dopamin. Contohnya digoksin.

Selective Serotonin Reseptor Inhibitor (SSRI) bekerja dengan cara menghambat reuptake serotonin sehingga dapat melawan refleks muntah dari usus halus dan menstimulasi CTZ. Contohnya fluvoxamine.

Berikut akan dijelaskan terkait mekanisme mual dan muntah pascaoperasi (PONV, Post Operative Nausea and Vomitting).

Pertama, saraf akan menerima input dari CTZ (Chemoreceptro Trigger Zone) di area postrema, kemudian merangsang sistem vestibular (pengatur keseimbangan pada telinga tengah), lalu ke nervus vagus (yang membawa sinyal dari traktus gastrointestinal), lalu ke sistem spinoreticular (yang mencetuskan mual yang berhubungan dengan cedera fisik), dan kemudian ke nukleus traktus solitarus (yang melengkapi refleks dari gangguan refleks).

Pada intinya pada PONV, sensor utama berlokasi di usus dan CTZ. CTZ merupakan daerah kemosensori utama pada proses emesis, pusat muntah terletak di medula oblongata. Pada CTZ terdapat reseptor dopamin, serotonin, opioid, asetilkolin, dan histamin.

Berikut merupakan penjelasan trkait muntah setelah proses radiologi atau kemoterapi.

Kemoterapi dapat mempengaruhi sel normal di lambung atau saluran pencernaan, kemudian sel pencernaan akan mengirim sinyal ke pusat muntah di otak, selain itu, kemoreseptor juga dapat langsung merangsang pusat muntah di otak.

Pankreatitis atau terjadi peradangan pada pankreas, ada yang akut dan yang kronis. Pankreatitis akut ditandai dengan derajat edema, perdarahan, dan nekrosis, sementara pankreatitis kronik merupakan inflamasi pada pankreas yang disebabkan oleh kerusakan pankreas yang berkepanjangan dan bersifat irreversibel dan umumnya progresif. Penyebab terjadinya pankreatitis antara lain minum alkohol, merokok, hiperlipidemia, faktor genetik, atau terjadi obstruksi pada saluran pankreas.

Terapi farmakologinya menggunakan obat golongan opioid dan nonopioid.

Golongan opioid bekerja dengan menempati reseptor opioid terutama reseptor mu di SSP sehingga persepsi nyeri berkurang. Contoh obat meperidin

Sirosis dan hepatitis, keduanya merupakan gangguan pada hati sehingga fungsi hati mengalami penurunan.

Terapi farmakologi untuk sirosis hati antara lain beta bloker nonselektif seperti propranolol dan nadolol. Sirosis hati dapat menyebabkan komplikasi seperti varises, ascites, peritonpitis, dan ensefalopati hati. Varises dapat diberikan obat vasopresin, somastatin, atau ocreotide, prinsipnya adalah menurunkan tekanan darah. Ascites dapat diberikan spironolakton, bekerja dengan cara bersifat sebagai antagonis aldosteron sehingga tidak mempengaruhi kadar kalsium dan gula darah, selain itu dapat diberikan furosemid yang bekerja dengan menghambt kontransport Na+, K+, dan Cl-, serta menghambat reabsorpsi air dan elektrolit. Peritonitis akibat bakteri, dapat diterapi dengan cefotaxime dan ceftitiaxone yang bekerja dengan menghambat sintesis mukopeptida pada dinding sel mbakteri, kemudian berikatan pada salah satu protein pengikat penisilin yang terdapat pada membran plasma. Sementara ensefalopati hati dapat diterapi dengan pemberian laktulosa.

Hepatitis terdapat berbagai macam, yaitu hepatitis A, hepatitis B, hepatitis C, hepatitis D, dan seterusnya. Terkait dengan hepatitis, terapi yang biasa digunakan adalah vaksin, jadi lebih berupa pencegahan bukan pengobatan. Vaksin untuk hepatitis A contohnya avaxin (berupa virus hepatitis A yang diinaktifasikan). Vaksin hepatitis B contohnya Hb-Vax, pengobatannya dapat diberikan interferon Alfa dan lamivudine. Pengobatan hepatitis C dapat diberikan interferon dan ribavirin.

Demikian yang dapat saya sampaikan, tentu akan banyak terdapat kesalahan, oleh karena itu jangan jadikan ini sebagai referensi, hanya jadikan sebagai pemicu untuk meningkatkan pemahaman saja. Terima kasih sudah berkunjung :D

No comments:

Post a Comment

If you want to be notified that I've answered your comment, please leave your email address. Your comment will be moderated, it will appear after being approved. Thanks.
(Jika Anda ingin diberitahu bahwa saya telah menjawab komentar Anda, tolong berikan alamat email Anda. Komentar anda akan dimoderasi, akan muncul setelah disetujui. Terima kasih.)