Pada pertemuan ketiga mata kuliah Obat Gangguan Saraf dan Otot, dimulai presentasi pertama dari kelompok pertama tentang sakit kepala.
Sakit kepala adalah rasa sakit di bagian kepala di atas mata atau telinga, belakang kepala, atau di belakang leher bagian atas. Sakit kepala sering disebut sebagai cephalgia. Sakit kepala dibagi menjadi dua yaitu sakit kepala primer dan sekunder. Sakit kepala primer merupakan sakit kepala yang terjadi tanpa ada penyakit yang mendasarinya, yang termasuk ke dalam sakit kepala primer antara lain tension, migrain, dan cluster. Sementara sakit kepala sekunder merupakan sakit kepala yang terjadi akibat ada penyakit lain yang mendasarinya.Contohnya sakit kepala akibat mengalami influenza, radang sinus, gangguan metabolisme, stroke, cedera kepala, dan lain sebagainya.
Ada dua jenis utama sakit kepala primer, yaitu disebabkan oleh ketegangan otot yang disebut dengan miogenik dan sakit kepala akibat pelebaran pembuluh darah atau vaskular. Jadi sakit kepala primer ini tidak terjadi akibat adanya gejala awalan, tetapi karena bisa jadi karena adanya ketegangan otot atau melebarnya pembuluh darah.
Patofisiologi dan gejala. Dalam hal ini akan dijelaskan terkait patofisiologi sakit primer yang terdiri dari tension, migrain, dan cluster, serta dijelaskan terkait patofisiologi sakit sekunder yang diakibatkan oleh penyakit lain, baru setelahnya dijelaskan terkait dengan gejala-gejalanya.
Patofisiologi migrain. Pada saat sebelum terjadi sakit kepala, terjadi pengaktifan daerah saraf dan diikuti dengan inaktifasi bagian korteks yang mana fenomena ini disebut dngan "cortical spreading depression" sehingga bisa dikatakan penonaktifasian bagian ini merupakan penyebab adanya gangguan sensorik dan adanya aura pada migrain. Aura merupakan kejadian pada saat mengalami migrain dengan melihat adanya suatu seperti kilatan dalam 5 sampai kurang dari 60 menit. Kemudian diikuti dnegan adanya pelepasan neuropeptida, neuropeptida (neurotransmitter). Adanya pelepasan neuropeptida ini kemudian menimbulkan eksitasi kortikal yang terjadi pada pembuluh darah dural, sehingga kemudian menyebabkan sensitisasi lokal pada saraf aferen trigeminal. Dengan adanya sensitisasi yang berlebihan tersebut maka timbullah rasa nyeri.
Patofisiologi tension. Akibat adanya ketegangan pada otot mata misalnya, keadaan stres, aktivitas berat, atau sikap tubuh yang buruk bisa menjadi pemicu munculnya sakit kepala ini, bisa berupa sakit kepala episodik atau sakit kepala kronis. Intinya sakit kepala ini dipicu akibat adanya kontraksi otot bagi di bagian wajah, kulit kepala, maupun leher.
Patofisiologi cluster. Sesuai dengan namanya, cluster atau kelompok, mengartikan bahwa sakit kepala ini merupakan akumulasi dari adanya rasa sakit kepala di beberapa bagian kepala sehingga membentuk kelompok sakit kepala. Sakit kepala cluster ini merupakan sakit kepala yang paling berat dibandingkan dengan tension dan migrain sehingga sakit kepala ini tidak banyak yang menderita. Sakit kepala cluster ini merupakan fokus dari arteri karotis intrakavernosus. Jadi dalam hal ini terjadi sensitisasi pada pleksus perikarotis yang dirangsang oleh cabang 1 dan 2 nervus trigeminus, gaglia servikalis superior (simpatetik), dan ganglia sfenopalatinum (parasimpatetik). Diperkirakan sensitisasi dan iritasi di sekitar pleksus tersebut kemudian memberikan impuls ke batang otak sehingga bisa menyebabkan rasa nyeri di daerah periobital, retroorbital, dan dahi. Selain itu pada sakit kepala ini sering diikuti dengan adanya pengeluaran keringat di dahi, sekresi air mata, dan air hidung, hal ini disebabkan karena adanya hubungan polisinaptik dalam batang otak yang terpengaruh sebelumnya sehingga merangsang neuron-neuron yang mengeluarkan keringat dan air tersebut baik di bagian dahi, mata, dan hidung.
Gejala terjadinya migrain dapat dilihat dari tahapan terjadinya, yaitu prodrome, aura, sakit kepala, berhentinya sakit kepala, dan postdrome. Prodrome merupakan serangkaian symptoms atau gejala akan terjadinya suatu serangan penyakit yang dalam hal ini serangan sakit kepala. Fase prodrome ini biasa terjadi hanya pada 40-60% penderita sakit kepala migrainnya saja. Biasanya gejala yang terjadi antara lain suasana berubah, lekas marah, depresi atau euforia, kelelahan, menguap, kantuk berlebihan, keinginan untuk makan makanan tertentu misalnya coklat, otot-otot menjadi kaku, sembelit, atau diare, dan peningkatan buang air kecil. Kemudian setelah itu, akan mengalami aura sebagaimana yang sudah dijelaskan sebelumnya, hanya saja aura dialami oleh 20% penderitanya saja, sisanya tidak melalui fase ini sehingga langsung berlanjut ke sakit kepala. Saat merasakan sakit kepala, akan terjadi rasa denyutan, denyutan inilah yang kemudian menjadi ciri spesifik seseorang mengalami migrain, karena untuk sakit kepala biasa tidak terjadi adanya denyutan. Setelah mengalami sakit kepala, kemudian sakit kepala tersebut dapat terhenti, lalu dilanjutkan dengan postdrome yang mana kejadiannya berbeda-beda untuk tiap orangnya, beberapa akan merasakan pusing setelah sakit kepala, ada yang malaise, bahkan ada yang merasa segar dan gembira luar biasa.
Gejala tension. Sakit kepala tension biasanya dimulai pada pagi hari atau menjelang sore hari dan memburuk sepanjang hari. Gejalanya, akan terjadi nyeri agak hebat yang menetap di bagian atas mata atau dahi dan di kepala bagian belakang. Rasa nyeri ini seperti terikat oleh tali dibagian atas kepala dan nyerinya menyebar ke seluruh kepala.
Gejala tension, akan terjadi sakit kepala yang luar biasa pada bagian sekitar mata dan merambat ke daerah lain. Selain itu, berdasarkan patofisiologi yang sudah dijelaskan sebelumnya juga akan keluar keringat dari dahi dan air mata serta hidung, selain itu, ukuran pupil pun dapat mengecil atau terlihat kelopak matanya melayu.
Terkait dengan penatalaksanaan pengobatan sakit kepala ini, pertama bisa dilakukan dengan cara interview secara klinis, jadi dengan cara melakukan wawancara atau konseling secara mendalam untuk mengetahui riwayat penyakitnya, frekuensi, dan durasi serangannya. Kemudian dilakukan evaluasi, untuk mengetahui kiranya akibat penyakit tertentu, riwayat keluarga, atau memang tidak disebabkan oleh penyakit lain. Apabila hanya dengan interview klinis lalu evaluasi tidak cukup mendiagnosis penyakitnya, maka dapat dilakukan pemeriksaan tubuh dengan memeriksa tekanan darah, penilaian terhadap mata, dan pemeriksaan saraf termasuk saraf motorik dan sensorik. Apabila tidak cukup menunjang juga maka dapat dilakukan pemecahannya menggunakan alat-alat seperti CT-Scan, MRI, Lumbar Puncture, atau Blood Count/ESR.
Pada umumnya, terapi farmakologi yang dapat dilakukan adalah menggunakan obat pereda nyeri, relaksan otot, antidepresan. Sementara terapi non farmakologi yang dapat dialkukan antara lain dengan meminimalisir penyebab atau pemicu sakit kepala, manajemen stres, olahraga, dan berelaksasi.
Untuk sakit kepala yang akut dengan yang profilaktif (kondisi berat) memiliki beda penanganan obatnya. Untuk yang sakit kepala akut, obat-obatan yang bisa digunakan pada lini pertama menaik apabila obat pertama tidak mampu mengobati atau tidak mempan antara lain asetaminofen 1000 mg atau aspirin 500-1000 mg atau diclofenac potassium 50-100 mg --> ketoprofen 25-50 mg --> naproxen sodium 375-550 mg --> ibuprofen 200-400 mg. Sementara untuk yang profilaktif antara lain amitriptilin 10-75 mg --> mirtazapine 15-30 mg per hari.
Sedangkan algoritma terapinya antara lain pertama-tama perlu untuk menggunakan analgesik sederhana atau AINS. Analgesik sederhana antara lain dapat menggunakan asetaminofen, aspirin, atau kafein, sementara yang termasuk AINS antara lain ibuprofen atau naproksen. Apabila tidak mendapatkan respon hanya dengan analgesik sederhana atau AINS, maka dapat diberikan analgesik kombinasi seperti midrin, atau kombinasi asetaminofen, aspirin, dan kafein. Apabila tidak memberikan respon pula maka dapat menggunakan obat-obatan golongan triptan atau obat golongan dihidroergotamin atau ergotamin tartrat.
Berikut akan dijelaskan secara spesifik terapi yang dapat digunakan ketika mengalami migrain. Sebelum menggunakan terapi farmakologi, bisa dilakukan terapi secara nonfarmakologi seperti dengan menempelkan es di kepala dan beristirahat atau tidur sejenak di ruangan yang agak gelap dan tenang. Selain itu, dalam terapi nonfarmakologi ini perlu untuk mengidentifikasi faktor pencetus migrain lalu dihindari faktor tersebut setelah mengetahuinya. Lalu dapat dilakukan terapi relaksasi dan terapi kognitif.
Terapi farmakologinya, pertama bisa digunakan obat analgesik, Ains, Analgesik kombinasi, alkaloid ergot dan turunannya, agonis reseptor serotonin (tripran), dan opioid. Jadi, jika sakit kepala yang dirasa masih ringan, cukup digunakan obat analgesik saja.
Obat analgesik efektif untuk migrain dengan sifat ringan sampai sedang. Cara analgesik bekerja pada sakit kepala adalah dengan cara bekerja dengan memblok atau menghambat sinyal sakit pada otak dan mengganggu bagian otak yang akan mengiterpretasikan sinyal sakit tersebut tanpa menimbulkan anestesia atau sampai hilangnya kesadaran. Contoh obat analgesik adalah asetaminofen. Penggunaan asetaminofen perlu mendapat perhatian, karena jika dosis terlalu tinggi dan digunakan dalam jangka waktu yang lama dapat menimbulkan berkurangnya fungsi hati dan ginjal. Dosis yang tepat pada umumnya adalah 1 gram saat awal serangan dengan maksimal hanya 4 gram per harinya.
Obat antiinflamasi non steroid (AINS) merupakan salah satu oabt yang paling sering direkomendasikan, bekerja dengan cara menghambat siklooksigenase sehingga dapat menghambat pembentukkan prostaglandin. Dengan demikian obat AINS dapat mencegah inflamasi yang diperantarai oleh saraf di sistem trigeminovaskular. Aspirin merupakan salah satu contoh obat ains, biasanya digunakan apabila rasa nyerinya itu bersifat ringan sampai sedang. Aspirin ini kontraindikasi terhadap penggunaan oleh anak-anak di bawah umur dan anak yang sedang menyusui, selain itu juga untuk orang yang mengalami ulserasi saluran cerna dan hemofilia. Dosis yang digunakan biasanya 500-1000 mg tiap 4 sampai 6 jam, maksimal 4 gram per harinya. Contoh obat AINS yang lain antara lain ibuprofen, naproxen sodium, dan kalium diklofenak. Pada obat AINS ini perlu diperhatikan bahwa penggunaan AINS dosis tinggi dan dengan jangka waktu yang lama dapat mengakibatkan risiko gangguan jantung, stroke, masalah dengan ginjal, dan pendarahan pada bagian perut.
Obat analgesik kombinasi contohnya adalah kombinasi asetaminofen, aspirin, dan kafein yang contoh obat dagangnya adalah Excedrin, bisa didapatkan tanpa resep dokter karena ketiga obatnya bukan obat keras dan narkotika. Selain itu, aspirin dan asetaminfen dapat dikombinasi dengan butalbital (suatu bartbiturat yang kerja pendek) atau bisa juga dengan opioid, suatu golongan obat narkotika, sehingga dapat digunakan hanya dengan resep dokter. Ada juga obat dagang midrin yang merupakan kombinasi obat asetaminofen, isometepten mukat, dan dikloralfenazon. Excredin dan midrin merupakan obat sakit kepala migrain yang bersifat ringan sampai sedang, obat analgesik kombinasi ini digunakan ketika obat analgesik sederhana tidak mempan.
Obat alkaloid ergot dan turunannya merupakan obat agonis reseptor 5-HT yang bersifat nonselektif. Bekerja dengan cara melakukan kontriksi pada pembuluh darah intrakranial dan menghambat timbulnya inflamasi di sistem trigeminovaskular. Obat ini memiliki aktivitas adrenergik, beta adrenergik, dan dopaminergik. Contoh obat golongan alkaloid ergot dan turunannya antara lain Ergotamin Tartrat dan Dihidroergotamin. Ergotamin tartrat hanya diindikasikan untuk serangan akut sakit kepala migrain yang tidak responsif terhadap obat analgesik sederhana maupun kominasi. Dengan sumatriptan dapat meningkatkan risiko vasospasme. Ergotamin tartrat ini tersedia dalam bentuk sediaan peroral, sublingual, dan rektal. Untuk yang dalam sediaan oral dan rektal mengandung kafein yang dapat meningkatkan absorpsi dan efek analgesik. Karena ergotamin tartrat ini dapat mengalami first pass metabolism yang tinggi maka dianjukan menggunakan yang dalam bentuk sediaan rektal. Sementara dihidroergomatin tersedia dalam bentuk intranasal, intravena, dan subkutan. Sedangkan indikasi dan interaksi obatnya sama seperti ergotamin tartrat. Terkait efek samping, obat ergotamin ini dapat menimbulkan rasa mual, muntah, nyeri perut, rasa lemah, dan kesemutan.
Obat agonis reseptor serotonin (triptan) merupakan obat untuk sakit kepala yang bersifat sedang sampai berat atau apabila terapi darurat apabila terapi obat-obatan yang lainnya tidak dapat bekerja dengan baik sehingga gagal. Obat ini agonis selektif terhadap reseptor 5-HT1B dan 5-HT1D. Contoh obat-obatannya antara lain sumatriptan, zolmitriptan, naratriptan, rizatriptan, amotriptan, frovatriptan, dan eletriptan. Obat ini bekerja dengan cara melakukan vasokontriksi pada pembuluh darah intrakranial dengan bekerja di 5-HT1B. Selain itu juga bekerja di 5-HT1D untuk menghambat pelepasan neuropeptida yang bersifat vasoaktif dari saraf trigeminalperivasular sehingga sinyal nyeri di dalam batang otak dapat terhambat. Selain itu ternyata obat triptan ini juga menunjukkan berbagai kekuatan afinitas untuk reseptor 5-HT1A, 5-HT1E, dan 5-HT1F. Efek samping dari obat ini antara lain kesemutan (parasthesias), kelelahan, pusing, kemerahan, perasaan hangat, dan mengantuk (somnolence). Salah satu contoh obatnya adalah sumatriptan, jadi memiliki indikasi untuk serangan sakit kepala migrain dan juga sakit kepala cluster (hanya yang dalam bentuk injeksi subkutan). Obat ini berada dalam bentuk sediaan oral, intranasal, dan subkutan.
Obat opioid dapat memberikan efek pada migrain yang tidak dapat disembuhkan dengan obat lain, biasanya diberikan pada pasien yang terkena sakit kepala sedang atau berat, dan harus diawasi dan dilaporkan dengan ketat karena dikhawatirkan dapat menimbulkan ketagihan dan ketergantungan. Obat ini bekerja dengan cara berikatan dengan reseptor opioid secara langsung di sistem saraf pusat dan tepi serta di saluran gastrointestinal yang ada kaitannya dengan persepsi rasa nyeri atau sakit sehigga bekerjanya bertujuan untuk mengurangi rasa sakit tersebut. Efek sampingnya antara lain pusing, mual, muntah, mengantuk, dan gangguan indra pengecapan. Contoh obat opioid ini antara lain meperidin, butorfanol, oksikodon, dan hidromorfon.
Terapi untuk migrain ini ternyata dapat dilakukan pencegahannya, namun saya sendiri tidak banyak mengetahui bagaimana mekanisme kerjanya. Obat-obatan yang dapat digunakan sebagai tindakan pencegahan sakit kepala migrain antara lain golongan obat antagonis beta adrenergik, antidepresan, dan obat AINS serta obat-obatan lainnya. Contoh obat antagonis beta adrenergik antara lain atenolol, metoprolol, nadolol, propanolol, dan timolol. Contoh obat antidepresan antara lain amitriptilin, dokespin, imipramin, notriptilin, fluoksetin, dan fenelzin. Contoh obat AINS antara lain aspirin, ketoprofen, dan naproksen sodium. Sementara contoh obat yang lain antara lain asam valproat, vitamin B2, metisergide, dan verapamile.
Demikian yang dapat saya sampaikan. Karena ini merupakan catatan, jadi diharapkan tidak menjadi bahan literatur melainkan sebagai bahan untuk meningkatkan pemahaman saja. Kurang lebihnya mohon maaf, semoga bermanfaat. Terima kasih sudah berkunjung :)
Pada umumnya, terapi farmakologi yang dapat dilakukan adalah menggunakan obat pereda nyeri, relaksan otot, antidepresan. Sementara terapi non farmakologi yang dapat dialkukan antara lain dengan meminimalisir penyebab atau pemicu sakit kepala, manajemen stres, olahraga, dan berelaksasi.
Untuk sakit kepala yang akut dengan yang profilaktif (kondisi berat) memiliki beda penanganan obatnya. Untuk yang sakit kepala akut, obat-obatan yang bisa digunakan pada lini pertama menaik apabila obat pertama tidak mampu mengobati atau tidak mempan antara lain asetaminofen 1000 mg atau aspirin 500-1000 mg atau diclofenac potassium 50-100 mg --> ketoprofen 25-50 mg --> naproxen sodium 375-550 mg --> ibuprofen 200-400 mg. Sementara untuk yang profilaktif antara lain amitriptilin 10-75 mg --> mirtazapine 15-30 mg per hari.
Sedangkan algoritma terapinya antara lain pertama-tama perlu untuk menggunakan analgesik sederhana atau AINS. Analgesik sederhana antara lain dapat menggunakan asetaminofen, aspirin, atau kafein, sementara yang termasuk AINS antara lain ibuprofen atau naproksen. Apabila tidak mendapatkan respon hanya dengan analgesik sederhana atau AINS, maka dapat diberikan analgesik kombinasi seperti midrin, atau kombinasi asetaminofen, aspirin, dan kafein. Apabila tidak memberikan respon pula maka dapat menggunakan obat-obatan golongan triptan atau obat golongan dihidroergotamin atau ergotamin tartrat.
Berikut akan dijelaskan secara spesifik terapi yang dapat digunakan ketika mengalami migrain. Sebelum menggunakan terapi farmakologi, bisa dilakukan terapi secara nonfarmakologi seperti dengan menempelkan es di kepala dan beristirahat atau tidur sejenak di ruangan yang agak gelap dan tenang. Selain itu, dalam terapi nonfarmakologi ini perlu untuk mengidentifikasi faktor pencetus migrain lalu dihindari faktor tersebut setelah mengetahuinya. Lalu dapat dilakukan terapi relaksasi dan terapi kognitif.
Terapi farmakologinya, pertama bisa digunakan obat analgesik, Ains, Analgesik kombinasi, alkaloid ergot dan turunannya, agonis reseptor serotonin (tripran), dan opioid. Jadi, jika sakit kepala yang dirasa masih ringan, cukup digunakan obat analgesik saja.
Obat analgesik efektif untuk migrain dengan sifat ringan sampai sedang. Cara analgesik bekerja pada sakit kepala adalah dengan cara bekerja dengan memblok atau menghambat sinyal sakit pada otak dan mengganggu bagian otak yang akan mengiterpretasikan sinyal sakit tersebut tanpa menimbulkan anestesia atau sampai hilangnya kesadaran. Contoh obat analgesik adalah asetaminofen. Penggunaan asetaminofen perlu mendapat perhatian, karena jika dosis terlalu tinggi dan digunakan dalam jangka waktu yang lama dapat menimbulkan berkurangnya fungsi hati dan ginjal. Dosis yang tepat pada umumnya adalah 1 gram saat awal serangan dengan maksimal hanya 4 gram per harinya.
Obat antiinflamasi non steroid (AINS) merupakan salah satu oabt yang paling sering direkomendasikan, bekerja dengan cara menghambat siklooksigenase sehingga dapat menghambat pembentukkan prostaglandin. Dengan demikian obat AINS dapat mencegah inflamasi yang diperantarai oleh saraf di sistem trigeminovaskular. Aspirin merupakan salah satu contoh obat ains, biasanya digunakan apabila rasa nyerinya itu bersifat ringan sampai sedang. Aspirin ini kontraindikasi terhadap penggunaan oleh anak-anak di bawah umur dan anak yang sedang menyusui, selain itu juga untuk orang yang mengalami ulserasi saluran cerna dan hemofilia. Dosis yang digunakan biasanya 500-1000 mg tiap 4 sampai 6 jam, maksimal 4 gram per harinya. Contoh obat AINS yang lain antara lain ibuprofen, naproxen sodium, dan kalium diklofenak. Pada obat AINS ini perlu diperhatikan bahwa penggunaan AINS dosis tinggi dan dengan jangka waktu yang lama dapat mengakibatkan risiko gangguan jantung, stroke, masalah dengan ginjal, dan pendarahan pada bagian perut.
Obat analgesik kombinasi contohnya adalah kombinasi asetaminofen, aspirin, dan kafein yang contoh obat dagangnya adalah Excedrin, bisa didapatkan tanpa resep dokter karena ketiga obatnya bukan obat keras dan narkotika. Selain itu, aspirin dan asetaminfen dapat dikombinasi dengan butalbital (suatu bartbiturat yang kerja pendek) atau bisa juga dengan opioid, suatu golongan obat narkotika, sehingga dapat digunakan hanya dengan resep dokter. Ada juga obat dagang midrin yang merupakan kombinasi obat asetaminofen, isometepten mukat, dan dikloralfenazon. Excredin dan midrin merupakan obat sakit kepala migrain yang bersifat ringan sampai sedang, obat analgesik kombinasi ini digunakan ketika obat analgesik sederhana tidak mempan.
Obat alkaloid ergot dan turunannya merupakan obat agonis reseptor 5-HT yang bersifat nonselektif. Bekerja dengan cara melakukan kontriksi pada pembuluh darah intrakranial dan menghambat timbulnya inflamasi di sistem trigeminovaskular. Obat ini memiliki aktivitas adrenergik, beta adrenergik, dan dopaminergik. Contoh obat golongan alkaloid ergot dan turunannya antara lain Ergotamin Tartrat dan Dihidroergotamin. Ergotamin tartrat hanya diindikasikan untuk serangan akut sakit kepala migrain yang tidak responsif terhadap obat analgesik sederhana maupun kominasi. Dengan sumatriptan dapat meningkatkan risiko vasospasme. Ergotamin tartrat ini tersedia dalam bentuk sediaan peroral, sublingual, dan rektal. Untuk yang dalam sediaan oral dan rektal mengandung kafein yang dapat meningkatkan absorpsi dan efek analgesik. Karena ergotamin tartrat ini dapat mengalami first pass metabolism yang tinggi maka dianjukan menggunakan yang dalam bentuk sediaan rektal. Sementara dihidroergomatin tersedia dalam bentuk intranasal, intravena, dan subkutan. Sedangkan indikasi dan interaksi obatnya sama seperti ergotamin tartrat. Terkait efek samping, obat ergotamin ini dapat menimbulkan rasa mual, muntah, nyeri perut, rasa lemah, dan kesemutan.
Obat agonis reseptor serotonin (triptan) merupakan obat untuk sakit kepala yang bersifat sedang sampai berat atau apabila terapi darurat apabila terapi obat-obatan yang lainnya tidak dapat bekerja dengan baik sehingga gagal. Obat ini agonis selektif terhadap reseptor 5-HT1B dan 5-HT1D. Contoh obat-obatannya antara lain sumatriptan, zolmitriptan, naratriptan, rizatriptan, amotriptan, frovatriptan, dan eletriptan. Obat ini bekerja dengan cara melakukan vasokontriksi pada pembuluh darah intrakranial dengan bekerja di 5-HT1B. Selain itu juga bekerja di 5-HT1D untuk menghambat pelepasan neuropeptida yang bersifat vasoaktif dari saraf trigeminalperivasular sehingga sinyal nyeri di dalam batang otak dapat terhambat. Selain itu ternyata obat triptan ini juga menunjukkan berbagai kekuatan afinitas untuk reseptor 5-HT1A, 5-HT1E, dan 5-HT1F. Efek samping dari obat ini antara lain kesemutan (parasthesias), kelelahan, pusing, kemerahan, perasaan hangat, dan mengantuk (somnolence). Salah satu contoh obatnya adalah sumatriptan, jadi memiliki indikasi untuk serangan sakit kepala migrain dan juga sakit kepala cluster (hanya yang dalam bentuk injeksi subkutan). Obat ini berada dalam bentuk sediaan oral, intranasal, dan subkutan.
Obat opioid dapat memberikan efek pada migrain yang tidak dapat disembuhkan dengan obat lain, biasanya diberikan pada pasien yang terkena sakit kepala sedang atau berat, dan harus diawasi dan dilaporkan dengan ketat karena dikhawatirkan dapat menimbulkan ketagihan dan ketergantungan. Obat ini bekerja dengan cara berikatan dengan reseptor opioid secara langsung di sistem saraf pusat dan tepi serta di saluran gastrointestinal yang ada kaitannya dengan persepsi rasa nyeri atau sakit sehigga bekerjanya bertujuan untuk mengurangi rasa sakit tersebut. Efek sampingnya antara lain pusing, mual, muntah, mengantuk, dan gangguan indra pengecapan. Contoh obat opioid ini antara lain meperidin, butorfanol, oksikodon, dan hidromorfon.
Terapi untuk migrain ini ternyata dapat dilakukan pencegahannya, namun saya sendiri tidak banyak mengetahui bagaimana mekanisme kerjanya. Obat-obatan yang dapat digunakan sebagai tindakan pencegahan sakit kepala migrain antara lain golongan obat antagonis beta adrenergik, antidepresan, dan obat AINS serta obat-obatan lainnya. Contoh obat antagonis beta adrenergik antara lain atenolol, metoprolol, nadolol, propanolol, dan timolol. Contoh obat antidepresan antara lain amitriptilin, dokespin, imipramin, notriptilin, fluoksetin, dan fenelzin. Contoh obat AINS antara lain aspirin, ketoprofen, dan naproksen sodium. Sementara contoh obat yang lain antara lain asam valproat, vitamin B2, metisergide, dan verapamile.
Demikian yang dapat saya sampaikan. Karena ini merupakan catatan, jadi diharapkan tidak menjadi bahan literatur melainkan sebagai bahan untuk meningkatkan pemahaman saja. Kurang lebihnya mohon maaf, semoga bermanfaat. Terima kasih sudah berkunjung :)
No comments:
Post a Comment
If you want to be notified that I've answered your comment, please leave your email address. Your comment will be moderated, it will appear after being approved. Thanks.
(Jika Anda ingin diberitahu bahwa saya telah menjawab komentar Anda, tolong berikan alamat email Anda. Komentar anda akan dimoderasi, akan muncul setelah disetujui. Terima kasih.)