Pages - Menu

Saturday, September 28, 2013

Catatan Praktikum Fitokimia #2

Praktikum pada pertemuan kedua ini, diisi dengan mengerjakan pretest, kemudian responsi dengan responser. Ada banyak hal yang perlu diketahui sebelum praktikum. Sebelum melaksanakan praktikum ekstraksi dan identifikasi simplisia kulit bawang putih (kelompok kami kebagian kulit bawang putih sebagai simplisianya), setidaknya perlu diketahui beberapa hal berikut terkait ekstraksi dan identifikasi simplisia secara umum, yaitu definisi metabolit sekunder, contoh-contoh metabolit sekunder, faktor-faktor yang perlu diperhatikan dalam pemilihan metode ekstraksi, macam-macam metode ekstraksi, dan metode identifikasi untuk metabolit sekunder.

Metabolit sekunder adalah senyawa hasil metabolisme suatu tumbuhan atau insek yang manfaatnya untuk tumbuhan atau insek tersebut belum banyak diketahui tetapi akhir-akhir ini telah diketahui manfaatnya bagi manusia yaitu sebagai obat. Contoh metabolit sekunder antara lain alkaloid, flavonoid, steroid, terpenoid, glikosida jantung, glikosida saponin, glikosida antrakinon, tanin, dan sebagainya. 

Terdapat beberapa faktor yang perlu diperhatikan dalam pemilihan metode ekstraksi, antara lain:
  1. Sifat bahannya termasuk termolabil atau termostabil. Ini penting untuk diperhatikan karena untuk bahan-bahan yang termolabil maka tidak sesuai jika metode ekstraksi yang digunakan adalah yang dengan cara panas, karena bahan tersebut termolabil maka tidak tahan panas.
  2. pH. Dalam hal ini saya lupa alasan kenapa pH perlu untuk diperhatikan, tetapi kalau menurut saya, sejauh pemahaman saya, setiap senyawa memiliki kelarutan yang berbeda-beda pada rentang pH tertentu sehingga dalam hal ini perlu ditentukan pH yang sesuai agar proses ekstraksi dapat berjalan dengan lancar. (Coba cari lagi dari literatur lain ya).
Pada intinya, pemilihan metode ekstraksi paling utamanya diperlukan pertimbangan dari sifat bahannya, misalnya bahan yang mengandung musilagod dan mengembang dengan kuat sebaiknya dimaserasi, sementara kulit batang dan akar sebaiknya diperkolasi. Lalu untuk bahan-bahan yang tidak tahan panas sebaiknya menggunakan metode ekstraksi dengan cara dingin seperti pengocokkan, maserasi, atau perkolasi dan menghindari metode ekstraksi dengan cara panas seperti refluks, soxhlet, destilasi, infusa, dan dekokta.

Kemudian terkait macam-macam metode ekstraksi. Berdasarkan energi yang digunakan, metode ekstraksi ada 2, yaitu dengan cara dingin dan dengan cara panas. Dengan cara dingin seperti yang sudah disebutkan sebelumnya, ada pengocokkan, maserasi, dan perkolasi. Pengocokkan merupakan cara ekstraksi yang mana menambahkan bahan yang akan diekstraksi dengan pelarut kemudian dikocok. Sementara maserasi merupakan proses ekstraksi cair-padat menggunakan pelarut tertentu selama waktu tertentu dengan sekali-kali diaduk atau dikocok pada suhu kamar (jadi seperti merendam simplisia dalam pelarut dalam waktu tertentu). Sementara perkolasi merupakan proses ekstraksi habis-habisan dengan menggunakan pelarut segar yang selalu dibuat baru. Lalu metode ekstraksi berikutnya yaitu dengan cara panas. Metode ekstraksi yang termasuk cara panas antara lain refluks, soxhlet, infus, dekokta, dan destilasi. Refluks merupakan ekstraksi dengan pelarut pada temperatur titik didihnya selama waktu tertentu dan jumlah pelarut terbatas yang relatif konstan dengan dilakukan menggunakan alat khusus sehingga terjadi ekstraksi kontinu dengan adanya pendingin balik (seperti proses merebus). Soxhlet merupakan ekstraksi menggunakan pelarut yang selalu baru umumnya dilakukan dengan alat khusus sehingga terjadi ekstraksi kontinu dengan jumlah pelarut relatif konstan dengan adanya pendingin balik. Infus merupakan ekstraksi dengan pelarut air pada temperatur penangas air, temperatur terukur 96-98 derajat celcius pada waktu 15-20 menit. Sementara dekokta mirip dengan infus, namun pada waktu yang lebih lama yaitu lebih dari 30 menit dan temperatur sampai pada titik didih air. Sementara destilasi merupakan ekstraksi senyawa kandungan menguap dari bahan segar atau simplisia dengan uap air berdasarkan peristiwa tekanan parsial.

Soxhlet

Berikut merupakan cara identifikasi untuk beberapa metabolit sekunder:
Uji Tanin secara umum
  1. Dengan FeCl3 dapat memberikan warna.
  2. Menggunakan test gelatin, jadi sampel ditambah larutan gelatin 1% yang mengandung NaCl 10% akan terdapat endapan.
  3. Menggunakan test phenazon, caranya, sampel berupa ekstrak 5 ml ditambah 0,5 gram sodium acid phosphate, dipanaskan, lalu didinginkan kemudian disaring. Filtratnya lalu ditambah dengan 2 ml larutan phenazon, nanti akan terdapat tanin yang mengendap.
  4. Menggunakan test Goldbeater's skin. Caranya dengan membuat potongan kecil membran, lalu direndam dalam 2% HCl 5 menit, kemudian dicuci dengan aquadest. Lalu direndam dengan 1% larutan FeSO4, nanti akan terbentuk warna coklat atau hitam pada membran.
  5. Kita tahu bahwa salah satu jenis tanin adalah katekin, cara untuk mengidentifikasi adanya katekin adalah dengan cara, sampel ditambah dengan asam lalu dipanaskan, nanti akan terbentuk warna pink atau merah (menunjukkan adanya phloroglusinol.
  6. Selain itu juga ada asam klorogenat, cara mengidentifikasinya adalah dengan menggunakan ekstrak yang mengandung asam klorogenat lalu ditambah dengan aqueous ammonia, nanti akan terbentuk warna hijau.
Uji Fenol secara umum
  1. Menggunakan reaksi warna Azo, yaitu dengan cara zat ditambah dengan diazo A dan diazo B (4:1), nanti akan terbentuk warna merah frambors. Kemudian ditambah dengan amil alkohol, warna merahnya akan tertarik.
  2. Menggunakan reaksi Landolt. Dengan cara larutan sampel diteteskan dengan aquabrom, nanti akan terbentuk endapan putih yang tidak larut dalam air.
  3. Menggunakan reaksi Indofenol. Dengan cara sampel ditambah dengan anilin encer 0,01% dan Natrium Hipoklorit (sebagai oksidator) maka akan berwarna biru, lalu ditambah dengan larutan asam maka akan berubah menjadi warna merah.
Uji Flavonoid secara umum
  1. Menggunakan test Shinoda. Filtrat ditambah dengan beberapa tetes etanol 95% dan 3 mg logam Mg. Kemudian ditambah dengan HCl pekat beberapa tetes. Setelah 1-2 menit akan terjadi perubahan warna antara kuning hingga jingga. Selain menggunakan logam Mg, bisa digunakan logam Zn, dengan logam ini, akan timbul warna merah intensif.
  2. Menggunakan uji fluoresensi. Caranya, filtrat ditambah dengan beberapa tetes aseton, asam borat, dan asam oksalat kemudian dipanaskan. Residu dari pemanasan ditambah eter beberapa tetes. Campuran tersebut akan menghasilkan fluoresensi warna kuning.
  3. Menggunakan reaksi dengan NaOH atau amonia. Caranya dengan sampel ditambah dengan NaOH atau amonia, maka akan terbentuk senyawa koloid yang berwarna merah.
  4. Menggunakan reaksi dengan FeCl3. Caranya dengan melarutkan sampel dalam etanol, lalu ditambah FeCl3 10% akan berwarna biru hijau. 
  5. Menggunakan uji Wilson Taubauck, caranya, filtrat ditambah dengan aseton, serbuk asam borat, asam oksalat, kemudian diberi 5 mL eter, lalu diamati menggunakan sinar UV 366 nm maka akan memberikan fluoresensi warna kuning intensif.
Uji Alkaloid secara umum
  1. Zat ditambah dengan 0,5 ml HCl 2% kemudian ditambah pereaksi Dragendorf akan terbentuk endapan berwarna jingga.
  2. Zat dalam 0,5 mL HCl 2%, lalu ditambah dengan pereaksi Meyer akan terbentuk endapan kekuning-kuningan.
  3. Zat ditambah dengan pereaksi Frohde (1% NH4 Molibdat dalam H2SO4 pekat) akan berwarna kuning kecoklatan.
  4. Zat ditambah Diazo A dan Diazo B (4:1) dan ditambah NaOH akan terbentuk warna merah intesif.
  5. Zat ditambah pereaksi Bouchardat akan berwarna merah coklat.
  6. Zat ditambah H2SO4(p) atau HNO3 (p) akan berwarna kuning atau merah.
Uji Glikosida secara umum
  1. Untuk glikosida secara umum, dapat menggunakan pereaksi Mollisch, caranya, filtrat ditambah dengan pereaksi Mollisch maka akan berwarna biru ungu.
  2. Untuk glikosida saponin, dapat diuji dengan Honey Comb Froth Test, caranya, serbuk ditambah dengan aquadest, didinginkan lalu dikocok dengan kuat, maka akan terbentuk buih yang mantap. Setelah itu didiamkan, lalu ditambah dengan HCl 2 N, maka buih tidak menghilang.
  3. Untuk glikosida jantung, dapat menggunakan reaksi Keller Kiliani, caranya, larutan diuapkan dan ditambah dengan asam asetat, kemudian didinginkan. Ditambah dengan FeCl3 0,3 M lalu ditambah campuran FeCl3 0,3 M dengan H2SO4, maka akan terbentuk cincin merah coklat di batas cairan. Beberapa menit kemudian dapat terbentuk warna biru hijau.
  4. Untuk glikosida antrakinon, dapat menggunakan reaksi Borntrager, caranya, filtrat ditambah H2SO4 lalu ditambah benzen maka akan berwarna kuning.
  5. Selain itu untuk glikosida antrakinon bisa juga dengan filtrat ditambah Na2B4O7 maka setelah kurang lebih 30 menit akan berfluoresensi warna hijau.
Uji Terpenoid secara umum
  1. Zat ditambah pereaksi Lieberman Bourchard akan memberikan warna biru kehijauan.
Demikian yang bisa saya sampaikan, kurang lebihnya mohon maaf. Lebih baik jangan jadikan ini sebagai literatur, coba cari dari referensi yang lebih berkualitas dan terpercaya. Semoga dengan catatan ini setidaknya bisa meningkatkan pemahaman Anda. Terima kasih sudah berkunjung :)

Jasa Accounting Services


(Accounting, Taxation, SOP, Accounting System development)

Di era globalisasi dan persaingan yang amat sangat ketat, informasi mengenai posisi, komposisi dan interpretasi keuangan yang cepat, tepat, akurat dan dapat dipercaya sangatlah diperlukan oleh setiap perusahaan terutama bagi para TOP Management. CEO dan Komisaris perusahaan. Informasi tersebut sangat membantu dalam pengambilan keputusan bisnis setiap perusahaan (keputusan-keputusan jangka pendek maupun keputusan jangka panjang) baik keputusan-keputusan yang dilakukan untuk menjaga kelangsungan hidup perusahaan maupun mengembangkan perusahaan.

Kami memberikan berbagai jasa yang beragam, jasa akuntansi, keuangan. perpajakan maupun pengembangan sistem akuntansi perusahaan (software) sesuai dengan kondisi dan operasional bisnis perusahaan. Dalam melaksanakan jasa-jasa tersebut, kami didukung para tenaga profesional dan berpengalaman dalam bidangnya sehingga kami dapat memberikan pelayanan dan product yang memuaskan bagi para klien kami.

Jasa akuntansi (accounting services) ini meliputi :
  1. Pembukuan dan penyusunan laporan keuangan berdasarkan bukti-bukti pengeluaran dan penerimaan klien ( bukti-bukti transaksi - jurnal - posting - GL - TB )
  2. Penyusunan laporan keuangan perusahaan bulanan dan tahunan yang meliputi Neraca, Rugi-Laba, Laporan ekuitas dan laporan arus kas;
  3. Analisis dan Interpretasi laporan keuangan.
  4. Penyusunan Trial balance;
Jasa perpajakan (taxation services) meliputi:
1. Konsultasi perpajakan
2. Perhitungan dan pelaporan pajak bulanan (eSpt)
3. Laporan fiskal (laporan bulanan dan tahunan)
4. Tax Planning

Jasa lainnya:
1. Jasa pembuatan dan pengembangan Sistem Akuntansi (software)
2. Jasa penyusunan Standard Operational Procedure (SOP) perusahaan

Bagi yang berminat degan jasa yang kami tawarkan dapat menghubungi kami.

distroubuntu solution

Thursday, September 26, 2013

Look at the white area!

 

Never look at the black spot, but look at its around, the white area.
There is more good people around you,
don't be sad.
Keep smile :)

Monday, September 23, 2013

Catatan OGSO #3

Pada pertemuan ketiga mata kuliah Obat Gangguan Saraf dan Otot, dimulai presentasi pertama dari kelompok pertama tentang sakit kepala.

Sakit kepala adalah rasa sakit di bagian kepala di atas mata atau telinga, belakang kepala, atau di belakang leher bagian atas. Sakit kepala sering disebut sebagai cephalgia. Sakit kepala dibagi menjadi dua yaitu sakit kepala primer dan sekunder. Sakit kepala primer merupakan sakit kepala yang terjadi tanpa ada penyakit yang mendasarinya, yang termasuk ke dalam sakit kepala primer antara lain tension, migrain, dan cluster. Sementara sakit kepala sekunder merupakan sakit kepala yang terjadi akibat ada penyakit lain yang mendasarinya.Contohnya sakit kepala akibat mengalami influenza, radang sinus, gangguan metabolisme, stroke, cedera kepala, dan lain sebagainya.

Ada dua jenis utama sakit kepala primer, yaitu disebabkan oleh ketegangan otot yang disebut dengan miogenik dan sakit kepala akibat pelebaran pembuluh darah atau vaskular. Jadi sakit kepala primer ini tidak terjadi akibat adanya gejala awalan, tetapi karena bisa jadi karena adanya ketegangan otot atau melebarnya pembuluh darah.

Patofisiologi dan gejala. Dalam hal ini akan dijelaskan terkait patofisiologi sakit primer yang terdiri dari tension, migrain, dan cluster, serta dijelaskan terkait patofisiologi sakit sekunder yang diakibatkan oleh penyakit lain, baru setelahnya dijelaskan terkait dengan gejala-gejalanya.

Patofisiologi migrain. Pada saat sebelum terjadi sakit kepala, terjadi pengaktifan daerah saraf dan diikuti dengan inaktifasi bagian korteks yang mana fenomena ini disebut dngan "cortical spreading depression" sehingga bisa dikatakan penonaktifasian bagian ini merupakan penyebab adanya gangguan sensorik dan adanya aura pada migrain. Aura merupakan kejadian pada saat mengalami migrain dengan melihat adanya suatu seperti kilatan dalam 5 sampai kurang dari 60 menit. Kemudian diikuti dnegan adanya pelepasan neuropeptida, neuropeptida (neurotransmitter). Adanya pelepasan neuropeptida ini kemudian menimbulkan eksitasi kortikal yang terjadi pada pembuluh darah dural, sehingga kemudian menyebabkan sensitisasi lokal pada saraf aferen trigeminal. Dengan adanya sensitisasi yang berlebihan tersebut maka timbullah rasa nyeri.

Patofisiologi tension. Akibat adanya ketegangan pada otot mata misalnya, keadaan stres, aktivitas berat, atau sikap tubuh yang buruk bisa menjadi pemicu munculnya sakit kepala ini, bisa berupa sakit kepala episodik atau sakit kepala kronis. Intinya sakit kepala ini dipicu akibat adanya kontraksi otot bagi di bagian wajah, kulit kepala, maupun leher.

Patofisiologi cluster. Sesuai dengan namanya, cluster atau kelompok, mengartikan bahwa sakit kepala ini merupakan akumulasi dari adanya rasa sakit kepala di beberapa bagian kepala sehingga membentuk kelompok sakit kepala. Sakit kepala cluster ini merupakan sakit kepala yang paling berat dibandingkan dengan tension dan migrain sehingga sakit kepala ini tidak banyak yang menderita. Sakit kepala cluster ini merupakan fokus dari arteri karotis intrakavernosus. Jadi dalam hal ini terjadi sensitisasi pada pleksus perikarotis yang dirangsang oleh cabang 1 dan 2 nervus trigeminus, gaglia servikalis superior (simpatetik), dan ganglia sfenopalatinum (parasimpatetik). Diperkirakan sensitisasi dan iritasi di sekitar pleksus tersebut kemudian memberikan impuls ke batang otak sehingga bisa menyebabkan rasa nyeri di daerah periobital, retroorbital, dan dahi. Selain itu pada sakit kepala ini sering diikuti dengan adanya pengeluaran keringat di dahi, sekresi air mata, dan air hidung, hal ini disebabkan karena adanya hubungan polisinaptik dalam batang otak yang terpengaruh sebelumnya sehingga merangsang neuron-neuron yang mengeluarkan keringat dan air tersebut baik di bagian dahi, mata, dan hidung.

Gejala terjadinya migrain dapat dilihat dari tahapan terjadinya, yaitu prodrome, aura, sakit kepala, berhentinya sakit kepala, dan postdrome. Prodrome merupakan serangkaian symptoms atau gejala akan terjadinya suatu serangan penyakit yang dalam hal ini serangan sakit kepala. Fase prodrome ini biasa terjadi hanya pada 40-60% penderita sakit kepala migrainnya saja. Biasanya gejala yang terjadi antara lain suasana berubah, lekas marah, depresi atau euforia, kelelahan, menguap, kantuk berlebihan, keinginan untuk makan makanan tertentu misalnya coklat, otot-otot menjadi kaku, sembelit, atau diare, dan peningkatan buang air kecil. Kemudian setelah itu, akan mengalami aura sebagaimana yang sudah dijelaskan sebelumnya, hanya saja aura dialami oleh 20% penderitanya saja, sisanya tidak melalui fase ini sehingga langsung berlanjut ke sakit kepala. Saat merasakan sakit kepala, akan terjadi rasa denyutan, denyutan inilah yang kemudian menjadi ciri spesifik seseorang mengalami migrain, karena untuk sakit kepala biasa tidak terjadi adanya denyutan. Setelah mengalami sakit kepala, kemudian sakit kepala tersebut dapat terhenti, lalu dilanjutkan dengan postdrome yang mana kejadiannya berbeda-beda untuk tiap orangnya, beberapa akan merasakan pusing setelah sakit kepala, ada yang malaise, bahkan ada yang merasa segar dan gembira luar biasa.

Gejala tension. Sakit kepala tension biasanya dimulai pada pagi hari atau menjelang sore hari dan memburuk sepanjang hari. Gejalanya, akan terjadi nyeri agak hebat yang menetap di bagian atas mata atau dahi dan di kepala bagian belakang. Rasa nyeri ini seperti terikat oleh tali dibagian atas kepala dan nyerinya menyebar ke seluruh kepala.

Gejala tension, akan terjadi sakit kepala yang luar biasa pada bagian sekitar mata dan merambat ke daerah lain. Selain itu, berdasarkan patofisiologi yang sudah dijelaskan sebelumnya juga akan keluar keringat dari dahi dan air mata serta hidung, selain itu, ukuran pupil pun dapat mengecil atau terlihat kelopak matanya melayu.

Terkait dengan penatalaksanaan pengobatan sakit kepala ini, pertama bisa dilakukan dengan cara interview secara klinis, jadi dengan cara melakukan wawancara atau konseling secara mendalam untuk mengetahui riwayat penyakitnya, frekuensi, dan durasi serangannya. Kemudian dilakukan evaluasi, untuk mengetahui kiranya akibat penyakit tertentu, riwayat keluarga, atau memang tidak disebabkan oleh penyakit lain. Apabila hanya dengan interview klinis lalu evaluasi tidak cukup mendiagnosis penyakitnya, maka dapat dilakukan pemeriksaan tubuh dengan memeriksa tekanan darah, penilaian terhadap mata, dan pemeriksaan saraf termasuk saraf motorik dan sensorik. Apabila tidak cukup menunjang juga maka dapat dilakukan pemecahannya menggunakan alat-alat seperti CT-Scan, MRI, Lumbar Puncture, atau Blood Count/ESR.

Pada umumnya, terapi farmakologi yang dapat dilakukan adalah menggunakan obat pereda nyeri, relaksan otot, antidepresan. Sementara terapi non farmakologi yang dapat dialkukan antara lain dengan meminimalisir penyebab atau pemicu sakit kepala, manajemen stres, olahraga, dan berelaksasi.

 Untuk sakit kepala yang akut dengan yang profilaktif (kondisi berat) memiliki beda penanganan obatnya. Untuk yang sakit kepala akut, obat-obatan yang bisa digunakan pada lini pertama menaik apabila obat pertama tidak mampu mengobati atau tidak mempan antara lain asetaminofen 1000 mg atau aspirin 500-1000 mg atau diclofenac potassium 50-100 mg --> ketoprofen 25-50 mg --> naproxen sodium 375-550 mg --> ibuprofen 200-400 mg. Sementara untuk yang profilaktif antara lain amitriptilin 10-75 mg --> mirtazapine 15-30 mg per hari.

Sedangkan algoritma terapinya antara lain pertama-tama perlu untuk menggunakan analgesik sederhana atau AINS. Analgesik sederhana antara lain dapat menggunakan asetaminofen, aspirin, atau kafein, sementara yang termasuk AINS antara lain ibuprofen atau naproksen. Apabila tidak mendapatkan respon hanya dengan analgesik sederhana atau AINS, maka dapat diberikan analgesik kombinasi seperti midrin, atau kombinasi asetaminofen, aspirin, dan kafein. Apabila tidak memberikan respon pula maka dapat menggunakan obat-obatan golongan triptan atau obat golongan dihidroergotamin atau ergotamin tartrat.

Berikut akan dijelaskan secara spesifik terapi yang dapat digunakan ketika mengalami migrain. Sebelum menggunakan terapi farmakologi, bisa dilakukan terapi secara nonfarmakologi seperti dengan menempelkan es di kepala dan beristirahat atau tidur sejenak di ruangan yang agak gelap dan tenang. Selain itu, dalam terapi nonfarmakologi ini perlu untuk mengidentifikasi faktor pencetus migrain lalu dihindari faktor tersebut setelah mengetahuinya. Lalu dapat dilakukan terapi relaksasi dan terapi kognitif.

Terapi farmakologinya, pertama bisa digunakan obat analgesik, Ains, Analgesik kombinasi, alkaloid ergot dan turunannya, agonis reseptor serotonin (tripran), dan opioid. Jadi, jika sakit kepala yang dirasa masih ringan, cukup digunakan obat analgesik saja.

Obat analgesik efektif untuk migrain dengan sifat ringan sampai sedang. Cara analgesik bekerja pada sakit kepala adalah dengan cara bekerja dengan memblok atau menghambat sinyal sakit pada otak dan mengganggu bagian otak yang akan mengiterpretasikan sinyal sakit tersebut tanpa menimbulkan anestesia atau sampai hilangnya kesadaran. Contoh obat analgesik adalah asetaminofen. Penggunaan asetaminofen perlu mendapat perhatian, karena jika dosis terlalu tinggi dan digunakan dalam jangka waktu yang lama dapat menimbulkan berkurangnya fungsi hati dan ginjal. Dosis yang tepat pada umumnya adalah 1 gram saat awal serangan dengan maksimal hanya 4 gram per harinya.

Obat antiinflamasi non steroid (AINS) merupakan salah satu oabt yang paling sering direkomendasikan, bekerja dengan cara menghambat siklooksigenase sehingga dapat menghambat pembentukkan prostaglandin. Dengan demikian obat AINS dapat mencegah inflamasi yang diperantarai oleh saraf di sistem trigeminovaskular. Aspirin merupakan salah satu contoh obat ains, biasanya digunakan apabila rasa nyerinya itu bersifat ringan sampai sedang. Aspirin ini kontraindikasi terhadap penggunaan oleh anak-anak di bawah umur dan anak yang sedang menyusui, selain itu juga untuk orang yang mengalami ulserasi saluran cerna dan hemofilia. Dosis yang digunakan biasanya 500-1000 mg tiap 4 sampai 6 jam, maksimal 4 gram per harinya. Contoh obat AINS yang lain antara lain ibuprofen, naproxen sodium, dan kalium diklofenak. Pada obat AINS ini perlu diperhatikan bahwa penggunaan AINS dosis tinggi dan dengan jangka waktu yang lama dapat mengakibatkan risiko gangguan jantung, stroke, masalah dengan ginjal, dan pendarahan pada bagian perut.

 Obat analgesik kombinasi contohnya adalah kombinasi asetaminofen, aspirin, dan kafein yang contoh obat dagangnya adalah Excedrin, bisa didapatkan tanpa resep dokter karena ketiga obatnya bukan obat keras dan narkotika. Selain itu, aspirin dan asetaminfen dapat dikombinasi dengan butalbital (suatu bartbiturat yang kerja pendek) atau bisa juga dengan opioid, suatu golongan obat narkotika, sehingga dapat digunakan hanya dengan resep dokter. Ada juga obat dagang midrin yang merupakan kombinasi obat asetaminofen, isometepten mukat, dan dikloralfenazon. Excredin dan midrin merupakan obat sakit kepala migrain yang bersifat ringan sampai sedang, obat analgesik kombinasi ini digunakan ketika obat analgesik sederhana tidak mempan.

Obat alkaloid ergot dan turunannya merupakan obat agonis reseptor 5-HT yang bersifat nonselektif. Bekerja dengan cara melakukan kontriksi pada pembuluh darah intrakranial dan menghambat timbulnya inflamasi di sistem trigeminovaskular. Obat ini memiliki aktivitas adrenergik, beta adrenergik, dan dopaminergik. Contoh obat golongan alkaloid ergot dan turunannya antara lain Ergotamin Tartrat dan Dihidroergotamin. Ergotamin tartrat hanya diindikasikan untuk serangan akut sakit kepala migrain yang tidak responsif terhadap obat analgesik sederhana maupun kominasi. Dengan sumatriptan dapat meningkatkan risiko vasospasme. Ergotamin tartrat ini tersedia dalam bentuk sediaan peroral, sublingual, dan rektal. Untuk yang dalam sediaan oral dan rektal mengandung kafein yang dapat meningkatkan absorpsi dan efek analgesik. Karena ergotamin tartrat ini dapat mengalami first pass metabolism yang tinggi maka dianjukan menggunakan yang dalam bentuk sediaan rektal. Sementara dihidroergomatin tersedia dalam bentuk intranasal, intravena, dan subkutan. Sedangkan indikasi dan interaksi obatnya sama seperti ergotamin tartrat. Terkait efek samping, obat ergotamin ini dapat menimbulkan rasa mual, muntah, nyeri perut, rasa lemah, dan kesemutan.

Obat agonis reseptor serotonin (triptan) merupakan obat untuk sakit kepala yang bersifat sedang sampai berat atau apabila terapi darurat apabila terapi obat-obatan yang lainnya tidak dapat bekerja dengan baik sehingga gagal. Obat ini agonis selektif terhadap reseptor 5-HT1B dan 5-HT1D. Contoh obat-obatannya antara lain sumatriptan, zolmitriptan, naratriptan, rizatriptan, amotriptan, frovatriptan, dan eletriptan. Obat ini bekerja dengan cara melakukan vasokontriksi pada pembuluh darah intrakranial dengan bekerja di 5-HT1B. Selain itu juga bekerja di 5-HT1D untuk menghambat pelepasan neuropeptida yang bersifat vasoaktif dari saraf trigeminalperivasular sehingga sinyal nyeri di dalam batang otak dapat terhambat. Selain itu ternyata obat triptan ini juga menunjukkan berbagai kekuatan afinitas untuk reseptor 5-HT1A, 5-HT1E, dan 5-HT1F. Efek samping dari obat ini antara lain kesemutan (parasthesias), kelelahan, pusing, kemerahan, perasaan hangat, dan mengantuk (somnolence). Salah satu contoh obatnya adalah sumatriptan, jadi memiliki indikasi untuk serangan sakit kepala migrain dan juga sakit kepala cluster (hanya yang dalam bentuk injeksi subkutan). Obat ini berada dalam bentuk sediaan oral, intranasal, dan subkutan.

Obat opioid dapat memberikan efek pada migrain yang tidak dapat disembuhkan dengan obat lain, biasanya diberikan pada pasien yang terkena sakit kepala sedang atau berat, dan harus diawasi dan dilaporkan dengan ketat karena dikhawatirkan dapat menimbulkan ketagihan dan ketergantungan. Obat ini bekerja dengan cara berikatan dengan reseptor opioid secara langsung di sistem saraf pusat dan tepi serta di saluran gastrointestinal yang ada kaitannya dengan persepsi rasa nyeri atau sakit sehigga bekerjanya bertujuan untuk mengurangi rasa sakit tersebut. Efek sampingnya antara lain pusing, mual, muntah, mengantuk, dan gangguan indra pengecapan. Contoh obat opioid ini antara lain meperidin, butorfanol, oksikodon, dan hidromorfon.

Terapi untuk migrain ini ternyata dapat dilakukan pencegahannya, namun saya sendiri tidak banyak mengetahui bagaimana mekanisme kerjanya. Obat-obatan yang dapat digunakan sebagai tindakan pencegahan sakit kepala migrain antara lain  golongan obat antagonis beta adrenergik, antidepresan, dan obat AINS serta obat-obatan lainnya. Contoh obat antagonis beta adrenergik antara lain atenolol, metoprolol, nadolol, propanolol, dan timolol. Contoh obat antidepresan antara lain amitriptilin, dokespin, imipramin, notriptilin, fluoksetin, dan fenelzin. Contoh obat AINS antara lain aspirin, ketoprofen, dan naproksen sodium. Sementara contoh obat yang lain antara lain asam valproat, vitamin B2, metisergide, dan verapamile.

Demikian yang dapat saya sampaikan. Karena ini merupakan catatan, jadi diharapkan tidak menjadi bahan literatur melainkan sebagai bahan untuk meningkatkan pemahaman saja. Kurang lebihnya mohon maaf, semoga bermanfaat. Terima kasih sudah berkunjung :)

Thursday, September 19, 2013

Catatan Praktikum Fitokimia #1

Pada pertemuan paling pertama, terdapat pengantar yang menjelaskan kegiatan praktikum ini dalam satu semester ini. Jadi ringkasnya, pertemuan diawali dengan pengantar praktikum, kemudian dilanjutkan dengan inventaris alat-alat praktikum, pretest, pembicaraan metode ekstraksi, identifikasi, persiapan alat, reagen, dan simplisianya, lalu 3 kali pertemuan terkait praktikum ekstraksi dan identifikasi, minggu berikutnya diadakan kembali pretest terkait penetapan kadar, lalu pembicaraan penetapan kadar, praktikum ekstraksi dan penetapan kadarnya selama 3 kali pertemuan juga, kemudian minggu berikutnya kembali pretest mengenai isolasi, pembicaraan isolasinya, praktikum ekstraksi, isolasi dengan diawali oleh preparasi kolom. Minggu terakhir diadakan UAS. Jadi pada satus semester ini terdapat 3 materi praktikum utama yaitu terkait identifikasi, penetapan kadar, dan isolasi, yang mana ketiganya diperlukan pengetahuan sebelumnya terkait ekstraksi.

Di pertemuan pertama ini, diberitahukan kelompok-kelompoknya beserta simplisia yang harus disiapkan untuk praktikum. Kelompok saya mendapatkan simplisia kulit bawang putih untuk praktikum identifikasi dan penetapan kadarnya, sementara untuk praktikum isolasi, diberikan simplisia biji pala.

Pertemuan praktikum pertama ini diakhiri dengan inventaris alat-alat praktikum.

Wednesday, September 18, 2013

Catatan Semsol #1

Pada pertemuan pertama mata kuliah Teknologi Sediaan Setengah Padat dan Cair atau yang biasa disebut-sebut oleh mahasiswa farmasi pada umumnya dengan sebutan semsol, dibahas terkait pengantar sediaan setengah padat dan terkait organ pada tubuh manusia yang biasanya merupakan sasaran sediaan setengah padat ini, yaitu kulit.

Sebelumnya, dosennya, Ibu Silvi, menyebutkan beberapa literatur yang bisa mahasiswa pelajari berkaitan dengan mata kuliah ini, antara lain buku "Pharmaceutics: The Science Dosage Form Design" (Michael E. Aulton), buku "Pharmaceutical Dosage Forms and Drugs Delivery Systems, 7th Ed" (Howard C. Amsel Loyd V. Allend, et. al.), dan buku "Modern Pharmaceutics" (Gilbert).

Tentunya pada mata kuliah ini perlu diketahui macam-macam sediaan setengah padat/solid dan juga perbedaan definisinya, terkait hal tersebut dapat dilihat di FI atau di USP. Sekedar mengetahui saja atau kita juga sama-sama tahu bahwa contoh sediaan setengah padat antara lain krim, jel, salep, dan pasta. Berdasarkan FI 4, krim (cremos) adalah bentuk sediaan setengah padat mengandung satu atau lebih bahan obat terlarut atau terdispersi dalam bahan dasar yang sesuai. Salep (unguenta) adalah sediaan setengah padat ditujukan untuk pemakaian topikal pada kulit atau selaput lendir. Pasta adalah sediaan semipadat yang mengandung satu atau lebih bahan obat yang ditujukan untuk pemakaian topikal. Sementara jel berdasarkan FI 4 didefinisikan sebagai sistem semipadat terdiri dari suspensi yang dibuat dari partikel anorganik yang kecil atau molekul organik yang besar, terpenetrasi oleh suatu cairan. Dengan definisi-definisi tersebut kiranya belum banyak dapat memberikan gambaran perbedaan pada keempatnya, dibutuhkan pemahaman lebih lanjut agar dapat membedakannya. Pada catatan berikutnya akan terdapat penjelasannya.

Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam pengembangan bentuk sediaan setengah padat antara lain konsentrasi obat yang dapat melalui kulit, jumlah obat yang dapat berada di atas kulit, kemampuan penyimpanan obat dalam pembuatan sediaan semisolid (setengah padat), dan penerimaan pasien terhadap formula yang dibuat.

Terkait pengembangan sediaan semisolid, perlu diketahui bagian kulit mana yang akan dijadikan sasaran obatnya. Karena pembuatan sediaan ini tergantung dari bagian kulit mana yang dimaksud, tentunya bagian kulit di tubuh manusia berbeda-beda anatomi dan fisiologinya, kulit di wajah dengan telapak kaki jelas berbeda, jadi sediaan semisolidnya juga akan berbeda komposisi dan mekanisme kerjanya.

Kulit terdiri dari 3 bagian utama yaitu epidermis, dermis, dan subkutan (hipodermis). Epidermis merupakan bagian terluar dari kulit yang terpapar lingkungan secara langsung. Epidermis terdiri dari 5 lapisan, yaitu stratum corneum, stratum lucidium, stratum granulosum, stratum spinosum, dan stratum basale.


Jika akan dibuat suatu sediaan semisolid yang memiliki efek terapi pada kulit, maka zat aktif pada sediaan tersebut harus dapat menembus barier anatominya. Misalnya, apabila ingin dapat bekerja di bagian stratum corneum-nya, maka zat aktif perlu dapat menembus atau sampai pada lapisan tersebut. Caranya adalah dengan mengetahui komposisi senyawa-senyawa pada lapisan tersebut yang dalam hal ini diketahui tesrdapat kolesterol ester, trigliserida, asam lemak, seramida, glukosil seramida, dan sebagainya, maka selanjutnya caranya adalah dengan  mengetahui sifat fisikokimia dari senyawa-senyawa tersebut, lalu dari hal tersebut bisa diformulasikan sediaannya sedemikian rupa agar dapat menembus pada bagian tersebut.

Sementara bagian dermis, biasanya terdiri dari kolagen, retikulum, dan elastin. Sebelumnya sekedar diketahui bahwa kulit berfungsi untuk melindungi tubuh dan sebagai regulator.

Pada intinya, karena stratum corneum merupakan lapisan paling luar pada tubuh manusia, maka sediaan semisolid dibuat paling utama agar dapat melakukan penetrasi pada lapisan terluar tersebut terlebih dahulu karena jika terhadap lapisan terluar saja tidak dapat ditembus tentunya apabila sasarannya adalah lapisan yang lebih dalam dari itu, tetap tidak akan bisa sampai zat aktifnya.

Penetrasi obat dipengaruhi oleh morfologi, perubahan tipe sel, dan proses dinamik.

Sebenarnya, zat aktif pada sediaan semisolid selain melalui stratum corneum sebagai jalur utama, juga dapat melewati kelenjar keringat. Namun karena pada tubuh manusia pada dasarnya tidak banyak kelenjar keringatnya, maka yang sudah pasti, di manapun zat aktif tersebut memulai aksinya, pasti akan bertemu lapisan stratum corneum, tapi belum tentu bertemu dengan kelenjar keringat.

Pada kulit terdapat lemak, terutama pada stratum corneum juga terdapat lemak. Adanya lemak ini menjadikan kulit jadi  sulit untuk ditembus.

Penetrasi melalui stratum corneum ini dibagi menjadi dua, yaitu absorpsi trans-epidermal dan trans appendageal. Absorpsi trans epidermal merupakan cara zat aktif melakukan penetrasi melewati lapisan epidermis, bisa secara trans-seluler maupun interseluler.


Kulit tidak hanya terdiri dari lemak (sebagaimana sebelumnya juga telah disebutkan), ada juga yang mengandung protein. Dengan demikian, penetrasi zat aktif terhadap kulit tidak semudah menntukan senyawa polar atau nonpolar. Jadi yang penting dalam hal ini adalah koefisien partisinya. Untuk sediaan ini, tentunya perlu dipilih yang memiliki koefisien partisi yang baik, yaitu yang memiliki perbandingan kelarutan pada senyawa polar dan nonpolar yang seimbang.

Terkait penetrasi obat ke dalam tubuh, apabila sasarannya adalah sirkulasi sistemik, maka disebut dengan absorpsi perkutan. Jadi diharapkan obat atau zat aktif dapat sampai hingga ke pembuluh darah. Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi absorpsi perkutan, antara lain:
  1. Harga koefisien partisi obat. Cara untuk merubah koefisien partisi suatu zat aktif bisa dengan memodifikasi gugus-gugusnya.
  2. Kondisi pH sediaan. Hal ini terkait dengan pengaruh disosiasinya yang menjadi suatu hal yang sangat penting untuk zat aktif yang sangat dipengaruhi oleh pH. Misalnya saja Asam Diklofenak yang pH di bawah 5 saja tidak dapat larut. Dalam hal ini penanganannya adalah dengan mengambil bentuk garamnya yaitu Natrium Diklofenak, namun sebenarnya kelarutannya juga tidak terlalu baik, setidaknya jauh lebih baik dibandingkan bentuk asamnya. Terkait ini bisa juga dilakukan pengaturan pada pH sediaannya.
  3. Konsentrasi obat. Jika konsentrasi makin tinggi maka absorpsinya tentu akan meningkat. Tetapi perlu diketahui bahwa dalam hal ini, kulit memiliki batasan atau titik jenuhnya, seberapa banyak pun ditambahkan konsentrasinya tidak akan mempengaruhi kemampuan absorpsinya. Jadi terdapat titik kejenuhan. 
  4. Profil pelepasan obat dari pembawanya. Sediaan atau basis pada dasarnya membawa zat aktif. Jadi dibuat sedemikian rupa agar zat aktifnya dapat lepas meninggalkan zat aktifnya. Afinitas zat aktif terhadap pembawanya dalam hal ini menjadi penting sehingga kelarutan zat aktif dalam pembawa menjadi salah satu yang perlu diperhatikan.
  5. Komposisi sistem tempat pemberian obat. Pada dasarnya struktur kulit pada seluruh bagian tubuh sama, namun komposisinya yang terkadang membedakan, sehingga dalam hal ini perlu diperhatikan komposisinya terkait dengan permeabilitas lapisan kulit tersebut.
  6. Adanya efek depo (berkumpul pada lapisan tandu (stratum corneum)). Bukan tidak mungkin sediaan yang dibuat tidak dapat melepaskan zat aktifnya. Apabila formulasinya kurang baik, maka zat aktif dapat mengalami ikatan dengan lapisan tanduk tersebut yang kemudian bersifat irreversibel.
  7. Peningkatan suhu kulit dapat menyebabkan perubahan difusi, berkaitan dengan diiringi adanya peningkatan kelarutan zat aktif. Misalnya saja ketika sehabis berolahraga, terjadi peningkatan suhu, sehingga ketika menggunakan sediaan semisolid ini, zat aktif akan lebih dapat terabsorpsi. 
  8. Vasodilatasi juga dapat meningkatkan absorpsi.
  9. Faktor pembawa. Misalnya apabila pembawa tersebut dapat meningkatkan kelembapan kulit maka akan dapat memudahkan zat aktif melakukan penetrasi.
  10. Waktu kontak zat aktif terhadap kulit. Tentunya makin lama berkontak, maka akan makin banyak yang terabsorpsi, sehingga apabila misalnya menggunakan sediaan krim, baru beberapa detik kemudian dihapus, maka akan tidak banyak yang diabsorpsi dan makin sulit mencapai efek terapinya.
  11. Bentuk sediaan. Misalnya, sediaan semisolid ini dibentuk dalam sediaan plester, maka akan lebih banyak zat aktif yang terabsorpsi apabila dibandingkan dengan zat aktif sama namun tanpa dikemas dalam bentuk plester, karena penggunaan plester dapat mencegah menghilangnya zat-zat aktif ke udara.
Di bawah ini merupakan beberapa sifat-sifat berdasarkan faktor biologi dan fisikokimia kulit yang dapat mempengaruhi absorpsi perkutan.
Faktor biologinya antara lain:
  1. Usia kulit. Usia kulit bayi dengan orang dewasa tentu berbeda. Pada bayi, kulit masih mengalami perkembangan sehingga absorpsi menjadi lebih cepat. Namun saat ini, akibat polusi, seseorang yang masih muda bisa memiliki kulit yang sudah tua. Jadi usia kulit bisa jadi tidak sama dengan usia biologisnya.
  2. Kondisi kulit. Kebanyakan kosmetika yang merupakan sediaan semisolid digunakan untuk kulit yang normal. Jadi telah diatur zatnya untuk dapat melakukan penetrasi pada kulit yang normal. Tetapi apabila dibandingkan dengan kulit yang luka, maka absorpsi menjadi lebih cepat karena stratum corneum-nya telah robek.
  3. Lokasi pemberian. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, lokasi pemberian di wajah, siku, atau telapak kaki akan berbeda mekanisme kerjanya.
  4. Metabolisme kulit. Kulit mengalami pergantian kulit sehingga kondisi ini juga perlu mendapat perhatian. Selain itu, kulit juga dapat memetabolisme hormon. Oleh karena itu hati-hati dalam penggunaan kosmetik karena dikhawatirkan terdapat zat yang bersifat karsinogenik sehingga dengan sifatnya yang ini dapat memicu terjadinya kanker.
  5. Efek sirkulasi, contohnya vasodilatasi.
  6. Perbedaan spesies. Tentunya berbeda anatomi kulit manusia apabila dibandingkan dengan spesies lain, sehingga percobaan suatu sediaan pada uji preklinik, perlu untuk sampai uji klinik baru bisa benar-benar dibuktikan keefektifan dan keamanannya pada manusia.
Sementara faktor kimianya antara lain:
  1. Interaksi kulit dengan obat. Sediaan semisolid yang pembawanya dapat memberikan kelembapan maka dapat meningkatkan absorpsinya.
  2. Interaksi kulit dengan pembawa. Misalnya apabila pembawa dapat memperikan efek temperatur maka dapat meningkatkan absorpsi pada kulit, contoh pembawa yang dimaksud antara lain etanol dan metanol.
  3. Interaksi obat dengan pembawa. Jika afinitas obat dengan pembahwa terlalu kuat, maka obat menjadi sulit untuk dilepas, sehingga penetrasi menjadi terhambat.
  4. Interaksi antara obat, pembawa, dan kulit akan sangat kompleks sehingga perlu untuk diperhatikan.
Demikian yang dapat saya sampaikan. Ini hanya sekedar catatan yang ditulis berdasarkan penangkapan saya saat kuliah di kelas. Jadi harap tidak menggunakan ini sebagai literatur tetapi untuk membantu pemahaman saja. Tentunya catatan ini tidak luput dari kesalahan. Mohon maaf apabila terdapat kesalahan. Semoga bermanfaat. Terima kasih sudah berkunjung :)

Sunday, September 15, 2013

Catatan Praktikum Teksol #2

 
Akibat suatu hal, di minggu kedua, saya tidak dapat hadir pada kelas yang seharusnya. Saya harus izin di kelas pagi tersebut, dan karena pada kelas praktikum ini tidak boleh ada absen, maka saya ganti waktunya tetap pada hari yang sama namun pada waktu siangnya.

Minggu kedua ini agendanya adalah pengenalan alat. Dosen pada pertemuan tersebut adalah kak Nia, tetapi juga ada Pak Eri sama Mas Indra yang juga banyak memberikan penjelasan terkait alat dan penggunaannya.

Sebelumnya, pada praktikum teksol ini perlu disiapan kertas roti (diperlukan sebagai wadah ketika menggunakan ayakan), sarung tangan (agar ketika memegang bahan menjadi lebih bersih), kelereng (untuk membantu proses pengocokkan), wadah plastik (tempat memasukkan bahan untuk pengocokkan), head cover (mencegah rambut mengkontaminasi bahan), masker, dan tisu gulung.

Pada pertemuan tersebut, di awal kami diajari terkait proses-proses saat pembuatan tablet dengan cara granulasi kering. Pertama-tama semua bahan perlu diayak. Setelah itu, bahan boleh dicampur  sesuai dengan formulasi yang sudah dibuat. Cara pencampurannya dengan bahan-bahan lain jangan digerus, karena apabila digerus maka granul yang terbentuk akan menjadi serbuk kembali. Kemudian baru dapat dislugging. Slugging merupakan proses kompresi menggunakan mesin tablet.

Sementara pembuatan tablet dengan cara basah dilakukan dengan cara sebagai berikut, bahan-bahan dicampurkan melalui proses milling, kemudian dikompakkan dengan cara dikepal. Setelah itu kepalan-kepalan tersebut apabila dilakukan dengan cara manual, digeruskan di atas ayakan, agar dihasilkan granul-granul yang siap dicetak. Sementara apabila menggunakan mesin, kepalan tadi tinggal dimasukkan ke dalam alat dan akan keluar granul-granul dengan ukuran yang sesuai dengan mesh ayakan.

Selain itu, pada pertemuan tersebut, juga dikenalkan dengan salah satu bahan yang biasa digunakan sebagai binder (pengikat), yaitu povidon. Apabila menggunakan granulasi kering, yang biasa digunakan adalah povidon serbuk, sementara apabila menggunakan granulasi basah, yang biasa digunakan adalah povidon cair. Antara povidon serbuk dan cair terdapat kelebihan dan kekurangan. Povidon serbuk apabila dibandingkan dengan povidon cair, apabila dalam proses pengerjaan dibutuhkan binder 3%, maka dapat dimasukkan sesuai dengan kebutuhan, sementara apabila povidon cair, apabila dibutuhkan binder 3%, maka dibuat povidon cair dengan menggunakan air sedemikian rupa hingga kadarnya menjadi 3%, namun ketika telah dicampurkan dengan bahan lain dan ternyata kebasahannya sudah cukup sehingga perlu dihentikan pemberian povidonnya agar tidak terlalu basah maka kadar yang dikehendaki yaitu 3% tidak dapat terpenuhi. Dengan demikian dalam hal ini, apabila menggunakan binder yang cair, ketika melarutkan binder dalam bentuk serbuknya, gunakan pelarut secukupnya, jangan terlalu banyak, yang penting basah. Di lain sisi, terkait homogenitas, apabila menggunakan povidon serbuk, karena memang warnanya yang sama dengan bahan-bahan lain yang dicampurkan pada umumnya, maka kehomogenitasannya sulit terlihat, sementara apabila menggunakan povidon cair yang berwarna kuning dan dalam wujud cair, berbeda dengan bahan-bahan lainnya maka kehomogenitasannya dapat terlihat.

Ketika melakukan pengayakan terhadap bahan-bahan, kami diingatkan Pak Eri untuk mengayak menggunakan ayakan yang mesh 8 terlebih dahulu, baru setelah itu dapat menggunakan ayakan yang sesuai dengan formulasi. Terkait mesh, mesh merupakan nomor pada ayakan yang menunjukkan jumlah lubang pada tiap 1 inchi liniernya. Semakin besar nomornya, maka makin banyak jumlah lubangnya dan makin kecil ukuran granul yang dihasilkan. Misalnya saja ayakan dengan mesh 16, biasa digunakan untuk membentuk tablet dengan bobot 700-500 mg, ayakan dengan mesh 18, untuk tablet dengan bobot 300-200, dan ayakan dengan mesh 100-200 untuk tablet dengan bobot 100-200 mg.

Memilih bahan tambahan untuk zat aktif yang akan dibentuk tablet, jangan terlalu banyak, cari bahan yang memiliki multi fungsi, misalnya selain dapat digunakan sebagai binder, bisa juga sebagai filler, dan glidan.

Setiap proses pembuatan tablet terdapat IPC-nya (In Process Control). Misalnya setelah dibentuk granul, sebelum dikompresi, perlu untuk diuji kadar airnya, setelah sudah sesuai, baru dapat dicetak. Setelah dicetak, diuji keseragaman bobot, keregasan dan waktu hancurnya, untuk uji ini, lakukan ketika baru mencetak beberapa tablet saja, jangan sebelum dilakukan uji sudah dicetak sekitar ratusan tablet, karena kalau tidak sesuai diketahui dari hasil uji, tablet yang sudah dicetak lainnya menjadi sia-sia. Terkait dengan uji kekerasan, sebenarnya tidak ada parameter pastinya, pada intinya apabila uji yang official seperti beberapa uji yang disebutkan sebelumnya telah sesuai, maka sudah cukup evaluasi tabletnya dan dapat dipasarkan.

Demikian yang dapat saya sampaikan. Ini hanya sekedar catatan yang tentunya terdapat banyak kekurangan dan kesalahan, mohon dimaafkan. Setidaknya sedikit banyak terdapat manfaat. Terima kasih sudah berkunjung :)

Catatan Praktikum Teksol #1

Di hari Senin yang seharusnya menjadi hari pertama pertemuan praktikum teknologi sediaan solid/padat, ternyata diliburkan. Bukan libur sebenarnya, melainkan dipindah untuk minggu itu saja ke hari Jum'at, agar pengarahan praktikum oleh Ibu Silvi dapat dilakukan pada satu kali pertemuan saja untuk seluruh kelas. Intinya pada pengarahan tersebut akan ada 13 pertemuan yang sudah termasuk ke dalam UTS dan UAS. Minggu kedua akan ada pengenalan alat dan minggu berikutnya akan ada praformulasi. Beberapa hal yang perlu disiapkan antara lain jas lab, masker, headcover, dan buku catatan.

Jadi pada praktikum ini, akan diminta untuk membuat 2 jenis formulasi padat dan 1 kali melakukan uji disolusi. Katanya pada minggu ketiga, yaitu praformulasi akan diberikan soal, seperti ujian pada mata kuliah teknologi sediaan padat. Yang ditanya misalnya teknik-teknik pengerjaannya, slungging, dan formulasi kering. 

Saking penuhnya ruangan dengan seluruh mahasiswa dari berbagai kelas, jadinya tidak banyak yang bisa saya catat sehingga saat ini saya sedang kebingungan besok (pertemuan ketiga) akan seperti apa jadinya. Pasrah.

Catatan OGSO #2

Beberapa menit sebelum kuliah digalaukan dengan ada atau tidaknya kuis sebelum kuliah OGSO. Alhamdulillah ternyata kuisnya baru minggu depan. Kuliah pada hari itu masih pengantar presentasi dari ibunya saja. Baru minggu depan sebelum kelompok pertama maju presentasi diadakan kuis. 

Di awal kuliah, bu Fadlina bertanya terkait apa yang diketahui tentang otot. Ada yang menjawab bahwa otot adalah alat gerak atif. Lalu ada juga yang menjawab bahwa dengan otot, tulang dapat bergerak. Kita semua juga telah mengetahui bahwa otot terdiri dari sel-sel otot, dan sel otot itu sendiri terdiri dari 3 macam, yaitu otot jantung, otot polos, dan otot rangka (lurik). Ketiga macam otot tersebut ada yang berada di bawah pengaruh kesadaran (volunteer) dan ada juga yang berada di luar kesadaran (involunteer). Yang termasuk ke dalam otot yang volunteer adalah otot rangka, sementara yang termasuk ke dalam otot involunteer adalah otot polos dan otot jantung. Perlu diketahui juga bahwa ciri utama dari otot adalah otot mampu berkontraksi sehingga sel-sel otot sering juga disebut sebagai sel kontraktil. 

Terkait dengan sel-sel kontraktil, pada perkembangan janin, sel-sel kontraktil tersebut akan menyatu, namun penyatuannya tersebut tetap didasarkan atas sifat dasarnya. Untuk sel-sel kontraktil yang memiliki sifat bekerja pada jantung maka akan saling menyatu, begitu pula untuk sel-sel yang memiliki sifat yang sama dengan otot polos dan otot rangka. Dari sel-sel menyatu membentuk jaringan, kemudian jaringan-jaringan menyatu membentuk organ. Dengan demikian jelaslah materi kuliah pada saat itu terkait dengan gangguan-gangguan pada otot. Namun karena di semester sebelumnya telah banyak dibahas tentang gangguan pada kardiovaskuler maka cukup banyak juga telah banyak membahas terkait gangguan pada otot polos dan otot jantung sehingga pada kuliah pada semester 5 ini lebih difokuskan pada gangguan pada otot rangka.

Sebelum itu, kita perlu mengingat adanya perhubungan antara otot dengan tulang yang disebut dengan tendon dan tulang dengan tulang yang disebut dengan ligamen, karena gangguan pada otot terjadi juga pada perhubungannya. Dapat terjadi gangguan pada perhubungan tulang dengan tulang, apakah itu terkait dengan penghubungnya yaitu ligamen atau pada ruang sendinya yang merupakan rongga untuk tulang tersebut mampu bergerak. Terkait dengan ruang sendi, apabila ruang sendi tersebut mengecil atau tidak ada ruang sendi maka pergerakan tulang menjadi terbatas. Ruang sendi dapat menggerakkan tulang karena di dalam ruang sendi terdapat cairan sinovial yang ibaratnya seperti oli pada mesin sehingga tulang dapat dengan luwes digerakkan. Sejauh ligamen masih normal, maka ligamen bekerja dengan mengikat tulang sedemikian rupa sehingga meskipun diputar ke arah manapun akan kembali ke keadaan semula, karena telah terikat, apabila terjadi gangguan pada ligamen tersebutlah yang kemudian menjadi berbahaya. 

Selain faktor ruang sendi, tentunya tanpa ada otot, tulang akan sulit digerakkan. Dan selain berfungsi menggerakkan tulang-tulang, otot juga berfungsi melindungi tulang dan organ-organ lainnya terutama organ vital, misalnya organ vital yang berada di bagian abdomen atau diafragma, apabila terjadi robek di bagian luar abdomen, maka otot tersebut akan melindungi agar jangan sampai organ vital tersebut terkontaminasi oleh lingkungan luar. 

Gangguan otot terdiri dari berbagai macam antara lain atrofi otot, strain, sprain (keseleo), distrofi otot, Becker's Muscular Dystrophy, distrofi miotonik, dislokasi, dan rabdomiolisis.

Atrofi otot. Pada atrofi otot, terjadi penurunan ukuran sel-sel otot. Terjadinya penurunan diakibatkan oleh jarangnya otot digerakkan. Hal ini dapat terjadi pada anak-anak atau pada orang tua yang biasanya menggunakan kursi roda. Sel-sel otot hanya mengalami pengecilan pada ukurannya, jadi sel-selnya masih ada bukan habis. Karena kalau tidak ada otot, maka tulang akan sama sekali tidak dapat digerakkan. Fenomena ini dapat dijelaskan dengan melihat seorang olahragawan, kita tahu bahwa olahragawan yang memiliki otot besar-besar, merupakan seseorang yang sering melatih atau melakukan kontraksi pada ototnya. Dengan demikian, untuk yang jarang menggerakkan ototnya akan mengalami hal kebalikannya yaitu mengecilnya sel-sel otot tersebut. Hal ini berkaitan dengan senyawa protein otot yaitu distrofin dan mioglobin. Distrofin merupakan protein otot yang dihasilkan oleh sel-sel otot untuk dapat mengikat satu sel otot dengan sel otot lainnya, sementara mioglobin merupakan protein yang terdapat di dalam sel. Apabila otot sering digerakkan mata sel-sel otot akan sering melakukan metabolisme dan menghasilkan distrofin sehingga dengan demikian pula massa distrofin menjadi semakin besar dan membentuk kekompakkan yang lebih baik lagi. Fenomena massa yang besar dan keras atau kuat tersebut dapat dilihat pada otot-otot olahragawan tersebut tentunya. Jadi, sekali lagi, untuk otot-otot yang jarang digunakan, sel-sel ototnya tentunya akan jaran berkontraksi sehingga terjadi penurunan protein otot yaitu distrofin dan mioglobinnya. Kalau terjadi penurunan pada distrofin, maka otot menjadi lemah, karena ikatan antara sel-sel ototnya menjadi kurang dan pergerakkan otot menjadi terbatas.

Strain. Strain merupakan cedera yang terjadi pada bagian otot tendon, kalau terjadi cedera maka bisa mencetuskan reaksi inflamasi, maka gejala inflamasi yang empat itu yaitu kalor (panas), dolor (nyeri), tumor (bengkak), dan rubor (merah) akan muncul. Inflamasi tentunya merupakan respon dari tubuh kita, ketika terjadi tendinitis (peradangan pada tendon), pastilah respon inflamasi tersebut muncul.


Sprain. Berbeda dengan strain, sprain (keseleo) merupakan cedera yang terjadi di ligamen, yaitu pada bagian persendiannya. Jika terjadi strain dapat muncul reaksi inflamasi, pada sprain juga muncul reaksi inflamasi dengan disertai memar. Memar berbeda dengan reaksi inflamasi, jika merah yang terjadi pada reaksi inflamasi diakibatkan oleh vasodilatasi dari pembuluh darah, sementara memar terjadi kemerahan akibat adanya darah yang keluar dari pembuluh darah bisa akibat pembuluh darah yang pecah. Apabila kita melihat seseorang yang mengalami memar pada bagian tubuhnya kemudian berwarna biru, hal ini wajar saja, pertama kali darah tersebut keluar memang berwarna merah, tetapi lama-kelamaan akan berwarna biru, hal ini terkait dengan kandungan oksigen, lama-kelamaan tentunya kandungan oksigennya akan semakin berkurang. Memar ini bisa terasa sakit dan bisa juga tidak sakit. Memar yang terasa sakit mengindikasikan akibat adanya darah yang keluar adalah sebagai akibat adanya pembuluh darah yang pecah. Sementara untuk memar yang tidak disertai dengan rasa sakit yang apabila dikatakan oleh orang awam (akibat dicubit atau dijilat jin), ini terjadi adanya darah yang keluar bukan karena pembuluh darahnya yang pecah, tetapi bisa diakibatkan salah satunya karena orang tersebut mengalami defisiensi enzim glukosa-6-fosfat dehidrogenase yang diketahui bahwa enzim tersebut berfungsi untuk menjaga keelastisitasan membran sel darah merah dan apabila kekurangan enzim tersebut maka eritrosit (sel darah merah) dapat pecah menjadi ukuran-ukuran yang lebih kecil sehingga dapat keluar dari pembuluh darah.


Terkait strain dan sprain, pada dasarnya tubuh dapat mengatasi gangguan tersebut dengan sendirinya dengan waktu yang cukup lama tergantung keparahannya. Biasanya masyarakat Indonesia melakukan terapi urut untuk mengatasi gangguan ini. Hal ini tidak menjadi masalah, karena dengan cara diurut, artinya aliran darah pada pembuluh darah dipercepat untuk dapat sampai di daerah gangguan dan penyembuhan akibat gangguan yang dilakukan oleh tubuh sendiri menjadi semakin cepat. Tetapi dalam hal ini, tidak semua gangguan pada otot utamanya strain dan sprain dapat diterapi dengan cara diurut. Apabila terjadi fraktur pada tulangnya justru dengan cara diurut bisa memperparah kondisi. Dosen bercerita katanya pernah ada kasus yang mana terdapat seorang anak yang mengalami gangguan tersebut kemudian diurut, bukannya dapat segera sembuh, justru di bagian yang mengalami gangguan tersebut tampak membengkak. Setelah dibawa ke dokter, ternyata diketehui terdapat fraktur pada tulang. Perlu diketahui bahwa pada fraktur terdapat saraf-saraf yang sensitif, apabila diurut sedikit bisa menyebabkan saraf-saraf tersebut terjepit dan pada akhirnya menghambat transmisi dan menyebabkan reaksi inflamasi. Bengkak juga dapat terjadi apabila pasien yang diurut ternyata memiliki riwayat kanker dari orang tuanya. Sel tumor yang sebelumnya masih jinak, ketika diurut bisa teraktifkan dan membuat kondisi makin parah.

Distrofi otot. Distrofi otot merupakan gangguan pada otot yang menyebabkan terjadinya penurunan yang progresif pada distrofin. Distrofin otot ini biasa disebabkan karena genetik. Gangguan ini yang diakibatkan karena genetik disebut juga dengan penyakit distrofinopati. Pada pasien ini, gen-gen yang membentuk distrofin mengalami mutasi. Berbeda dengan atrofi otot, pada distrofi otot, semakin dibawa beraktifitas, distrofinnya akan tetap mengalami penurunan bahkan secara progresif. Defisiensi distrofin yang semakin parah hingga dapat menyebabkan kesulitan pergerakkan dan sering terjatuh, menyebabkan pasiennya kemudian menderita penyakit Duchenne's Muscular Dystrophy yang bahkan seringkali dapat muncul skoliosis. Bisa muncul skoliosis disebabkan karena otot melemah sehingga tidak mampu menopang tulan punggung dan lama-kelamaan menyebabkan tulang belakang menjadi bengkok. Komplikasi pada penyakit ini yang membahayakan antara lain gagal jantung dan pernafasan. Berikut merupakan gambar seorang anak yang mengalami penyakit Duchenne's Muscular Dystrophy.


Becker Muscular Dystrophy. Merupakan penyakit yang lebih ringan dari Duchenne's Muscular Dystrophy, pada penyakit ini, pasien masih bisa berjalan dan tingkat progresifnya rendah, namun gejalanya tetap sama.

Distrofi miotonik. Merupakan gangguan yang menyebabkan kekakuan pada otot. Kekakuan ini diakibatkan tidak mampunya otot mengalami relaksasi. Pada gangguan ini terjadi kontraksi yang meningkat seperti yang terjadi pada saat mengalami keram dan kejang. Jadi pada pasien ini, terjadi suatu rangsangan yang berlebihan untuk berkontraksi. Rangsangan untuk berkontraksi ini biasa terjadi sebagai respon akibat adanya otot yang melemah. Rangsangan yang terus menerus menyebabkan hipereksitasi sehingga menyebabkan sel sulit mencapai ambang di bawah potensial untuk mengalami relaksasi.

Dislokasi. Merupakan gangguan terkait otot yang menyebabkan tulang dapat keluar dari keududkannya. Kejadian ini pasti disebabkan adanya gangguan pada ruang sendinya. Dislokasi dapat terjadi misalnya akibat adanya hentakan yang keras yang kemudian menyebabkan ligamen tidak mampu mengikat tulang dengan tulang. Dislokasi ini bisa menimbulkan respon inflamasi.

Rabdomiolisis. Penyakit ini disebut juga mioglobinuria, jadi ditemukan protein otot, yaitu mioglobin dalam urin. Mioglobin bisa keluar dari sel-sel otot dapat diakibatkan karena terjadinya lisis pada sel tersebut. Apabila sel-sel otot pecah, tentunya mioglobin dapat keluar dari darah dan terekskresi lewat ginjal. Padahal kita tahu bahwa tidak semua senyawa pada darah dapat terfiltrasi oleh ginjal, sementara pada gangguan ini, mioglobin dapat keluar bersama urin. Hal ini dapat terjadi karena ketika mioglobin telah sampai di bagian pertama ginjal yaitu di glomerulusnya, terjadi penumpukkan mioglobin di depannya, atau terdapat mioglobin yang terdeposit pada membran glomerulus, sehingga adanya penumpukkan ini lama-kelamaan dapat mempengaruhi permeabilitas membran glomerulus dan menyebabkan mioglobulin dapat lewat. Beberapa mioglobulin dapat lewat dengan lancar di ginjal hingga keluar bersama urin, namun beberapa akan dapat tersangkut di bagian tubulus yang lama-kelamaan dapat menyebabkan komplikasi gagal ginjal. Adanya mioglobin pada urin bisa ditemui pada pelari. Seorang pelari ketika menghentakkan kakinya dengan keras, dapat menyebabkan lisisnya sel-sel otot dan mengalami kejadian ini. Apabila kondisi ini bisa diatasi maka tidak akan sampai dapat menyebabkan komplikasi gagal ginjal.

Demikian yang dapat saya sampaikan. Mohon maaf apabila terdapat kesalahan. Semoga bermanfaat. Terima kasih sudah berkunjung :)

Saturday, September 14, 2013

Catatan Kimia Medisinal #2

Pada pertemuan yang kedua, banyak dibahas terkait antibiotik. Proses produksi antibiotik tidak jauh dari bioteknologi. Bioteknologi adalah cabang ilmu yang mempelajari pemanfaatan makhluk hidup (bakteri, funi, virus, dan lain-lain) maupun produk dari makhluk hidup seperti enzim, kesemuanya ini juga terkait dengan proses produksinya yang dapat menghasilkan barang dan jasa. Perlu diketahui bahwa bioteknologi ini terbagi menjadi 2, yaitu biokonveksi dan biofermentasi. Yang dimaksud dengan biokonveksi artinya dalam menemukan suatu obat baru, terjadi perubahan molekul awal (intinya) ke produk yang pada akhirnya molekul awal intinya juga sama, namun terdapat perubahan pada gugus fungsinya. Contohnya bisa dilihat pada gambar berikut:


Jadi pada obat baru tersebut yang telah mengalami transformasi struktur dari awalnya oleh mikroba, struktur intinya masih sama, sama-sama steroid, namun telah mengalami modifikasi pada gugus fungsinya.

Sementara yang dimaksud dengan biofermentasi merupakan teknologi untuk menemukan obat baru yang struktur dari obat baru tersebut telah benar-benar berbeda. Contohnya penisilin yang dibuat dari alanin yang memiliki struktur inti berbeda dengan penisilin.


Kata dosen, produk antibiotik harus berasal dari mikroba, sering ditemukan di literatur yang menyebutkan bahwa produk sintesis yang berkhasiat dapat menghambat pertumbuhan bakteri atau mematikannya disebut juga antibiotik, penyebutan tersebut salah, seharusnya bukan antibiotik tapi antibakteri. Antibiotik berbeda dengan antibakteri. Antibakteri terbagi menjadi 2 golongan yaitu antiprotozoa dan antibiotik. Contohnya saja obat floxacim yang dibuat secara sintesis sering disebut sebagai antibiotik padahal seharusnya antibakteri.

Contoh obat yang dibuat secara sintesis selain floxacim adalah kloramfenikol. Benar dibuat secara sintesis karena bukan dengan bantuan mikroba secara biofermentasi. Berikut merupakan struktur kimia kloramfenikol.


Terkait biofermentasi, dalam hal ini terdapat dua teknik untuk melakukannya yaitu dengan menggunakan metode surface process atau dengan submerged process.

Dengan surface process mikroba ditanam di dalam cawan petri di atas permukaan media tanam. Cawan petri tersebut ditutup dan diinkubasi dalam inkubator selama waktu yang telah ditentukan. Mikroba tersebut ketika dipanen akan menghasilkan suatu daerah hambatan yang kemudian daerah hambat tersebutlah yang diisolasi yang diharapkan berpotensi sebagai antibiotik. (Sebenarnya terkait teknik ini, saya masih kurang mengerti dengan penjelasan dosennya, jadi harap dimaklumi apabila terdapat kesalahan, silakan cari dari literatur lain).

Sementara dengan menggunakan submerge process, biasanya penanaman mikroba dilakukan dalam bioreaktor atau bisa juga dalam Erlenmeyer. Apapun alatnya yang penting terdapat elektrode, pengatur udara, pengatur oksigen, pengatur suhu, pengatur penambahan reagen (misal NaOH/HCl), dan tempat sampling. Bioreaktor biasa digunakan pada industri-industri besar dan biaya yang dibutuhkan juga cukup banyak. Sementara Erlenmeyer sering digunakan oleh mahasiswa yang melakukan penelitian, namun kelemahannya peluang terkontaminasi oleh zat lain cukup besar.

Antibiotik juga bisa dihasilkan dengan cara semisintetik, artinya terdapat perpaduan cara secara alami dan buatan.  Misalnya pembuatan suatu antibiotik dari penicillin (antibiotik yang didapat secara alami) yang kemudian ditambahkan dengan senyawa lain secara sintesis, merupakan suatu pembuatan antibiotik secara semisintesis.


Ketika antibiotik berkembang cukup pesat di dunia, fenomena ini juga cukup banyak menyita perhatian industri-industri obat di Indonesia. Di Indonesia, antibiotik yang banyak dihasilkan adalah ampisilin dan amoksisilin yang keduanya merupakan antibiotik semisintesis karena produsen tersebut membeli penicilin dari luar kemudian memodifikasinya menjadi kedua antibiotik tersebut.

Ada banyak golongan antibiotik, salah satunya antibiotik yang digolongkan atas struktur dasarnya yang beta-laktam. Berikut merupakan gugus beta-laktam.


Jadi yang termasuk golongan antibiotik dengan gugus beta-laktam antara lain penisilin, sefalosporin, cephamyxin, oxacepham, asam clavulanat, dan sebagainya. Antibiotik ini bekerja di membran bakteri. Kita ketahui bahwa membran bakteri salah satunya tersusun atas senyawa alanil alanin, kemudian jika kita perhatikan kembali struktur dari penisilin (salah satu antibiotik golongan beta-laktam) ternyata juga tersusun dari alanil alanin, sehingga dengan demikian penisilin ini dapat masuk ke dalam membran yang dengan bentuk strukturnya yang besar ini kemudian dapat merusak membran dan menghambat pertumbuhan bakteri.

Antibiotik dalam zamannya terus mengalami perkembangan, sehingga antibiotik ini terbagi ke dalam beberapa generasi, misalnya generasi 1, generasi 2, generasi 3, dan seterusnya. Tentunya generasi 1 merupakan generasi awal yang masih banyak memiliki kelemahan yang kemudian pada generasi berikutnya beberapa kelemahan tersebut dapat teratasi, dan terus disempurnakan oleh generasi-generasi berikutnya. Contohnya, pada generasi 1 dikenal adanya penicillin, dan diketahui juga bahwa penicillin ini terdapat gugus beta-laktamase yang sayangnya di dalam tubuh dapat termetabolisme oleh enzim beta-laktamase sehingga tidak dapat sempurna memberikan efek terapinya sehingga dengan sifatnya yang demikian pula penicillin harus diberikan dengan cara disuntik sebanyak 3 kali sehari. Frekuensi penyuntikkan yang terlalu banyak dalam sehari ini merupakan salah satu kelemahannya. Oleh karena itu muncul generasi kedua yaitu Benzatin, yang memiliki struktur kimia di bawah ini dan memiliki sifat yang lebih baik yaitu bersifat long acting sehingga dalam sehari hanya perlu melakukan penyuntikkan sekali saja. Terkait dengan penyuntikkan perlu diketahui bahwa sebaiknya lokasi penyuntikkan dilakukan pada area yang berbeda-beda, karena apabila dilakukan pada area yang sama dikhawatirkan jaringan tersebut dapat robek.


Selain itu terdapat pula amoksisilin yang sudah kita ketahui sebelumnya merupakan hasil sintesis dari penisilin. Meskipun masih terdapat gugus beta-laktam, namun amoksisilin ini dapat digunakan secara peroral, karena di depan gugus tersebut terdapat gugus alfa-amin yang dapat melindungi gugus beta-laktamase tersebut agar jangan sampai termetabolisme.


Di akhir materi, diberikan banyak contoh antibiotik beserta struktur senyawa/kimianya yang kemudian harus dapat dihafalkan.

Demikian yang bisa saya sampaikan. Kurang lebihnya mohon maaf. Semoga bermanfaat. Terima kasih banyak sudah berkunjung :)

Friday, September 13, 2013

Catatan Kimia Medisinal #1

Akhirnya di semester ke5 ini bertemu dengan kimia medisinal. Sebuah mata kuliah yang akan Alhamdulillah banget kalau bisa lancar perkuliahannya. Di awal, dosen memberikan penjelasan terkait apa saja yang akan dipelajari dalam 2 bulan sebelum uts ini, karena setelah uts, dosennya beda lagi.

Dalam 2 bulan ini, akan banyak dibahas terkait ADME (Absorpsi, Distribusi, Metabolisme, dan Ekskresi), kemudian dibahas terkait antibiotik, autoimun, hormon dan obat KB, SSO, dan perangsang SSP (Sistem Saraf Pusat). 

Kalau kata dosen, mata kuliah kimia medisinal ini bisa dibilang cukup baru, karena sebelum-sebelumnya yang dipelajari oleh mahasiswa adalah kimia farmasi yang sebenarnya juga mencakup kimia medisinal, selain itu juga terkait analisis obat dan sintesis obat. Namun katanya kita hanya mempelajari kimia medisinal saja. 

Kimia medisinal merupakan ilmu yang mempelajari penemuan dan pengembangan obat. Jadi, misalnya saja terdapat suatu penemuan bahan herbal yang berkhasiat terhadap suatu penyakit. Senyawa zat aktifnya kemudian diisolasi, diidentifikasi komponen zat aktifnya, dan didapatkan strukturnya melalui spektrum MS dan HNMR.

Ketika ditemukan suatu bahan alam yang kemudian telah diketahui strukturnya, dapat dikembangkan karakteristiknya, misalnya agar lebih berpotensi. Pengembangan terkait hal ini biasanya menyentuh struktur kimia zat aktif tersebut, misalnya dengan mengganti gugus fungsi dengan gugus fungsi yang lain, kemudian dicari tahu bagaimana hasilnya apakah sesuai dengan tujuan atau justru ditemukan obat baru. Contohnya salisin yang ditemukan dari tanaman salix yang berkhasiat sebagai analgesik, ketika gugus fungsinya diubah ternyata berubah pula khasiatnya.



Terkait ADME, khususnya absorpsi, obat dapat diserap apabila dalam bentuk molekul, bukan dalam bentuk ionnya. Karena kita tahu bahwa membran biologis bersifat nonpolar, sehingga hanya akan mampu ditembus oleh yang sifatnya nonpolar juga seperti molekul (tidak bermuatan).

Kemudian ketika obat didistribusi, sebelum ke reseptor, obat dapat berikatan terlebih dahulu dengan protein plasma membuat ikatan drug-protein binding.

Agar obat dapat bisa sampai ke reseptor terdapat 3 fase yang menentukan, yaitu:
  1. Fase farmasetik, terkait bagaimana bentuk sediaannya, kemampuan disintegrasi, dan disolusinya.
  2. Fase farmakokinetik, terkait ADME.
  3. Fase farmadinamik, terkait efek terapi dan toksiknya.
Demikian yang bisa saya sampaikan, tidak terlalu banyak materi yang bisa disampaikan, karena saya mencatatnya juga tidak terlalu banyak. Maaf apabila terdapat kekurangan. Semoga bermanfaat. Terima kasih sudah berkunjung :)

Monday, September 09, 2013

Catatan Farmakokinetika #1

Di semester 5 ini saya mendapatkan mata kuliah Farmakokinetika pertama kali. Farmakokinetika mempelajari kinetika absorpsi obat, distribusi, dan eliminasi (yakni ekskresi dan metabolisme). Sistem pengajaran mata kuliah ini cukup berbeda dibandingkan dengan mata kuliah-mata kuliah yang lain. Saya cukup terkejut karena diajar oleh 2 dosen yang biasanya hanya 1 dosen yang mengajar. Kata salah satu dosen, perlu ada perubahan sistem pengajaran, karena mata kuliah ini merupakan salah satu mata kuliah yang cukup sulit bagi mahasiswa farmasi sehingga bisa dibilang cukup sulit pula untuk lulus di mata kuliah ini. 

Sistem pengajaran yang baru, menginginkan agar keaktifan setiap mahasiswanya dapat terpantau berhubung terdapat 2 dosen yang mengamati. Selain itu, berbeda dari pengajaran di tahun-tahun yang sebelumnya, diupayakan pada kelas farmakokinetika saya ini, mahasiswa-mahasiswanya lebih sering mengerjakan soal dibandingkan mencatat teorinya. Oleh karena itu pula, mahasiswa akan selalu dibebani tugas untuk dikerjakan soal-soalnya. Hal ini juga bertujuan agar mahasiswa terbiasa mengerjakan soal-soal tersebut. 

Pada kuliah pertama, kelas dibuat tidak kaku. Kami mendapat sesi ice breaking, bukan sekedar bermain, tapi kami dibuat kelompok untuk memecahkan permasalahan terkait farmakokinetika. Kelompok saya diberikan deskripsi suatu notasi, lalu diminta untuk mencari informasi lewat literatur terkait notasi yang dimaksud. 

Singkatnya, berikut adalah notasi dan deskripsinya seputar farmakokinetika yang diharapkan dengan demikian, kami lebih mengenal farmakokinetika.


Kelas farmakokinetika pada hari itu diakhiri dengan pemberian tugas *_*

Demikian yang dapat saya berikan pada kesempatan ini. Mohon maaf apabila terdapat kesalahan. Semoga bermanfaat. Terima kasih sudah berkunjung :)

Sunday, September 08, 2013

Catatan OGSO #1

Pada awal bulan September ini, saya pertama kali mendapatkan kuliah OGSO (Obat Gangguan Saraf dan Otot). Di awal perkuliahan, ibunya mengingatkan kami terlebih dahulu terkait hal-hal yang berkaitan dengan sistem persarafan. Kami harus memahami hal tersebut dulu sebelum bisa memahami segala hal terkait dengan gangguannya. Yang paling penting terkait ini adalah mampu memahami struktur dari sistem saraf, bagian-bagiannya maksudnya disertai dengan fungsinya. Jadi kalau sudah mengetahui dengan baik fungsinya, kalau terjadi gangguan pada salah satu bagiannya maka hal tersebut tentunya akan mengganggu berfungsinya bagian tersebut.

Berikut saya akan menjelaskan secara sederhana beberapa hal terkait dengan sistem persarafan dikaitkan dengan struktur beserta fungsinya yang dirujuk dari berbagai sumber internet maupun buku. Jadi, harap tidak dijadikan referensi, hanya untuk meningkatkan pemahaman saja.

Pada pokoknya, sistem persarafan terdiri atas 2 hal penting, yaitu sistem saraf pusat dan sistem saraf tepi (perifer).

Struktur sistem saraf pusat terdiri menjadi 2, yaitu otak dan sumsum tulang belakang (medula spinalis atau spinal cord


Berdasarkan bagiannya, otak terdiri menjadi 3, yaitu otak bagian depan, otak bagian tengah, dan otak bagian belakang. Otak depan terdiri dari otak besar dan diensefalon. Otak besar disebut juga telensefalon atau serebrum (saya sendiri kurang mengerti alasan kenapa bukannya otak hanya terbagi menjadi 2 bagian besar yaitu otak besar dan otak kecil yang mana di sini saya menemukan bahwa otak itu telah terbagi-bagi di samping otak besar dan otak kecil salah satunya adalah diensefalon).

Berbicara terkait serebrum, dengan jelas apabila melihat secara fisik terbagi menjadi 2 area terpisah yang disebut dengan hemisfer sehingga bagian-bagiannya disebut dengan hemisfer kiri dan hemisfer kanan. Keduanya memiliki fungsi yang berbeda, hemisfer kanan mempengaruhi atau mempersarafi bagian-bagian tubuh di sebelah kiri, dan sebaliknya hemisfer kiri mempersarafi bagian-bagian tubuh sebelah kanan.

Masih terkait serebrum, selain terbagi menjadi hemisfer, berdasarkan area fungsionalnya, serebrum terbagi menjadi 4 area, yaitu area frontalis, parietalis, temporalis, dan oksipitalis. Tentunya keempat area tersebut memiliki fungsi yang berbeda. Area atau disebut juga dengan lobus frontalis memiliki fungsi sebagai pusat berpikir, lobus temporalis sebagai pusat pendengaran dan berbahasa, lobus parietalis sebagai pusat sentuhan dan gerakan, sementara lobus oksipitalis sebagai pusat penglihatan.

Lalu diensefalon. Diensefalon merupakan bagian otak yang berada di depan otak tengah. Diensefalon terdiri dari talamus dan hipotalamus. Talamus berfungsi sebagai pengatur suhu dan kandungan air dalam darah, selain itu juga berfungsi mengkoordinasi aktivitas terkait emosi. Sementara hipotalamus berfungsi untuk mengatur suhu tubuh, selera makan, tingkah laku, dan mengontrol kelenjar hipofisis.

Kemudian untuk otak tengah, tidak banyak yang dibicarakan terkait ini, perlu diketahui bahwa pada bagian dalamnya berisi cairan serebrospinal, sementara bagian bawahnya merupakan penghubung sinyal penglihatan dan pendengaran.

Otak belakang, terdiri dari otak kecil (serebelum), pons varolli, dan medula oblongata. Otak kecil berfungsi untuk mengatur sikap atau posisi tubuh, keseimbangan, dan koordinasi gerakan otot yang terjadi secara sadar. Pons varolli merupakan bagian dari otak belakang yang merupakan kerubung bagian atas batang otak. Sementara medula oblongata merupaka bagian dari otak belakang yang berada di bagian pangkal batang otak. Pons varolli atau disebut juga dengan jembatan varol berfungsi sebagai penghubung serabut saraf atnara otak kecil bagian kiri dan kanan, serta penghubung serabut saraf otak besar dengan sumsum tulang belakang. Sementara medula oblongata berfungsi sebagai pusat pengaturan ritme respirasi, denyut jantung, penyempitan dan pelebaran pembuluh darah, tekanan darah, gerakan alat pencernaan, menelan, batuk, bersin, dan sendawa.

Terkait otak secara sederhana sudah dijelaskan, selanjutnya terkait sumsum tulang belakang. Sumsum tulang belakang atau medula spinalis berfungsi untuk menyampaikan impuls sensorik dari sistem saraf perifer menuju otak, menyampaikan impuls motorik dari otak ke berbagai efektor, dan sebagai pusat gerak refleks.

Sistem saraf merupakan sistem pengontrol, utamanya untuk sistem kardiovaskuler dan pernafasan. Tubuh berusaha untuk memperhatankan homeostatis dalam tubuh dengan cara sistem saraf bekerja sama dengan sistem endokrin. Perlu diketahui bahwa dalam menjaga homeostatis, sistem saraf bekerja lebih dulu dibandingkan dengan sistem endokrin. Hal ini juga terkait dengan yang menyebutkan bahwa sistem saraf bekerja lebih cepat dibandingkan dengan sistem endokrin yang kerjanya lambat.

Sistem saraf dapat bekerja dengan cepat, karena respon yang akan disampaikan tertransmisi atau terkomunikasikan dengan tepat sasaran. Misalnya, ketika akan ada hal yang perlu disampaikan, maka akan dikeluarkan zat transmisi berupa neurotransmitter yang kemudian dilepas oleh ujung akson, lalu ditangkap oleh dendrit atau langsung ke bagian efektor. Sementara pada sistem endokrin, bekerja lebih lambat karena zat transmisinya yang berupa hormon, dikeluarkan ke dalam darah, dan baru akan bekerja apabila mengenai site active-nya, jika tidak maka tidak ada respon sama sekali.

Contoh lainnya terkait hal tersebut misalnya, pada sistem saraf, bekerja lebih cepat karena ada juga yang disebut dengan refleks baroreseptor, sehingga ketika tubuh butuh untuk meningkatkan tekanan darahnya, maka saraf akan bekerja langsung dengan memerintahkan otot untuk meningkatkan kekuatannya sehingga dengan demikian dapat meningkatkan tekanan darahnya. Sementara dalam upaya untuk meningkatkan tekanan darah oleh sistem endokrin, hormon yang dikeluarkan  kemudian perlu untuk mengeluarkan renin, lalu renin mengalami transformasi dulu sedemikian rupa sehingga kemudian perlu juga adanya perubahan dari angiotensin I menjadi angiotensin II, dan seterusnya, sehingga dengan demikian pula respon yang diberikan menjadi lebih lambat akibat adanya proses yang tidak langsung melainkan secara tidak langsung melalui proses-proses transformasi tersebut.

Terkait dengan gangguan pada sistem saraf, salah satunya bisa mempengaruhi kesadaran. Kesadaran dapat dipengaruhi apabila terjadi gangguan pada bagian diensefalon, otak tengah, pons varolli, dan medula oblongata.

Apabila terjadi gangguan pada diensefalon, yang terjadi pada tubuh adalah merasa lesu dan lemah. Kemudian apabila gangguan telah menurun sampai otak tengah, yang terjadi adalah tubuh akan mengalami fase pingsan. Kalau berlanjut ke bagian pons varolli dan medula oblongata maka pasien akan mengalami koma. Koma merupakan suatu keadaan yang memisahkan antara sadar dengan kematian. Biasanya apabila pasien sudah sampai pada fase koma, maka kehidupannya hanya bergantung pada alat-alat saja, secara medis, pasien telah meninggal dunia, karena apabila alat tersebut dilepas, maka tidak akan ada aktivitas pernafasan dan jantung (karena yang telah mengalami gangguan pada medulla oblongata yang telah diketahui sebelumnya berfungsi sebagai pusat yang salah satunya mengatur pernafasan dan denyut jantung).

Bagian dari otak yang mempengaruhi kesadaran tersebut dapat terganggu salah satunya akibat kondisi hipoksia. Jelas kekurangan oksigen dapat mengganggu aktivitas bagian otak tersebut, karena otak memerlukan oksigen untuk mendapat energinya agar dapat bekerja, tanpa oksigen, otak tidak mampu bekerja sehingga mengalami gangguan.

Lebih dalam lagi, kita tahu bahwa sistem saraf dapat bekerja akibat sel-sel sarafnya bekerja. Apabila yang terjadi gangguan pada sel sarafnya tersebut adalah bagian badan selnya, maka tidak akan terjadi pengolahan, sementara apabila yang terjadi gangguannya adalah di bagian aksonnya maka yang terjadi adalah transmisi tidak dapat berjalan.

Selain dapat mengalami gangguan kesadaran, apabila salah satu bagian dari sistem saraf terganggu, salah satunya juga dapat mempengaruhi gerakan refleks. Misalnya, apabila tidak terjadi gangguan, ketika tangan terkena api yang panas, maka akan secara otomatis tangan menghindari api tersebut. Namun jika seseorang ketika mengalami hal tersebut tetapi tidak ada respon refleks sama sekali, maka telah terjadi gangguan pada saraf motoriknya. Kita tahu bahwa saraf motorik merupakan bagian dari sistem saraf perifer. Gangguan terkait ini juga bisa diakibatkan karena adanya gangguan pada sistem saraf pusat, hal ini terkait dengan pengolahan informasinya, sementara apabila terjadi gangguan pada sistem saraf perifernya maka yang terganggu adalah proses transmisinya. 

Gangguan yang mengenai sistem saraf perifer bagian motoriknya, salah satu contohnya yang dapat terjadi selain refleks tidak bekerja adalah hiperkinesia, paresis, dan paralisis. Hiperkinesia merupakan gerakan otot yang meningkat, ada juga yang disebut dengan hipokinesia yang artinya sebaliknya yaitu terjadi penurunan pada gerakan otot. Lalu paresis merupakan gangguan yang menyebabkan tetap adanya gerakan tapi bersifat lemah, sementara paralisis, tidak ada gerakan sama sekali atau lumpuh. 

Terkait dengan adanya gangguan pada saraf motorik, apabila yang terganggu adalah sistem saraf pusatnya maka tubuh dapat membentuk  bentuk yang spesifik yaitu flexor posturing, ada kekakuan pada kaki dan tangannya. Mengalami gangguan pada sistem saraf pusatnya, bisa jadi telah terjadi kerusakan saat pertumbuhan janin, tetapi ada pula yang terjadi akibat penyakit, contohnya demam tinggi, kejang-kejang, dan panas terlalu tinggi. Telah diketahui juga bahwa pusat pengatur suhu terdapat di hipotalamus, pada kejadian panas yang terlalu tinggi, hipotalamus tidak dapat mengantisipasi kondisi tersebut, kemudian panasnya bisa merusak sel-sel saraf dan mempengaruhi organ yang dipersarafinya, dan apabila yang terganggu adalah otak serebral maka bisa mengakibatkan terjadinya flexor tersebut.

Selain demam tinggi, yang dapat mengganggu otak serebral contohnya adalah imunisasi. Kita juga mengetahui bahwa imunisasi hanya diperuntukkan untuk anak-anak dalam kondisi sehat. Apabila anak-anak sedang sakit kemudian melakukan imunisasi dan kita juga tahu bahwa imunisasi menggunakan virus yang dilemahkan, lalu dengan kondisinya yang sedang sakit tersebut justru virus dapat menyerang balik dan salah satunya juga dapat mengganggu otak serebral.
Akibat lainnya yang dapat terjadi apabila sistem saraf mengalami gangguan adalah dispasia, agnosia, kematian serebral, kematian otak, dan demensia.

Dispasia merupakan gangguan pada sistem saraf yang menyebabkan terganggunya pusat bicara dan pemahaman bahasa. Terkait pemahaman yang terganggu adalah lobus frontalisnya. Dispasia bisa terjadi akibat terkena stroke, trauma, dan infeksi, ketiganya sama-sama menyebabkan kondisi hipoksia. Terkait stroke, sudah sering kita melihat penderitanya juga mengalami gangguan bicara. Sementara trauma, dapat mengakibatkan dispasia, karena ketika terjadi trauma maka terjadi benturan lalu inflamasi. Pembengkakan tersebut menyebabkan penghambatan oksigen dapat mencapai sistem saraf tersebut. Kemudian, infeksi juga dapat menyebabkan dispasia, karena infeksi juga dapat menyebabkan inflamasi yang memutus suplai oksigen. 

Agnosia merupakan gangguan pada sistem saraf yang menyebabkan penderitanya tidak mampu mengenali objek, misalnya saja ketika di hadapannya adalah suatu kunci, dia tidak mengenali benda itu bahwa yang di depannya itu adalah kunci. Agnosia bisa terjadi secara visual maupun secara auditori. Agnosia secara visual sudah dijelaskan pada contoh yang sebelumnya, sementara agnosia secara auditori terjadi ketika misalnya si penderita diperdengarkan suara kodok maka penderita tersebut tidak mengenali bahwa yang diperdengarkan tersebut adalah suara kodok. Selain visual dan auditori, ada juga agnosia yang terjadi akibat dengan sentuhan, perasa, dan penciumannya juga tidak mampu mengenali objek. Kesemuanya terjadi akibat saraf sensorik mengalami gangguan baik di bagian lobus temporalis untuk audiotori, oksipitalis untuk visual, sementara sentuhan, penciuman, dan perasa di bagian lobus parietalis. Dan kesemuanya itu juga tidak lepas akibat adanya gangguan pada bagian frontalis yang berfungsi sebagai bagian memori.

Kematian serebral--apabila berbicara terkait serebral maka bagian yang dimaksud adalah bagian luarnya bukan otak secara keseluruhannya--dapat membahayakan tubuh karena seperti yang diketahui bahwa hanya sel saraf yang tidak memiliki kemampuan beregenerasi. Terkait hal ini, perlu adanya kehati-hatian dalam mendidik anak. Kita tahu bahwa masa pertumbuhan anak di golden age-nya adalah pada usianya yang ke-7 tahun. Selama perkembangannya itu, sistem sarafnya rentan mengalami kematian serebral, misalnya saja apabila seorang anak dimarahi dengan keras, anak diberi penampilan gambar warna yang mencolok dengan kontras, anak diperdengarkan musik-musik keras, dan sebagainya.

Apabila yang mengalami adalah otak secara keseluruhan maka sudah bisa diketahui bahwa telah ada perubahan dari kehidupan menuju kematian.

Masih terkait gangguan sistem saraf lainnya yaitu demensia. Demensia merupakan penyakit yang sangat dikhawatirkan oleh orang-orang tua yaitu terjadinya kehilangan memori secara progresif, misalnya saja sampai-sampai tidak mengenali keluarganya, rumahnya, dan sebagainya. Demensia juga dapat terjadi pada usia muda, hal ini dapat terjadi akibat paparan polusi. Untuk penderita yang mengalami demensia, kehidupannya sudah bergantung dengan keluarganya apabila keluarganya merawatnya dengan baik.

Gangguan pada sistem saraf lainnya antara lain hipertensi intrakranial yaitu terdapat tekanan yang tinggi di dalam otak. Tekanan ini bisa terjadi akibat meningkatnya salah satu volume dari darah, cairan serebrospinal, atau tumor. Terjadinya peningkatan tekanan pada intrakranial ini tidak baik, karena pada keadaan normalnya seharusnya tekanan intrakranial lebih rendah dibandingkana dengan tekanan arteri agar oksigen dapat masuk ke dalam sel-sel saraf. Akibatnya apabila terjadi peningkatan pada tekanan intrakranial melebihi tekanan arteri maka sel-sel saraf akan mengalami kekurangan oksigen, akan ada banyak karbon dioksida di dalam darah yang kemudian terkait homeostatis, tubuh memerintahkan untuk meningkatkan ventilasi agar dapat bernafas lebih banyak dan ada banyak oksigen yang masuk. 

Contoh lainnya respon dari tubuh apabila sel-sel saraf pada otak mengalami kekurangan oksigen, ketika terlalu lama belajar, banyak oksigen yang digunakan untuk berpikir, lama-kelamaan otak akan mengalami kekurangan oksigen, sehingga tubuh merespon dengan cara menguap agar bisa mendapatkan oksigen dengan volume yang lebih banyak. Begitu pula yang terjadi apabila makan terlalu berlebihan, oksigen akan lebih banyak digunakan untuk mencerna makanan, sehingga otak kekurangan oksigen, lalu berupaya memenuhi kebutuhannya dengan cara menguap.

Kejang, juga merupakan salah satu bentuk akibat terganggunya sistem saraf. Kejang terjadi akibat adanya aktivitas yang berlebihan dari sistem saraf. Aktivitas yang berlebihan tersebut terjadi akibat banyaknya sel saraf yang tereksitasi. Terkait eksitasi ini, kita tahu bahwa sel sensitif sekali atau mudah sekali mengalami depolarisasi, sehingga kita baru saja mengalami depolarisasi lalu berusaha ke tahap repolarisasi, ketika terjadi rangsangan berikutnya maka akan kembali terdepolarisasi. Depolarisasi terjadi akibat banyaknya natrium yang masuk ke dalam sel. Oleh karena itu, untuk mencegah terlalu banyaknya sel yang tereksitasi, untuk penderita kejang diberikan obat natrium bloker. Sebenarnya terkait kejang ada banyak penyebabnya, 70% belum teridentifikasi sehingga penanganan yang benar terkait kejang adalah dengan melihat penyebabnya.

Spinal atau saraf-saraf pada korda spinalis (tulang belakang) juga dapat mengalami gangguan, misalnya saja cedera. Cedera yang terjadi pada saraf tertentu akan berakibat pada adanya gangguan pada organ atau efektor yang dipersarafinya, jadi gangguan yang terjadi akan berbeda-beda tergantung saraf mana yang cedera.

Parkinson disease, juga merupakan salah satu gangguan pada sistem saraf. Parkinson terjadi akibat adanya degenerasi pada pelepasan dopamin (neurotransmitter). Akibatnya akan terjadi pergerakan yang melambat dan wajahnya juga terlihat tanpa ekspresi. 

Demikian yang dapat saya sampaikan. Mohon maaf apabila terdapat kesalahan. Komentar dan kritik dipersilakan. Semoga bermanfaat :)