Pages - Menu

Sunday, March 17, 2013

Iodimetri dan Iodometri

Sebelumnya kita perlu mengetahui bahwa Iodimetri dan Iodometri termasuk ke dalam jenis titrasi redoks. Lalu apa yang dimaksud dengan titrasi redoks?

Yang dimaksud dengan titrasi redoks adalah metode analisis kuantitatif yang didasarkan atas terjadinya reaksi redoks antara larutan titran (sebagai oksidator) dengan larutan titrat (sebagai reduktor) yang mana dalam hal ini digunakan pula indikator redoks yang sesuai agar dapat diamati TA-nya (Titik Akhir titrasi).

Selain Iodimetri dan Iodometri, Permanganometri, Bromometri, dan Serimetri juga termasuk ke dalam titrasi redoks. Penggolongan jenis titrasi redoks tersebut didasarkan atas larutan titran sebagai oksidator yang digunakannya. 

Permanganometri menggunakan larutan KMnO4 sebagai larutan titrannya, Bromometri menggunakan larutan Br2 sebagai larutan titrannya, sementara Serimetri menggunakan larutan Ce(SO4)2 sebagai larutan titrannya.

Pada kesempatan kali ini, hanya Iodimetri dan Iodometri saja yang akan dibahas. Iodimetri dan Iodometri menggunakan larutan titran yang sama yaitu larutan I2, perbedaannya terletak pada caranya. Apabila Iodimetri menggunakan titrasi cara langsung, sementara Iodometri menggunakan cara yang tidak langsung yang mana menggunakan larutan Na2S2O3 sebagai larutan titran keduanya.

Dengan ini sekiranya sudah jelas bahwa larutan titran merupakan senyawa pengoksidasi yang artinya akan mengalami reduksi. Di bawah ini merupakan reaksi reduksi yang terjadi pada larutan titran pada beberapa jenis titrasi redoks.


Selain itu, juga sudah diketahui bahwa larutan titrat merupakan larutan pereduksi yang artinya akan mengalami oksidasi, contoh senyawanya antara lain ferisianida dan vitamin C.
 
Pada titrasi redoks ini, haruslah menggunakan indikator redoks yang sesuai agar dapat diamati TAnya dengan baik. Indikator yang sesuai adalah indikator yang memiliki potensial standar dalam rentang antara potensial titran dan titrat. Selain itu indikator tersebut tentulah harus memiliki warna yang spesifik. Suatu indikator dapat menyebabkan adanya perubahan warna karena indikator dalam keadaan tereduksi akan memiliki warna tertentu dan dalam keadaan teroksidasi juga akan memiliki warna tertentu. Contohnya saja pada indikator  1,10 fenantrolin-Fe(II) complex, akan memiliki warna biru pucat dalam keadaan teroksidasinya dan memiliki warna merah intensif dalam keadaan tereduksinya.

Meskipun tiap indikator memiliki harga potensial standar tertentunya, namun dengan adanya modifikasi seperti penambahan gugus, dapat menyebabkan perubahan harga potensial standarnya, dapat lebih tinggi atau bisa juga lebih rendah sehingga dengan begitu dapat digunakan untuk titrasi redoks dengan larutan titran dan titrat yang berbeda dan yang tentunya sesuai dengan harga potensial standar yang sudah dimodifikasi.

Selain menggunakan indikator internal--yang baru saja saya jelaskan--untuk mengamati TA juga bisa dengan autoindikator atau dengan menggunakan potensiometri. 

Pengamatan TA tidak memerlukan indikator apabila autoindikator yang diterapkan, karena pada autoindikator ini, kelebihan sedikit saja larutan titran sudah dapat memberikan warna ke seluruh larutan titrat yang terdapat ke dalam erlenmeyer.

Penggunaan potensiometri untuk mengamati TA hanya diperlukan apabila tidak didapatkan indikator yang sesuai dan jumlah sampel atau senyawa titrat yang digunakan terlalu sedikit. Dengan potensiometri, pengamatan TA didasarkan atas pengukuran potensial antara elektroda standar dan elektroda indikator pada beberapa interval atau tahapan tertentu di titrasi redoks.

Langsung saja mari kita bahas Iodimetri dan Iodometri secara lebih mendalam.

Pertama, saya akan menjelaskan mengenai Iodimetri terlebih dahulu berdasarkan pemahaman saya, apabila terdapat kesalahan mohon dimaafkan. Pada Iodimetri ini, saya akan memberikan contoh dengan larutan titrannya adalah larutan I2, larutan titratnya adalah vitamin C. Sehingga dalam hal ini jelas, I2 akan mengalami reduksi dan vitamin C akan mengalami oksidasi. Jika reaksi reduksi yang terjadi pada I2 sudah ditunjukkan pada gambar sebelumnya, saya akan menunjukkan bagaimana reaksi oksidasi yang terjadi pada vitamin C.


Dalam hal ini, untuk pengamatan TA digunakan autoindikator, namun untuk mempertajam TA, ditambahkan suatu senyawa organik seperti amilum solubel. Tidak akan ada reaksi redoks dengan amilum solubel tersebut, hanya reaksi pembentukan kompleks berwarna saja yang akan terjadi. 

Kedua, Iodometri. Iodometri ini seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya menggunakan larutan Na2S2O3 sebagai larutan titran keduanya. Dengan cara yang tidak langsung itu, mekanismenya begini, jadi dibuat larutan titrat ditambah dengan larutan titran 1 di dalam erlenmeyer, baru untuk selanjutnya dititrasi dengan larutan titran kedua.

Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi berhasilnya titrasi redoks antara lain pH dan tidak adanya senyawa lain yang bersifat reduktor atau oksidator yang lebih kuat.

Pada umumnya, reaksi redoks terjadi pada pH asam lemah atau pada pH netral. Karena beberapa senyawa tertentu pada pH yang tidak sesuai dapat menyebabkan terjadinya reaksi samping, misalnya saja untuk senyawa I2 pada pH bsa akan menyebabkan terjadinya self oxidation and self reduction.

Adanya senyawa lain yang bersifat reduktor ataupun oksidator yang bersifat lebih kuat juga dapat menyebabkan terganggunya reaksi redoks yang diharapkan.

Sekiranya hanya sampai di sini yang dapat saya sampaikan mengenai Iodimetri dan Iodometri. Kurang lebihnya mohon maaf. Semoga bermanfaat. Terima kasih banyak sudah berkunjung :D

Friday, March 15, 2013

Kompleksometri dan Argentometri

Mengenai ini, kita perlu mengetahui bahwa kompleksometri dan argentometri merupakan salah dua metode yang termasuk ke dalam metode volumetri. Jika demikian, memangnya apa yang dimaksud dengan volumetri? 

Volumetri merupakan metode analisis kuantitatif yang didasarkan atas pengukuran volume titran yang dibutuhkan untuk bereaksi secara sempurna dengan zat yang dititrasi (titrat). Lalu kalau begitu apa yang dimaksud dengan kompleksometri?

Kompleksometri merupakan metode volumetri yang didasarkan atas pembentukan suatu senyawa kompleks yang stabil. Perlu digaris bawahi bahwa hanya bisa menerapkan metode kompleksometri apabila senyawa kompleks yang terbentuk adalah senyawa kompleks yang stabil, jika tidak stabil maka tidak dapat diterapkan.

Kemudian bagaimana dengan argentometri? Apa yang dimaksud dengan argentometri? Sejauh yang saya tahu, metode argentometri merupakan metode volumetri yang menggunakan garam Ag sebagai titrannya dan akan membentuk suatu senyawa kompleks dengan titratnya atau membentuk suatu endapan sehingga dalam hal ini sekiranya argentometri bisa dibilang termasuk ke dalam metode kompleksometri apabila hasil akhir reaksinya adalah terbentuknya senyawa kompleks yang stabil, tetapi argentometri ini juga bisa dikatakan merupakan metode pengendapan apabila hasil akhirnya berupa suatu senyawa berbentuk endapan. 

Meskipun demikian, metode argentometri yang dibahas oleh saya kali ini adalah metode argentometri yang termasuk ke dalam metode kompleksometri.

Mengenai kompleksometri ini, tidak jauh-jauh pembahasannya mengenai senyawa kompleks. Lalu apa yang dimaksud dengan senyawa kompleks? Yang dimaksud dengan senyawa kompleks adalah senyawa yang terdiri dari atom pusat dan gugus ligannya. Yang dimaksud dengan gugus ligan adalah gugus yang berikatan dengan atom pusat yang dalam hal ini berdasarkan jumlahnya gugus ligannya senyawa kompleks dibagi menjadi tiga, yaitu (1) senyawa kompleks dengan ligan monodentat (1 gugus ligan), (2) senyawa kompleks dengan ligan bidentat (2 gugus ligan), dan (3) senyawa kompleks dengan ligan multidentat (lebih dari 2 gugus ligan).

Kembali mengenai kompleksometri, sebelumnya telah diketahui salah satu syarat dapat menerapkan metode kompleksometri ini adalah harusnya terbentuk suatu senyawa yang stabil. Senyawa stabil yang bagaimana yang dimaksud? Setiap senyawa kompleks memiliki nilai Kstab yang berbeda-beda, dalam hal ini, senyawa kompleks yang stabil adalah yang Kstabnya > 10 pangkat 21. Selain itu, dalam penerapannya juga, tidak boleh ada reaksi samping yang dengan kata lain agar tidak terjadi adanya reaksi samping perlu diatur pH yang sesuai. Kemudian hal lainnya yang perlu diperhatikan adalah harus menggunakan indikator yang sesuai. 

Berdasarkan PPT ABBF yang dibawakan oleh dosen, diketahui bahwa ada 3 macam titrasi kompleksometri, yaitu (1) merkurimetri, (2) argentometri, dan (3) kompleksometri. 

Untuk yang pertama, jelaslah bahwa pada merkurimetri, artinya menggunakan garam merkuri (Hg2+) sebagai titrannya sementara titrannya biasanya menggunakan garam-garam halogen, ion CN-, dan ion CNS- yang mana dalam hal ini juga biasanya yang termasuk ke dalam titrat adalah yang biasanya senyawa yang akan ditetapkan kadarnya. Dalam hal ini juga, indikator yang biasa digunakan antara lain Na nitroprussid, difenil carbazon, dan difenil carbazid yang mana ketiga indikator tersebut memiliki pH antara 1,5 sampai 2.

Difenil carbazid

Pada metode merkurimetri ini, bisa dilakukan dengan cara langsung maupun dengan cara tidak langsung, sebenarnya tergantung dari titrat dan senyawa kompleks yang akan terbentuk, baru bisa memilih menggunakan dengan cara langsung atau tidak langsung. Cara tidak langsung digunakan apabila dengan cara langsung senyawa kompleks yang terbentuk sulit diamati TAnya, sehingga dengan menggunakan cara tidak langsung diharapkan pembentukan senyawa kompleks dengan titran yang lain dapat dengan mudah diamati TAnya, sebagaimana kita tahu bahwa pada titrasi tidak langsung ini digunakan 2 titran yang berbeda. 

Pada merkurimetri ini, apabila titratnya adalah garam halogen, maka dapat dilakukan dengan cara langsung, yang mana reaksi yang akan terjadi adalah sebagai berikut:


Apabila titrat yang digunakan adalah larutan garam CN-, maka yang akan terbentuk adalah senyawa kompleks AgCN2 yang sulit dilihat TAnya sehingga perlu dilakukan dengan cara tidak langsung. Dalam hal ini menggunakan titran 1-nya garam Hg2+ dan titran 2-nya berupa senyawa CNS-. Reaksi yang terjadi adalah seperti pada gambar di bawah ini. 


Sekiranya masih banyak yang tidak mengetahui bagaimana mekanisme yang terjadi saat titrasi tidak langsung ini. Mungkin bisa saya jelaskan dengan memberi contoh begini, "Misalnya senyawa yang akan diketahui kadarnya adalah senyawa yang mengandung ion CN-, dengan argentometri secara langsung tidak dapat diamati dengan baik TAnya sehingga diputuskan untuk menggunakan cara tidak langsung. Sebenarnya dengan cara langsung telah ditetapkan volume dari CN-nya adalah sebesar 5 ml, dan ketika dititrasi dengan larutan Ag, meskipun tidak terlalu tampak TAnya diperkirakan jumlah volume larutan garam Ag yang dibutuhkan adalah sekitar 10 ml. Dengan cara tidak langsung, posisinya dibalik, yang berada di erlenmeyer saat ini adalah larutan Ag dengan volume yang dilebihkan dari 10 ml, misalnya dalam contoh ini dilebihkan menjadi 15 ml. Sementara yang ada di buret adalah larutan senyawa CN- yang volumenya sesuai dengan ketetapan awal yaitu 5 ml. Reaksi dibiarkan berlangsung sampai seluruh 5 ml larutan CN- dalam buret bereaksi seluruhnya dengan larutan garam Ag. Pada reaksi pada umumnya seharusnya apabila ada indikator yang sesuai, ketika sudah bereaksi seluruhnya atau ketika jumlah Ag dan CN telah sama tampak adanya perubahan warna, karena memang sulit dilihat TAnya maka seumpamanya sejumlah Ag telah bereaksi dengan seluruh CN- dalam 5 ml tersebut. Dalam hal ini tentunya masih ada sisa Ag yang belum bereaksi bukan? Oleh karena itu menggunakan titran kedua yaitu dengan larutan yang mengandung senyawa CNS- diharapkan dapat dilihat TAnya, karena memang terdapat indikator yang sesuai untuk hasil reaksi yang ini. Ketika tampak TA artinya seluruh Ag dalam erlenmeyer telah bereaksi seluruhnya dengan larutan titran yang pada saat itu misalnya diketahui volume yang dibutuhkan untuk larutan titran 2 untuk bereaksi sempurna adalah 8 ml, maka dengan persamaan M1.V1 = M2.V2 yang mana telah diketahui molaritas dari larutan titran 2 dan molaritan dari larutan Ag dan telah diketahui volume larutan titran 2 yang dibutuhkan, maka diketahui pula volume larutan Ag yang telah bereaksi dengannya yang dalam hal ini misalnya setelah dihitung ternyata 5 ml sehingga dalam hal ini bisa kita ketahui bahwa volume yang dibutuhkan untuk bereaksi secara sempurna dengan larutan CN- adalah hasil pengurangan volume larutan Ag seluruhnya dalam erlenmeyer dengan hasil perhitungan volume larutan Ag yang dibutuhkan untuk bereaksi secara sempurna dengan larutan titran 2 yaitu 20 ml - 5 ml = 15 ml. Dengan diketahuinya volume Ag yang dibutuhkan untuk bereaksi secara sempurna dengan larutan CN- tersebut tentunya dapat diketahui molaritas dari CN- sehingga dapat pula pada akhirnya diketahui kadarnya. Mudah-mudahan dengan diberikan contoh yang demikian sudah dapat dipahami bagaimana mekanisme cara kerja dari titrasi tidak langsung tersebut. Mohon maaf apabila misalnya terdapat kesalahan pada penjelasan tersebut, karena yang saya paparkan disesuaikan dengan pemahaman saya. Apabila ingin lebih pasti penjelasannya, silakan tanya guru atau dosen yang pasti lebih memahami.

Kemudian metode kompleksometri berikutnya yaitu argentometri, sebelumnya sudah sedikit dijelaskan di awal mengenai argentometri. Singkat saja, pada argentometri yang menggunakan ion Ag+ sebagai titrannya lalu menggunakan CN- sebagai titratnya yang mana dalam hal ini hasil reaksinya termasuk ke dalam senyawa kompleks yang oleh karena itulah mengenai hal ini, yang demikian termasuk ke dalam kompleksometri bukan pengendapan. Dalam argentometri yang ini juga, indikator yang digunakan adalah KI, namun penggunaan indikator ini memiliki kelemahan, akibat Ksp AgI ternyata lebih kecil dibandingkan dengan AgCN sehingga dapat menyebabkan ion logam dapat lebih tertarik terikat dengan ion I- yang mana seharusnya bereaksi sempurna terlebih dahulu dengan ion CN- sehingga dalam hal ini menyebabkan terjadi TA sebelum TE. Pada masalah ini kemudian ditambahkanlah NH4OH sebagai solusinya, karena dengan begitu akan terbentuk senyawa Ag(NH3)+ sehingga tidak jadi terbentuk TA yang mendahului TE.

Pada argentometri juga dapat digunakan untuk menetapkan kadar Ni2+, Zn2+, dan Co2+, namun dengan cara tidak langsung yang mana titran  1-nya adalah CN- dan titran 2-nya adalah Ag+.

Dan yang ketiga adalah metode titrasi menggunakan komplekson. Apakah yang dimaksud dengan komplekson? Komplekson merupakan ligan multidentat. Ada banyak macam ligan multidentat yang biasa digunakan dalam metode titrasi ini antara lain:
  1. NTA (Nitrilo Triasetat)
  2. EDTA (Etilen Diamin Tetra Asetat)
  3. Na2 EDTA (Dinatrium Etilen Diamin Tetra Asetat)
  4. DCTA (Diamino Cikloheksan Tetra Asetat)
  5. EGTA (Etilen Glikol bis (2-amino etil eter) Tetra Asetat)
  6. TTHA (Trietilen Tetraamin Heksa Asetat)
Jadi pada titrasi menggunakan komplekson ini menggunakan titran komplekson dan titratnya ion-ion logam yang biasanya memang akan ditetapkan kadarnya. Ion-ion logam yang biasa dititrasi menggunakan metode ini antara lain Mg2+. Bi3+, dan lain sebagainya.

Meskipun ada banyak jenis komplekson, namun yang paling umum digunakan adalah komplekson nomor 3, yaitu Na2 EDTA.

Reaksi umum yang terjadi adalah sebagai berikut:
 

Sejauh ini, sekiranya sudah dapat dimengerti apa itu kompleksometri, apa saja persyaratan penerapan metode kompleksometri, dan macam-macam titrasi. Selain itu, juga sudah dipahami bahwa dalam titrasi sekiranya ada 3 komponen penting, yaitu titran, titrat, dan indikator.

Indikator menjadi penting, karena pada umumnya tanpa indikator kita tidak dapat melihat TA. "Memangnya bagaimana cara kerjanya sehingga indikator dapat memberikan warna?"  Pada dasarnya suatu indikator akan memiliki warna tertentu pada keadaan bebasnya (Ind-) dan memiliki warna tertentu pula pada keadaan terikat dengan ion logam tertentu (MInd).

Sebelumnya saya mengatakan bahwa ketika larutan titran telah bereaksi sempurna dengan larutan titrat, maka kelebihannya akan bereaksi dengan indikator sehingga dapat memberikan warna. Sementara dosen saya mengatakan begini: "Jadi ketika di dalam erlenmeyer terdapat larutan titrat dan juga indikator, di saat itu akan terbentuk ikatan antara logam dengan indikator yang mana misalnya warna dalam bentuk molekulnya adalah merah violet, kemudian dalam hal ini juga ikatan yang terbentuk antara ion logam dan indikator ternyata lebih lemah dibandingkan dengan ikatan logam larutan titrat dengan larutan titran, sehingga ketika dititrasi, ion dari larutan titran akan segera menggeser ikatan tersebut sehingga indikator tidak lagi berikatan dan segera berubah menjadi bentuk bebasnya yang dalam hal ini misalnya dalam bentuk bebas berwarna biru. Dengan adanya titrasi yang dilakukan secara terus menerus maka warna merah violet makin menghilang dan warna biru akan makin bertambah. TA dalam hal ini bukanlah terbentuk warna biru, melainkan ketika warna merah violetnya telah menghilang dengan sempurna."

Dengan demikian jelaslah bagaimana mekanisme kerja suatu indikator dapat memberikan perubahan warna.

Dengan kata lain, indikator dalam hal ini memiliki peranan yang penting, namun demikian, perlu diketahui bahwa tiap-tiap indikator memiliki karakteristik masing-masing seperti pH misalnya. Dalam metode kompleksometri ini perlu juga diketahui bahwa terbentuknya senyawa kompleks dipengaruhi salah satunya oleh pH, jadi apabila pH yang ada tidak sesuai, maka tidak akan terbentuk senyawa kompleks yang stabil. Oleh karena itu, pemilihan indikator menjadi amat penting dalam hal ini.

Berikut adalah beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pemilihan indikator:
  1. Ikatan antara indikator dengan ion logam haruslah lebih lemah dari ikatan antara ion logam dengan EDTA misalnya (antara ion dalam larutan titran dan ion dalam larutan titrat).
  2. Indikator harus sensitif, misalnya dengan adanya kelebihan sedikit dari ion larutan titran maka dapat segera bereaksi.
  3. Indikator harus memberikan warna spesifik yang perubahan warna nantinya juga harus tampak tajam dan jelas, sehingga TA dapat diamati dengan baik.
  4. Reaksi substitusi juga harus berjalan dengan cepat agar TA dapat mendekati nilai TE.
Sebelumnya juga dikenalkan dengan beberapa indikator tertentu seperti Na nitroprussid, difenil carbazid, difenil carbazon, dan KI. Pada kesempatan kali ini, kenali juga indikator lainnya seperti EBT (Eriochrom Black 2) dan Calcon. Untuk calcon, calcon merupakan indikator spesifik untuk ion Ca2+. Sementara EBT merupakan indikator spesifik untuk ion Mg, Mn, Zn, Cd, Hg, dan Pb. Perlu diketahui dalam hal ini bahwa Ca tidak cocok menggunakan EBT, karena ikatannya yang terlalu lemah sehingga dapat menyebabkan TA mendahului TE. Selain itu, ion seperti Cu, Co, Ni, Al, Fe, dan Pt, juga tidak cocok menggunakan EBT karena ikatannya yang terlalu kuat sehingga dapat menyebabkan TA melampaui TE.

Sepertinya hanya sampai di sini yang dapat saya sampaikan. Mohon maaf apabila terdapat kesalahan. Semoga bermanfaat, terima kasih sudah berkunjung ^^

Emulsifikasi

Emulsifikasi tentunya berkaitan dengan emulsi, lalu sebenarnya apa yang dimaksud dengan emulsi? Saat SMA saya mendefinisikan emulsi sebagai salah satu sistem koloid di mana fase terdispersinya berupa cairan dan fase pendispersinya adalah cairan, jadi bisa dibilang yang dimaksud dengan emulsi adalah suatu cairan dalam cairan.

Sementara, definisi emulsi yang dijelaskan oleh dosen adalah suatu sistem dispersi di mana fase terdispersinya berupa zat cair dalam bentuk globul yang terdistribusi secara rata ke ke seluruh cairan pembawanya atau fase pendispersinya dan saling tidak bercampur. 

Oleh karena itulah, dalam hal ini, tujuan dari emulsifikasi adalah membentuk suatu emulsi yang stabil sehingga antara kedua cairan yang saling tidak bercampur tersebut dapat saling bercampur dengan adanya zat penstabil atau zat pengemulsi.

Zat pengemulsi ini biasa disebut sebagai emulgator. Mungkin dapat muncul pertanyaan begini, "Bagaimana bisa sebuah emulgator dapat menstabilkan suatu emulsi atau dengan kata lain dapat menyebabkan suatu zat cair yang tidak saling bercampur pada awalnya menjadi dapat bercampur dan dapat stabil pencampurannya?"

Untuk menjawab pertanyaan tersebut, dibuatlah suatu "Teori Emulsifikasi" yang dapat menjelaskan mengenai hal itu. Teori emulsifikasi ini dapat terbagi menjadi 2--berdasarkan buku panduan praktikum farmasi fisika yang saya miliki--yaitu "Teori Tegangan Permukaan" dan "Teori Oriented-Wedge".

Teori tegangan permukaan menjelaskan bahwa dalam hal ini, sebuah emulgator dapat membentuk emulsi dengan menurunkan tegangan permukaannya. Suatu emulsi dapat stabil secara termodinamika apabila energi bebasnya kecil atau sama dengan nol. Sementara kita tahu bahwa energi bebas merupakan perkalian antara tegangan permukaan dan luas permukaan. 


Sehingga apabila tegangan permukaannya yang diturunkan, maka dapat menurunkan pula energi bebasnya dan menghasilkan suatu emulsi yang stabil.

Selain itu, dengan adanya penurunan pada tegangan permukaan juga dapat mengurangi gaya tolak menolak antara kedua cairan yang saling tidak bercampur pada awalnya dan juga mengurangi gaya tarik menarik antara cairan yang sejenis sebagaimana kita tahu bahwa suatu emulsi pada awalnya merupakan campuran zat cair yang saling tidak bercampur karena kuatnya gaya kohesi (tarik menarik dengan cairan sejenis) dan juga lemahnya gaya adhesi (tarik menarik dengan zat cair yang berbeda yang dengan kata lain antara kedua zat cair, gaya tolak menolaknya besar) sehingga dengan demikian lebih mendorong kedua cairan untuk saling terpisah.

Kemudian Teori oriented wedge, berdasarkan definisi per katanya yang wedge artinya pengganjal atau penjepit maka berdasarkan pemahaman saya sendiri teori tersebut ingin menjelaskan peranan emulgator dalam pembentukan emulsi yang stabil dengan berperan sebagai suatu pengganjal atau penjepit. 

Dua cairan yang saling terpisah tersebut dengan adanya emulgator sebagai pengganjal atau penjepit akhirnya dapat saling menyatu. Kenapa emulgator tersebut bisa mengganjal atau menjepit kedua cairan yang saling berbeda sifatnya? Karena emulgator tersebut memilki kedua sifat tersebut. Sebagaimana kita tahu bahwa suatu emulsi yang terdiri dari dua cairan yang saling tidak bercampur, pada umumnya karena cairan yang satu bersifat hidrofilik sementara yang satunya lagi bersifat lipofilik. Oleh karena itulah dalam hal ini, emulgator tersebut dapat menjepit karena memiliki kedua sifat tersebut. Bagian dari emulgator yang bersifat hidrofilik akan memegang cairan yang bersifat hidrofilik sementara bagian lainnya dari emulgator yang bersifat lipofilik memengang cairan satunya lagi yang bersifat lipofilik.

Berdasarkan teori yang kedua ini, bisa diketahui bahwa suatu emulgator memiliki dua sifat yaitu hidrofilik dan lipofilik. Pada kenyataannya, distribusi kekuatan sifatnya tersebut tidak sama, hanya salah satu sifatnya saja yang akan lebih dominan. Ukuran dari keseimbangan antara sifat hidrofilik dan lipofilik ini ditetapkan dalam suatu ukuran yang disebut dengan HLB (Hidrofilik Lipofilik Balance). 

Dengan adanya HLB tersebut, oleh Griffin, diberikan suatu skala yang menetapkan bahwa nilai HLB yang kecil menunjukkan sifat emulgator yang lebih lipofilik sementara yang nilai HLBnya besar menunjukkan sifat hidrofiliknya yang lebih dominan.

Sebelumnya, perlu diketahui bahwa dalam emulsi ini, terdapat dua tipe, yaitu tipe A/M (Air dalam Minyak) dan tipe M/A (Minyak dalam Air). Yang menentukan suatu emulsi merupakan tipe A/M atau M/A adalah jumlah dari tiap-tiap zatnya. Untuk tipe A/M artinya jumlah air lebih sedikit dibandingkan minyak sehingga air berperan sebagai zat terdispersi (fase internalnya) dan minyak berperan sebagai zat pendispersi (fase eksternalnya), begitu juga sebaliknya, untuk tipe M/A, jumlah minyak sebagai zat terdispersi lebih sedikit dibandingkan dengan jumlah air sebagai zat pendispersinya. 

Selain jumlah zatnya, HLB suatu emulgator juga dapat mempengaruhi tipe emulsi. Apabila kita menginginkan untuk membuat emulsi tipe A/M maka kita harus menggunakan HLB yang sesuai yaitu yang memiliki sifat lipofilik yang lebih dominan yaitu yang antara 3-6. Sementara apabila kita menginginkan tipe emulsi M/A maka kita harus menggunakan HLB yang memiliki sifat hidrofilik yang lebih dominan yaitu yang antara 8-18. Jadi tergantung dari sifat zat cair pendispersinya yang jumlahnya lebih banyak, apabila yang jumlah pendispersinya lebih banyak adalah minyak (yang bersifat lipofilik) maka HLB yang digunakan haruslah yang sesuai dengan yang jumlahnya lebih banyak yaitu yang HLBnya kisaran lipofilik juga (3-6) begitu pula sebaliknya. Dengan kata lain, apabila tidak sesuai maka tipe emulsi yang diinginkan mungkin tidak dapat tercapai. Sekiranya pemahaman saya terkait yang satu ini begitu, apabila ternyata salah, saya mohon maaf. 

Dalam hal ini fungsi dari mengetahui harga HLB tiap emulgator adalah untuk mengetahui seberapa banyak emulgator yang dibutuhkan sebenarnya sampai pada harga HLB berapa hingga dapat membentuk emulsi yang optimal dan stabil. Tiap jenis minyak memiliki HLB butuhnya masing-masing, misalnya saja parrafin liquid, parrafin liquid memiliki HLB butuh 12, artinya untuk dapat membentuk suatu emulsi yang stabil dengan jenis minyak ini, perlu menggunakan emulgator dengan kisaran HLB demikian. Diketahuinya HLB butuh parrafin liquid adalah sebesar 12, ditentukan berdasarkan percobaan. HLB butuh ini juga tergantung dari tipe emulsi yang diinginkan, akan berbeda apabila kita ingin membuat emulsi dengan parrafin liquid tetapi tipe emulsinya M/A maka HLB butuhnya menjadi 5.

Berikut adalah macam-macam jenis minyak beserta harga HLB butuhnya:


Jadi sudah dapat diketahui bahwa dengan mengetahui HLB butuh tersebut, artinya emulgator yang ada, diharapkan memiliki HLB sesuai dengan HLB butuhnya. Namun kenyataannya, tidak ada emulgator yang benar-benar sesuai dengan HLB butuh tiap minyak, sehingga diperlukan adanya kombinasi antar tiap emulgator, meskipun demikian, justru dengan adanya kombinasi tersebut menyebabkan emulsi menjadi lebih stabil karena akan didapatkan lapisan film yang lebih rapat.

Berikut adalah beberapa macam jenis emulgator beserta harga HLBnya:



Mungkin muncul pertanyaan, "Baiklah kalau begitu, jika memang untuk bisa mendapatkan suatu emulsi yang stabil perlu menggunakan kombinasi emulgator yang akumulasi harganya sesuai dengan HLB butuh minyak, misalnya saja emulsi tersebut merupakan campuran antara air dengan minyak seperti parrafin liquid dan minyak jagung yang berdasarkan perhitungan dan pertimbangan besar bobotnya hingga akhirnya didapatkan HLB butuh minyaknya sebesar 10, apabila menggunakan kombinasi emulgator seperti span 80 yang HLBnya 4,3 dan tween 80 yang HLBnya 15, pastinya berapa kombinasi jumlah massa dari span 80 dan tween 80 yang dibutuhkan untuk membuat emulsi stabil yang demikian?"

Jawabannya bisa dilihat pada gambar di bawah ini, untuk mengetahui jumlah massa tiap jenis emulgatornya bisa kita gunakan rumus 1 dan rumus 2 (rumus silang).


Berdasarkan tampilan soal di atas, diketahui bahwa emulgator yang dibutuhkan sebesar 2%, artinya dengan jumlah emulsi yang diinginkannya adalah 100 gram, sementara ada keterangan da 70, maka jumlah emulgator = 2% x100 x 70/100 = 1,4 gram.



Jadi berdasarkan soal, dapat disimpulkan bahwa jumlah tween 80 yang dibutuhkan adalah sebanyak 0,75 gram, sementara jumlah span 80 yang dibutuhkan adalah sebanyak 0,65 gram.

Sebelumnya telah disebutkan bahwa suatu emulsi pada dasarnya merupakan sistem yang tidak stabil yang oleh karena adanya zat penstabil seperti emulgator tersebutlah pada akhirnya dapat membuat suatu emulsi yang stabil. Tetapi sebenarnya pada waktu tertentu dan pada jangka waktu yang berbeda-beda, suatu emulsi dapat kembali menjadi tidak stabil. Kenapa bisa menjadi tidak stabil? Bisa karena pengaruh dari lingkungan seperti suhu, pH, kelembapan, dan lain sebagainya yang mana dengan adanya pengaruh tersebut dapat mengakibatkan rusaknya film yang dibentuk oleh emulgator, dan apabila film tersebut rusak, tentunya emulsi stabil yang terbentuk bisa menjadi pecah atau rusak juga sehingga menjadi tidak stabil kembali.

Lalu bagaimana caranya mengetahui suatu emulsi sudah tidak stabil lagi? Dalam hal ini ada 2 fenomena yang dapat menjelaskan ketidakstabilan suatu emulsi. Kedua fenomena tersebut antara lain, fenomena ketidakstabilan yang ditujukan dengan film yang terbentuk oleh emulgator masih belum rusak dan fenomena ketidakstabilan dengan film yang sudah rusak.

Fenomena ketidakstabilan yang filmnya masih belum rusak terjadi akibat adanya energi bebas permukaan yang besar yang dengan untuk menurunkan energi bebas yang tidak diinginkan tersebut, maka emulsi berusaha untuk memperkecil luas permukaan yang mana sebelumnya telah diketahui bahwa apabila luas permukaan diturunkan, maka menurun pula energi bebas permukaannya (lihat kembali persamaan sebelumnya yang di atas). Untuk dapat menurunkan luas permukaan tersebut, maka antara globul zat terdispersi yang satu dan yang lainnya saling berdekatan hingga membentuk globul yang lebih besar. Pembentukan globul yang lebih besar ini disebut dengan flokukasi. Kemudian apabila pembentukan globul yang lebih besar tersebut terus berlanjut, maka dapat menyebabkan terbentuknya lapisan di bawah atau di atas emulsi, tergantung dengan massa jenisnya, apabila massa jenis globul besar yang membentuk lapisan tersebut lebih besar massa jenisnya dibandingkan dengan massa jenis zat pendispersinya maka lapisannya akan terbentuk di bawah, begitu juga sebaliknya. Peristiwa lanjutan dari flokulasi yang hingga dapat menyebabkan terbentuknya lapisan tersebut disebut dengan creaming. Apabila terbentuk fenomena ketidakstabilan creaming ini, ketika dikocok masih dapat membentuk emulsi yang stabil karena filmnya masih belum rusak.

Kemudian fenomena ketidakstabilan yang filmnya sudah rusak, hampir sama dengan sebelumnya, akan dapat terjadi koalesen, mirip dengan flokulasi, terbentuk pula globul-globul yang besar tetapi bedanya, koalesen ini terbentuk dengan film yang sudah rusak. Dan kelanjutan dari koalesen ini yaitu terbentuknya lapisan di bawah atau di atas permukaan disebut dengan demulsifikasi yang oleh pengocokan tidak dapat kembali membentuk emulsi karena filmnya sudah rusak.

Jadi sekali lagi, diingatkan bahwa peristiwa flokulasi, creaming, koalesen, dan demulsifikasi merupakan fenomena ketidakstabilan suatu emulsi.

Sekiranya hanya ini yang dapat saya sampaikan, kurang lebihnya mohon maaf. Semoga bermanfaat, terima kasih atas kunjungannya :D

Friday, March 08, 2013

HEY! YOU'RE MY SISTER!

Halo Siti Nur Priantia.

This is me, Nuri. How are today? I hope, everything is good. 
Remember the time after Clobim? How do you feel? I really enjoy the situation which made not only you but also your other friends became very shocked and seemed dissappointed. But at final, you are my sister.  

Welcome to your new family. We greet you warmly :D


Tia, you have to remember that I'm just an ordinary college student, so I want you not to expect too much from me. Nevertheless, I will try my best to be your good sister. If there is something that you want to tell me, just call me and feel free. 

I really happy that you become my sister. I hope, in the future, we can make really good relation. We are family now, just feel free to tell and call the other family members too, they would be very happy to respon it.

For the last sentence, I just want to give you a message, although we will be 5 years in the college until become the real pharmacist, our relation will never end. We will still become family. Remember this!





From Your New Sister With Love



Nuri

Monday, March 04, 2013

Analisis Asam

Sudah sering saya mempelajari mengenai asam, namun untuk menganalisis suatu sampel apakah merupakan senyawa asam ataupun karbohidrat, belum dapat saya mengerti. Sebenarnya teori analisis kedua senyawa tersebut sudah saya dapatkan di semester 3 yang lalu, di ABBF (Analisis Bahan Baku Farmasi), pernah saya mengingat dan memahaminya dengan benar, hingga ujian usai, ingatan dan pemahaman itu ikut usai juga. Oleh karena begitu berharganya materi ini, maka saya mencoba untuk mengulang dan mengingat kembali materi tersebut melalui tulisan ini.

Pembahasan saya awali seputar asam

"Apakah yang dimaksud dengan asam?" merupakan suatu pertanyaan yang sederhana tetapi seringkali mahasiswa memutar otak untuk mendefinisikannya. 

"Definisinya berdasarkan teori apa ya?" 
"Kalau teori ini definisinya bagaimana ya?" 
"Aduh, terlalu banyak pendefinisian, jadi bingung sendiri apa ya yang dimaksud dengan asam?"

Saya sendiri seringkali berpikir demikian, terlalu banyaknya teori yang dihapal, karena orientasi hapal untuk ujian saja, akhirnya setelah ujian, saya tidak ingat lagi sederetan kalimat definisinya tersebut. Dalam hal ini, sudah seharusnya kita tidak lagi hanya sekedar menghapal, tetapi mencoba untuk mendapatkan maknanya, mungkin dengan begitu, ingatan tersebut akan dapat selalu tersimpan.

Kalau mengingat kembali definisi asam, kita bisa mendefinisikannya melalui 3 teori yang sudah sering kita dengar, yaitu teori Arrhenius, teori Bronsted Lowry, dan teori Lewis. Berdasarkan pemahaman saya, ketiga teori tersebut saling memperbaiki. 

Bisa dibilang teori Arrhenius merupakan teori mengenai asam yang pertama di antara ketiganya, yang kemudian berdasarkan teori tersebut yang dimaksud dengan asam adalah suatu senyawa yang apabila dilarutkan dapat terionisasi menjadi H+. Definisi berdasarkan teori Arrhenius ini memiliki keterbatasan, yang mana hanya dapat menggolongkan asam untuk senyawa-senyawa yang hanya dapat terlarut di dalam air, lalu bagaimana dengan senyawa yang tidak dapat larut dalam air?

Kemudian teori mengenai asam dilengkapi oleh Bronsted Lowry yang mendefinisikan bahwa asam merupakan senyawa yang memberikan proton. Pada akhirnya untuk berikutnya dilengkapi lagi oleh Lewis bahwa yang dimaksud dengan asam adalah senyawa yang menerima elektron sehingga senyawa BF3--dengan jelas tidak memiliki atom H sama sekali--bisa kita katakan juga sebagai asam. Karena apabila BF3 ini bereaksi dengan NH3, maka atom B akan menerima pasangan elektron bebas dari atom N tersebut sehingga dengan begitu BF3 disebut sebagai asam. 


Tetapi dalam analisis kimia ini, kita hanya perlu mengetahui bahwa yang dimaksud dengan asam adalah senyawa yang dapat menunjukkan keasamannya dengan merubah kertas lakmus biru menjadi merah.

Lalu bagaimanakah caranya kita dapat mengidentifikasi adanya asam dalam suatu sampel. Caranya adalah dengan melakukan analisis pendahuluan pada suatu sampel yang terdiri dari:
  1. Pengamatan secara organoleptik
  2. Mereaksikannya dengan kertas lakmus
  3. Menggunakan indikator pH universal
  4. Sublimasi
  5. Pirolisis
Secara organoleptik dapat dilihat berdasarkan bentuk, bau, dan rasanya bahwa asam biasanya berbentuk cair, kristal, dan padat, berbau menusuk, dan berasa asam (karena memang senyawa asam) atau asin (senyawa asam dalam bentuk garam berasa asin).

Dengan kertas lakmus biru tentunya dapat merubahnya menjadi merah. Penggunaan indikator pH universal hanya untuk mengetahui derajat keasamannya saja. Reaksi sublimasi dilakukan karena pada umumnya senyawa asam mudah menyublim. Pirolisis dilakukan atas dasar pengetahuan bahwa apabila meninggalkan sisa maka garam dan apabila memberikan warna hitam menandakan adanya asam.

Dalam hal ini, analisis pendahuluan saja tidak cukup untuk meyakinkan kita bahwa sampel yang kita analisis mengandung senyawa asam, perlu adanya reaksi umum berikutnya yang benar-benar dengan begitu kita pastikan bahwa sampel yang kita analisis mengandung senyawa asam. Reaksi-reaksi umum tersebut salah satunya adalah reaksi reaksi Cuprifil.

Reaksi Cuprifil ini menggunakan pereaksi NaOH dan CuSO4, hasil positif apabila terbentuk warna larutan biru jernih.

Selain itu, kita juga dapat mengetahui reaksi-reaksi umum tertentu untuk segolongan jenis asam tertentu, ada sekitar 14 reaksi, antara lain: (1) reaksi dengan FeCl3, (2) reaksi iodoform, (3) reaksi beilstein, (4) reaksi marquis, (5) reaksi fehling, (6) reaksi dengan AgNO3, (7) reaksi dengan p. DAB, (8) reaksi nessler, (9) reaksi dengan NaOH, (10) reaksi Umbelliferon, (11) reaksi murexide, (12) reaksi frohde, (13) reaksi parri, dan (14) reaksi dengan KMnO4.

Reaksi dengan FeCl3, menggunakan pereaksi FeCl3 beberapa tetes, hasil positif pada segolongan asam tertentu, apabila berwarna ungu/merah ungu maka derivat salisilat, apabila berwarna merah maka asam melonat, apabila berwarna coklat maka asam benzoat atau asam asparagin, apabila berwarna coklat merah maka asam asetat, apabila berwarna kuning maka asam laktat atau asam malat, apabila jingga maka asam indhosinolinsulfonat, dan apabila berwarna biru hitam maka asam gallat.

Reaksi Iodoform menggunakan pereaksi NaOH/NH4OH dan sol iodii, hasil positif apabila terbentuk endapan kuning muda yang berkilat, hasil positif untuk asam piruvat, asam laktat, dan asam sulfosalisilat.

Reaksi beilstein menggunakan kawat Cu yang dibersihkan lalu dibakar, dicelup ke dalam larutan zat, dibakar lagi dengan nyala bunsen. Suatu reaksi umum pada halogen maka hasil positif untuk asam yang mengandung halogen seperti asam trikloroasetat.

Reaksi fehling menggunakan pereaksi fehling A dan fehling B, hasil positif apabila terdapat endapan merah bata Cu2O, hasil positif untuk asam gallat, asam glukonat, asam formiat, tanin, dan nikotamid.

Reaksi dengan AgNO3, apabila reaksi berjalan dengan dingin maka bisa jadi asam gallat, sementara apabila reaksi berjalan dengan panas bisa jadi asam formiat.

Reaksi dengan p DAB akan menghasilkan warna jingga, hasi positif untuk asam sulfanilat dan asam antranilat.

Reaksi nessler menggunakan pereaksi KI dan HgI2 (1:20), hasil akan mengendap, positif untuk asam formiat dan asam tartrat.

Reaksi umbelliferon menggunakan pereaksi resorsin dan H2SO4 apabila dipanaskan lalu diencerkan dengan air kemudian ditambah dengan NaOH maka bisa diamati menggunakan sinar biasa atau sinar UV maka beberapa golongan asam tertentu akan memberikan warna yang berbeda, misalnya dengan sinar biasa, asam sitrat kuning, asam tartrat coklat merah, asam phtalat kuning/coklat, asam malonat kuning, dan asam suksinat kuning.

Reaksi murexide menggunakan KClO3 dan HCl sebagai pereaksi, zat ditambah pereaksi lalu dipanaskan di penangas air maka akan dihasilkan warna kuning jingga, setelah dingin, tiupkan uap NH4OH encer maka akan menjadi ungu.

Reaksi frohde menggunakan pereaksi larutan amonii molibdat dan H2SO4 maka akan menjadi ungu, positif untuk asam salisilat.

Reaksi parri menggunakan pereaksi Co(NH3), zat tambah pereaksi tiup dengan ammonia maka akan berwarna ungu, positif untuk asam phtalat dan asam champironat.

Reaksi dengan KMnO4, lalu ditambah dengan H2SO4 kemudian dipanaskan maka apabila berbau asetaldehid berarti asam laktat dan derivatnya, sementara apabila bau benzaldehid maka asam sinamat dan derivatnya.

Sunday, March 03, 2013

Catatan Praktikum Farmakognosi #3

Senin yang lalu, 25 Februari 2013, saya kembali hadir di pertemuan ketiga kelas Praktikum Farmakogosi. Kali ini tidak lagi Ibu Katrin yang menjelaskan materinya, namun disampaikan oleh dua orang teman kami yang bertugas yaitu Tyas dan Ainina.

Tyas menjelaskan karakteristik secara makroskopik dan mikroskopik dari Datura Stramonii Folium (Daun Kecubung), Digitalis Folium, dan Nerii Folium (Daun Oleander). Sementara Ainina menjelaskan karakteristik secara makroskopik dan mikroskopik dari Orthosiphonis Folium (Daun Kumis Kucing) dan Piperis Betle Folium (Daun Sirih).

Pertama, Datura Stramonii Folium.

Berasal dari tanaman Datura stramonium L. dan berasal dari famili Solanaceae. Secara makroskopik, jelas terlihat dari gambar, daun ini terdiri dari daun tunggal yang bertangkai, tepi daunnya berlekuk atau bergerigi tidak beraturan, ujung daunnya runcing, pangkalnya bulat, dan warnanya hijau tua keabu-abuan. Selain itu, dari rasa dan baunya, daun ini berasa pahit dan tidak enak, serta berbau membius.

Secara Mikroskopik. Ada sekitar 6 hal yang menjadi karakteristik spesifik dari Datura Stramonii Folium, antara lain: (1) Tipe stomatanya adalah anisositik, dengan seperti tipe daun pada umumnya, stomata tersebut lebih banyak jumlahnya di bagian epidermis bawah dibandingkan dengan epidermis atas. (2) Jaringan palisade hanya tersusun dari satu lapis sel. (3) Ada banyak kristal kalsium oksalat berbentuk roset pada jaringan bunga karang. (4) Rambut penutupnya berbentuk kerucut. (5) Rambut kelenjarnya terdiri dari 1-2 sel tangkai dengan 2-4 sel kepala. (6) Di sekitar tulang daunnya, satu lapis sel yang berdekatan tidak dapat ditemukan kristal kalsium oksalat, tetapi pada beberapa lapisan setelahnya banyak ditemukan lapisan kalsium oksalat berbentuk prisma dan pasir. 

Pada praktikum yang lalu, saya hanya benar-benar dapat mengamati bentuk daunnya yang khas, serabut berkas pembuluh, dan kristal kalsium oksalat berbentuk prisma, sementara fragmen-fragmen lainnya tidak dapat dengan jelas dapat saya amati. Jadilah yang dapat saya gambar selama praktikum hanya begini:


Bagian spesifik yang seharusnya dapat diamati juga antara lain:


Kedua, Digitalis Folium.



Berasal dari tanaman Digitalis purpurea L. dan dari famili Scrophulariaeae. Secara makroskopik, daun ini merupakan daun tunggal dan bertangkai, permukaan daunnya empuk, bulu rambut daunnya agak tebal, urat daunnya seperti anyaman dan dapat terlihat dengan jelas. Selain itu, dari segi rasa, rasanya pahit. 

Secara mikroskopik, ada 4 fragmen spesifik yang perlu diketahui pada jenis daun ini, antara lain: (1) Diamati dari atas, jaringan epidermis tampak berbentuk memanjang seperti jaringan palisade; (2) Tipe stomatanya anomositik; (3) Rambut penutupnya berbentuk khas, terdapat bagian yang berkolabrasi (menyempit); Dan (5) rambut kelenjarnya terdiri dari 1-4 sel tangkai dan 1-2 sel kepala.

Yang dapat saya amati saat itu hanya bentuk rambut penutupnya saja dan satu fragmen yang saya tidak ketahui itu apa.


Seharusnya terdapat fragmen spesifik seperti ini:


Ketiga, Nerii Folium.


Berasal dari tanaman Nerium oleander, famili Apocynaceae. Secara makroskopik, daun ini berbentuk lanset, tebal, dan keras. Serta sistem pertulangan daunnya berupa daun menyirip sejajar. 

Secara mikroskopik, ada 6 fragmen spesifik yang dimilikinya, antara lain: (1) Adanya kutikula yang tebal pada bagian atas permukaan jaringan epidermisnya. (2) Terdapat hipodermis. (3) Jaringan palisade terdiri dari 3 lapisan. (4) Pada epidermis bawah terdapat lekukan yang di dalamnya terdapat lekukan. (4) Rambut penutup terdiri dari 1 sel. (5) Terdapat kristal kalsium oksalat berbentuk bintang pada urat daun dan mesofilnya. Dan (6) stomatanya memiliki 5-6 sel tetangga.

Fragmen yang dengan jelas dapat saya amati hanya bagian epidermis bawah yang terdapat lekukan dan di dalam lekukannya ada terdapat banyak rambut penutup, sementara fragmen lainnya tidak dapat saya amati dengan baik.


Seharusnya terdapat fragmen spesifik lainnya seperti di bawah ini:


Keempat, Orthosiphonis Folium.


Berasal dari tanaman Orthosiphon aristatus (Bl.) Miq. dari famili Lamiaceae. Secara makroskopik, daun ini merupakan daun tunggal bertangkai, bentuknya seperti bulat telur, lonjong, dan bisa juga seperti ujung tombak atau belah ketupat, permukaan daunnya licin, tepi daunnya bergerigi tidak beraturan, serta tulang daunnya menyirip.

Secara mikroskopik, yang saya pahami, terdapat 4 fragmen spesifik pada spesies daun ini, antara lain: (1) Memiliki kutikula yang tebal. (2) Tipe stomatanya diasitik. (3) Terdapat rambut penutup berbentuk kerucut terdiri dari 1-2 sel. (4) Rambut kelenjarnya tipe Lamiaceae yang mana terdiri dari satu sel tangkai dan 4-6 sel kepala.

Yang dapat saya amati lagi-lagi hanya bentuk rambut penutupnya dan satu fragmen yang tidak jelas (tetapi saya gambar saja karena memang itu yang saya lihat di bawah mikroskop), saya tidak begitu mengetahui bagaimana caranya dapat mengamati fragmen spesifik lainnya misalnya saja stomatanya. Mungkin saya dapat mengamatinya pada perbesaran 10x40, tetapi sayangnya, mikroskop yang saya gunakan lensa objek 40-nya dalam keadaan rusak :(


Seharusnya terdapat fragmen spesifik berikut:


Kelima, Piperis Betle Folium.


Berasal dari tanaman Piperis betle L. dari famili Piperaceae. Secara makroskopik, daun ini merupakan jenis daun tunggal bertangkai, bentuk daunnya bulat telur agak lonjong dengan ujungnya yang runcing dan agak menggulung ke bawah, pangkal daunnya sedikit berlekuk seperti jantung. Warna permukaan daun atas lebih tua dibandingkan bawahnya. Selain itu permukaan atasnya licin sedangkan bagian bawahnya agak kasar. 

Secara mikroskopik, ada 8 fragmen spesifik yang dimilikinya, antara lain: (1) Terdapat kutikula yang tebal dan licin di bagian atasnya; (2) Sel epidermis terdiri dari 1 lapis jaringan berbentuk segiempat; (3) Terdapat hipodermis yang mana bagian atas ada 2 lapis jaringan hipodermis, bagian bawah terdapat 1 lapis jaringan hipodermis; (4) Di jaringan hipodermis atas terdapat sel minyak berwarna jingga kekuningan; (5) Jaringan palisadenya tersusun dari satu lapisan; (6) Terdapat rambut penutup yang terdiri dari satu sel; (7) Terdapat rambut kelenjar yang terdiri dari satu sel kepala berbentuk bulat; Dan (8) Tipe stomatanya berupa anomositik.

Fragmen yang dapat saya amati dengan jelas hanya sel minyaknya saja.


Fragmen spesifik yang seharusnya dapat saya amati juga antara lain:


Demikian yang dapat saya sampaikan. Tentunya tidak lepas dari adanya kesalahan. Mohon maaf atas kekurangannya. Semoga bermanfaat. Terima kasih atas kunjungannya :D

Friday, March 01, 2013

Analisis Alkohol dan Fenol

Secara umum, saya rasa, semua sudah mengetahui perbedaan antara Alkohol dengan Fenol, dari struktur kimianya saja sudah jelas.


Di samping struktur kimianya, kita juga dapat membedakan keduanya dari karakteristiknya.

Pada umumnya, Alkohol bersifat mudah menguap dan mudah terbakar. Alkohol yang terdiri dari 1-4 atom C berupa cairan, 5-9 atom C berupa cairan kental seperti minyak, dan 10 atau lebih dari 10 atom C berupa zat padat. Alkohol yang terdiri dari 1-4 atom C juga dapat larut dalam air sementara yang jumlahnya lebih dari itu lebih mudah larut dalam pelarut organik. Tidak meninggalkan sisa ketika dipijarkan juga merupakan salah satu karakteristik dari Alkohol. Alkohol ada yang berasa pahit dan manis, adapula yang berbau spesifik dan harum. Untuk alkohol Monovalen, semakin bertambah atom C-nya maka semakin tinggi titik didihnya. Sementara untuk alkohol Polivalen, semakin banyak gugus hidroksilnya semakin besar titik didihnya.

Sementara karakteristik dari Fenol adalah sebagai berikut, Fenol juga dapat berupa cairan dan padatan. Fenol juga ada yang rasanya manis dan pahit, berbeda dengan alkohol, Fenol ada yang berasa asam. Mengenai kelarutannya, Fenol Monovalen lebih larut dalam pelarut organik sementara Fenol Polivalen umumnya larut dalam air.

Selain struktur, bedanya lagi antara Alkohol dan Fenol adalah reaksi umum pada kedua senyawa tersebut. Alkohol akan memberikan hasil reaksi tertentu pada reaksi umumnya yang mana tidak bisa dihasilkan oleh Fenol dan begitu juga sebaliknya, Fenol akan memberikan hasil reaksi tertentu yang mana tidak bisa dihasilkan oleh Alkohol.

Berikut adalah beberapa reaksi umum pada Alkohol yang artinya juga semua jenis Alkohol akan memberikan hasil yang sama yang menjadi tanda bahwa senyawa yang sedang kita analisis merupakan senyawa Alkohol. Reaksi umum yang dimaksud antara lain reaksi Diazo dan reaksi dengan logam aktif (misalnya logam Na).

Dengan reaksi Diazo, senyawa Alkohol akan menunjukkan warna merah pada hasil reaksinya. Sementara pada reaksi dengan logam aktif akan menghasilkan suatu senyawa Alkoksida yang hasil reaksi lainnya yang dapat diamati adalah dihasilkannya gas H2.

Mungkin muncul pertanyaan, "Sebenarnya reaksi secara kimianya bagaimana sih sehingga Alkohol dengan reaksi Diazo dapat memberikan warna merah, lalu juga dengan logam aktif dapat menghasilkan gas H2?"

Untuk reaksi Diazo, mekanisme reaksinya bisa dijelaskan melalui gambar berikut, contoh Alkohol yang direaksikan adalah Etanol. Sebelumnya, kita perlu mengetahui pereaksi yang digunakan pada reaksi Diazo ini. Reaksi Diazo ini menggunakan campuran 2 pereaksi, yaitu Diazo A dan Diazo B dengan perbandingan komposisi 4:1. Pereaksi Diazo A terdiri dari asam Sulfanilat dan HCl, sementara pereaksi Diazo B terdiri dari NaNO2 dan H2O. Mekanismenya adalah sebagai berikut.


Mekanisme yang saya terangkan tersebut saya dapatkan dari catatan senior, dan ketika teman saya mempresentasikan hal yang sama di kelas, dibenarkan oleh dosen. Mungkin agar lebih yakin, bisa dicari di pedoman lainnya.

Dan mekanisme yang terjadi pada saat reaksi dengan logam aktif misalnya dengan logam Na dan Alkoholnya adalah Etanol, contohnya adalah sebagai berikut:


Sementara beberapa reaksi umum pada fenol antara lain (1) reaksi Diazo, (2) reaksi Marquis, (3) reaksi Loco Millon, (4) reaksi dengan FeCl3, dan (5) mereaksikannya dengan CHCl3 ditambah NaOH atau KOH lalu dipanaskan maka akan memberikan warna stabil tertentu pada senyawa Fenol yang tertentu pula.

Dengan reaksi Diazo, Fenol juga dapat memberikan warna merah, tetapi setelah diberi Amil Alkohol maka akan menjadi jernih. Pereaksi yang digunakan sama dengan reaksi Diazo yang sudah saya jelaskan untuk Alkohol, hanya saja setelah memberikan warna merah setelah itu diberi Amil Alkohol, hasil positif apabila warna larutan berubah menjadi jernih.

Berikut merupakan mekanisme reaksi Diazo untuk Fenol sampai dapat memberikan warna merah.


Mekanisme reaksi yang saya tuliskan tersebut, saya buat berdasarkan pemahaman saya, mungkin terdapat kesalahan. Jangan dijadikan acuan, ambil maknanya saja dan coba cari dari literatur lain.

Dengan reaksi Marquis yang dilakukan dalam plat tetes maka akan terbentuk cincin dengan warna tertentu, bisa warna merah, coklat, jingga, ungu, dan hijau, tergantung dari senyawa Fenol yang mana. Pereaksi Marquis ini antara lain H2SO4 pekat dan formalin encer.

Dengan reaksi Loco Millon, senyawa Fenol akan bereaksi dan menghasilkan warna merah serta endapan kuning. Pereaksi yang digunakan antara lain HNO3 dan Hg(NO3).

Mekanisme reaksi yang terjadi adalah sebagai berikut:


Apabila direaksikan dengan FeCl3, maka akan dihasilkan senyawa kompleks berwarna, yang awalnya berwarna hijau akan berubah menjadi biru, dan yang awalnya berwarna violet (ungu) akan berubah menjadi merah.

Ketika direaksikan dengan CHCl3 ditambah NaOH lalu dipanaskan maka akan terbentuk warna stabil tertentu. (1) apabila mengandung Fenol maka berwarna kuning, (2) apabila mengandung Timol maka berwarna merah ungu, (3) apabila mengandung Naftol maka berwarna biru, (4) apabila mengandung Pirokatekol maka berwarna hijau, dan (5) apabila mengandung Resorsinol maka berwarna merah.

Berikut adalah mekanisme reaksinya:


Ketika diberikan suatu sampel, lalu kita menganalisisnya dengan reaksi-reaksi umum yang telah disebutkan sebelumnya lalu kemudian kita sudah dapat menyimpulkan apakah Alkohol yang dikandungnya atau apakah Fenol yang ternyata dikandungnya, maka untuk selanjutnya kita perlu mengetahui apabila yang terkandung adalah Alkohol, lalu jenis Alkohol yang mana yang dikandungnya tersebut dan berlaku juga sebaliknya, apabila Fenol, maka jenis Fenol yang mana yang dikandungnya.

Pada kesempatan ini, saya akan memulai pembahasan seputar Alkohol mengenai macam-macamnya dan reaksi-reaksi spesifiknya. Baru untuk selanjutnya, saya akan menjelaskan seputar Fenol.

Alkohol itu, ada banyak macamnya, tergantung berdasarkan apa mengklasifikasikannya maka jenisnya pun berbeda-beda. Ada 3 sudut pandang berbeda dalam pengklasifikasian Alkohol, (1) berdasarkan strukturnya, (2) berdasarkan jumlah gugus hidroksilnya (OH), dan (3) berdasarkan letak gugus hidroksilnya pada atom C yang mengikatnya.

Berdasarkan strukturnya, Alkohol dibedakan menjadi 3, yaitu Alkohol Alifatis, Alkohol Aromatis, dan Alkohol Siklik.


Berdasarkan jumlah gugus hidroksilnya, alkohol dibedakan menjadi dua, yaitu Alkohol Monovalen dan Alkohol Polivalen.


Berdasarkan letak gugus OH pada atom C-nya, Alkohol dibedakan menjadi 3, yaitu Alkohol Primer, Alkohol Sekunder, dan Alkohol Tersier.


Sekarang, mari kita belajar untuk menganalisis suatu senyawa Alkohol, apakah berdasarkan strukturnya termasuk Alkohol Alifatis, Aromatis, atau Siklik, apakah berdasarkan jumlah gugus hidroksilnya termasuk Alkohohol Monovalen atau Polivalen, dan apakah berdasarkan letak gugus hidroksilnya pada atom C termasuk Alkohol Primer, Sekunder, atau Tersier. Baru setelah itu kita mempelajari mengenai cara untuk menganalisis jenis-jenis Fenol tertentu.

Suatu Alkohol apabila berdasarkan strukturnya termasuk ke dalam Alkohol Alifatis maupun Siklik akan bereaksi negatif dengan pereaksi Marquis, sementara Alkohol Aromatis tidak.

Reaksi Marquis memang reaksi spesifik untuk Alkohol Aromatis, akan memberikan hasil positif apabila terbentuk cincin berwarna tertentu, bisa merah, coklat, jingga, ungu, hijau, dan sebagainya. Pereaksi yang digunakan adalah H2SO4 pekat dan larutan Formalin encer. Mekanisme reaksinya (misal contohnya adalah Benzil Alkohol) adalah sebagai berikut:


Mekanisme reaksi yang saya tuliskan tersebut, belum tentu benar, ambil maknanya saja. Cari dari literatur lain apabila ingin mengetahui lebih pastinya.

Kemudian suatu Alkohol apabila berdasarkan jumlah gugus hidroksilnya termasuk ke dalam Alkohol Monovalen dan Polivalen, kita dapat membedakannya dengan reaksi Esterifikasi dan Iodoform. Suatu Alkohol Monovalen akan memberikan hasil positif pada reaksi Esterifikasi dan Iodoform, sementara Alkohol Polivalen negatif.

Reaksi Esterifikasi merupakan suatu reaksi yang pereaksinya adalah asam-asam karboksilat (misalnya sam Asetat) dan hasil reaksinya adalah suatu senyawa ester yang dengan kata lain reaksi ini positif apabila tercium bau ester. Mekanisme reaksinya adalah sebagai berikut.


Reaksi Iodoform merupakan reaksi yang pereaksinya adalah larutan Iodii (I2) dan NaOH yang hasil reaksinya adalah Iodoform yang dengan kata lain hasil positif apabila terbentuk endapan berwarna kuning (jika diamati akan berbentuk kristal. Sebenarnya hasil positif ini menunjukkan adanya Alkohol Monovalen Sekunder. Alkohol Primer dan Tersier bisa menunjukkan hasil yang negatif. Jadi, agar lebih pasti membedakan antara Monovalen dan Polivalen sebaiknya menggunakan reaksi Esterifikasi.

Berikut adalah mekanisme reaksi Iodoform.


Mengenai mekanisme reaksi yang ini, sudah dibenarkan oleh dosen saya ketika ada teman saya yang presentasi. Tetapi, apabila ingin lebih pasti, silakan cari dari literatur yang lain.

Selain itu, kita juga masih bisa membedakan Alkohol Monovalen dengan Polivalen dengan reaksi-reaksi spesifik dari Alkohol Polivalen itu sendiri yang artinya apabila menghasilkan hasil yang positif artinya sampel tersebut merupakan Alkohol Polivalen, jika negatif maka Alkohol Monovalen.

Reaksi-reaksi spesifik tersebut antara lain reaksi dengan asam Borat, reaksi Cuprifil, reaksi Landwer, dan reaksi Carletti.

Reaksi dengan asam Borat artinya pereaksi yang digunakan adalah asam Borat, hasil positif apabila terdapat penurunan pH atau larutan setelah bereaksi menjadi semakin asam.

Reaksi Cuprifil, merupakan reaksi yang menggunakan NaOH dan CuSO4 sebagai pereaksinya, hasil positif apabila didapatkan suatu kompleks Cu yang jernih (larutannya jernih).

Reaksi Landwer, merupakan reaksi yang menggunakan FeCl3 sebagai pereaksi, hasil positif apabila terbentuk warna kuning tua sampai coklat jingga.

Reaksi Carletti, merupakan reaksi yang menggunakan asam Oksalat, Resorsin, dan H2SO4 pekat sebagai pereaksi, hasil positif apabila terbentuk warna ungu.

Kemudian, berdasarkan letak gugus hidroksilnya pada atom C apakah termasuk Alkohol Primer, Sekunder, atau Tersier, bisa dianalisis dengan menggunakan 5 reaksi berikut antara lain (1) reaksi Iodoform, (2) reaksi Oksidasi, (3) reaksi Beckman, (4) reaksi Deniges, dan (5)  Esterifikasi Lucas.

Reaksi Iodoform, berdasarkan yang sebelumnya sudah saya jelaskan, artinya hasil positif apabila mengadung senyawa Alkohol Sekunder, apabila negatif berarti bisa Primer atau Tersier.

Reaksi Oksidasi, menggunakan pereaksi KMnO4 dan H2SO4, untuk mengetahui apakah termasuk Primer, Sekunder, atau Tersier, bisa kita gunakan pereaksi Nessler (KI, HgI2, dan KOH), dan juga bisa gunakan pereaksi Legal Rothera (Na nitroprussid 5% dan ammonia). Apabila dengan pereaksi Nessler meghasilkan warna abu-abu maka Alkohol Primer. Lalu, apabila dengan pereaksi Legal Rothera menghasilkan warna biru kemudian ungu, dan setelah itu menghilang, maka Alkohol Sekunder. Dan apabila dengan pereaksi yang awal saja sudah tidak bereaksi maka Alkohol Tersier.

Kenapa menggunakan pereaksi Nessler? Karena pereaksi Nessler dapat mengidentifikasi adanya gugus Aldehid, dan kenapa menggunakan pereaksi Legal Rothera? Karena pereaksi tersebut dapat mengidentifikasi adanya gugus keton.

Sebagaimana kita tahu bahwa suatu senyawa Alkohol Primer apabila dioksidasi maka gugus hidroksilnya berupa menjadi aldehid, dan apabila terus dioksidasi maka akan menjadi gugus karboksil. Dan kita juga sudah mengetahui bahwa senyawa Alkohol Sekunder apabila dioksidasi maka akan membentuk gugus keton. Sementara Alkohol Tersier tidak dapat dioksidasi.

Reaksi Beckman, hampir sama seperti reaksi oksidasi, hanya saja pereaksi yang digunakan bukan KMnO4 tetapi K2Cr2O7 dan H2SO4, dan hasil positif yang diamati lebih ditunjukkan untuk keberadaan Alkohol Tersier, hasil positif apabila warna larutan orange-nya tidak mengalami perubahan warna, apabila terjadi perubahan warna maka bisa jadi Alkohol Primer atau Sekunder.

Reaksi Deniges, merupakan reaksi untuk Alkohol Tersier, pereaksinya adalah HgO, H2SO4, dan aqua, hasil positif apabila segera terbentuk endapan berwarna putih. Saya sendiri tidak begitu memahami pernyataan ini, mungkin Alkohol Primer dan Sekunder juga dapat membentuk endapan tetapi tidak secepat Alkohol Tersier.

Esterifikasi Lucas, merupakan reaksi yang menggunakan HCl dan ZnCl2 sebagai pereaksinya. Apabila warna larutan tetap jernih maka Alkohol Primer, apabila larutan berubah menjadi keruh setelah 5-10 menit maka Alkohol Sekunder, dan apabila larutan segera berubah menjadi keruh maka Alkohol Primer.

Berikut merupakan mekanisme reaksi dari Esterifikasi Lucas untuk Alkohol Tersier.


Dan sekarang saatnya kita beralih ke Fenol. Kita perlu mengetahui macam-macam Fenol. Fenol hanya diklasifikasikan berdasarkan jumlah ikatan dengan gugus hidroksilnya saja, yaitu menjadi dua antara lain (1) Fenol Monovalen, apabila hanya mengikat satu gugus hidroksil saja, dan (2) Fenol Polivalen, apabila inti fenil mengikat banyak gugus hidroksil (lebih dari satu).


Kita harus dapat membedakan sampel yang mengandung Fenol Monovalen dengan yang Polivalen. Metode membedakannya sama saja dengan Alkohol yaitu dengan mereaksikan suatu senyawa dengan reaksi yang spesifik untuk Fenol Monovalen, jadi apabila negatif berarti bukan Monovalen, artinya Polivalen, atau bisa juga dengan mereaksikannya dengan reaksi spesifik untuk Fenol Polivalen, hasil negatif berarti bukan Polivalen.

Reaksi spesifik untuk Fenol Monovalen ada 4, antara lain (1) reaksi Landolt, (2) reaksi Indofenol, (3) reaksi Spiro, dan (4) reaksi dengan Aqua Bromata.

Reaksi Landolt, merupakan reaksi yang menggunakan pereaksi aqua brom, hasil positif apabila terbentuk endapan putih yang tidak larut air.

Reaksi Indofenol, merupakan reaksi yang menggunakan pereaksi Anilin encer 0,01% dan Natrium Hipoklorit. Hasil positif apabila berwarna biru, dan akan berubah menjadi merah apabila ditambah larutan asam.

Reaksi Spiro, merupakan reaksi yang menggunakan pereaksi H2O2 dan FeSO4, hasil positif apabila berwarna hijau, dan akan berubah menjadi ungu apabila ditambah larutan NH4OH.

Reaksi dengan Aqua Bromata, artinya pereaksinya menggunakan aqua bromata, tetapi zatnya perlu dilarutkan terlebih dahulu dengan air atau HCl, apabila terbentuk endapan maka hasil positif.

Apabila dengan keempat reaksi tersebut negatif, kita bisa meyakinkan hasil analisis bahwa sampel yang sedang kita analisis mengandung Fenol Polivalen, yaitu dengan menggunakan reaksi-reaksi yang spesifik untuk Fenol Polivalen. Reaksi spesifik untuk Fenol Polivalen ada empat, (1) reaksi Fehling, (2) reaksi dengan asam Oksalat, (3) reaksi dengan Aqua Bromata, dan (4) reaksi dengan CaO.

Reaksi Fehling, menggunakan campuran pereaksi Fehling A dan Fehling B. Fehling A terdiri dari CuSO4.5H2O, H2SO4, dan H2O. Sementara Fehling B terdiri dari Kalium Natrium Tartrat, NaOH, dan aqua. Campuran dari Fehling A dan Fehling B tersebut kemudian ditambah NaOH maka hasil positif apabila terbentuk endapan berwarna merah bata kuning.

Reaksi dengan asam Oksalat, pereaksi yang digunakan tentunya asam Oksalat, kemudian dipanaskan, hasil positif akan terbentuk warna tertentu. Berwarna abu-abu artinya terdapat Pirogalol, berwarna merah artinya terdapat Fluoroglusin, berwarna kuning coklat artinya resorsin, dan berwarna merah rose artinya terdapat pirokatekol.

Reaksi dengan Aqua Bromata, pereaksinya tentu Aqua Bromata, zat dilarutkan dalam air atau HCl, hasil positif apabila memberikan warna-warna.

Reaksi dengan CaO, pereaksinya CaO, dilakukan dengan penggerusan zat bersama pereaksi, hasil positif apabila terbentuk warna.

Saya rasa, sampai di sini, kita sudah dapat menganalisis suatu sampel apakah mengandung Alkohol atau Fenol, dan apabila mengandung Alkohol kita sudah dapat mengetahui Alkohol Alifatis atau Aromatik, Alkohol Monovalen atau Polivalen, dan Alkohol Primer, Sekunder, atau Tersier. Dan juga kalau ternyata mengandung Fenol, kita sudah dapat mengetahui apakah Fenol Monovalen atau Polivalen.

Untuk informasi saja, berikut merupakan senyawa-senyawa yang tergolong ke dalam Alkohol.


Dan berikut merupakan senyawa-senyawa yang tergolong Fenol.


Demikian yang bisa saya berikan, mohon maaf apabila terdapat kesalahan. Terima kasih atas kunjungannya. Semoga bermanfaat :D