Berikut adalah cerpen yang saya buat dalam rangka mengikuti lomba cerpen yang diselenggarakan oleh rekatankata.com:
Suatu
hari aku mendapat ajakan dari teman lamaku pergi ke Kober, sebuah tempat
perbelanjaan sederhana di dekat universitasku yang harganya lumayan murah.
Sudah lama kami tidak bertemu, dulu kita sering berangkat dan pulang sekolah
bersama-sama, sekarang kami berada pada universitas yang berbeda, aku di Depok
sementara dia di Surabaya. Tentunya aku terima ajakan darinya, aku sudah sangat
rindu dengannya, dia adalah sahabat dekatku, Anika namanya.
Aku ingat, kakak iparku pernah
mengatakan kalau kak Laila memiliki kamera baru dan dia mengatakan kalau aku
boleh meminjamnya. Kebetulan sekali aku ingin mendokumentasikan kebersamaan aku
dengan Anika nanti ketika kami akhirnya bertemu kembali. Lantas aku ke rumah
kak Laila dan mengatakan kalau aku ingin meminjam kameranya. Dia tidak langsung
mengatakan kalau dia membolehkannya, dia hanya terus berputar-putar di dalam
kamarnya mencari di mana kameranya, sementara aku hanya tetap berdiri di
samping pintu kamarnya menunggu sampai kamera tersebut ditemukan tanpa mencurigai
sesuatu apa pun. Setelah beberapa lama mencari, akhirnya dapat ditemukan.
Kamera tersebut berada di atas meja, di mana sebenarnya bukan tempat yang sulit
untuk menemukannya. Kemudian dia menyerahkannya kepadaku dan berkata dengan
ketus, “Jangan dirusakin lagi ya kayak waktu itu!”. Sebuah perkataan yang tidak
aku sangka dan aku tidak mengerti. Namun, beberapa detik kemudian aku ingat.
Aku ingat peristiwa itu tapi bukan aku yang merusakkannya, melainkan anaknya
sendiri, Tomi. Pada saat itu umur Tomi sekitar 5 tahun dan aku masih duduk di
bangku SMP. Aku bertiga bersama Tomi dan ayahku pergi menginap di sebuah vila
di Puncak, di sana ada beberapa bangku yang sangat tinggi, peristiwa tersebut
terjadi ketika aku bersama Tomi duduk-duduk di bangku tersebut, tentunya kaki Tomi
tidak dapat menyentuh lantai saking tingginya bangku tersebut. Sambil
duduk-duduk Tomi memainkan kameranya,
kemudian tanpa sengaja kamera tersebut jatuh sehingga menyebabkan kamera
tersebut rusak dan tidak dapat dinyalakan. Entah apa yang diucapkan oleh kak
Laila barusan. Kemudian aku menyadari bahwa Tomi selama ini telah menceritakan
hal yang salah kepada ibunya sehingga menyebabkan kak Laila menuduh aku yang
merusakkannya. Misal pun aku yang merusakkannya kenapa kak Laila masih mengingat
peristiwa itu dan belum juga memaafkan kesalahanku dari sekian lamanya
peristiwa tersebut terjadi, padahal yang aku tahu selama ini kak Laila adalah
orang yang pemaaf. Aku melihat sosok kak Laila yang berbeda pada saat itu,
sosok seorang kakak yang kelihatannya sangat membenci adiknya, aku belum pernah
melihat tatapan kak Laila sebegitu bencinya terhadapku. Tubuhku bergetar dan
aku berkata dengan terbata-bata bahwa aku tidak jadi meminjamnya. Namun, pada
akhirnya dia tetap meminjamkannya, serta-merta aku pergi keluar dari rumahnya
karena tidak tahan ingin segera meluapkan seluruh perasaanku di kamarku tanpa
ada orang yang tahu.
Hari pertemuanku dengan Anika akhirnya tiba,
sebelumnya kami telah berjanji akan bertemu di depan Kober. Aku tiba terlebih
dahulu, beberapa saat kemudian Anika tiba, tidak aku sangka kalau Anika datang
bersama dengan orang lain, aku kira hanya aku dan Anika saja yang akan
menghabiskan waktu di Kober bersama.
“Liyana
kenalin, ini mas aku,” kata Anika.
Aku
hanya mengangguk dan menyambut salam darinya. Aku baru ingat, Anika pernah
bercerita kepadaku bahwa dia anak tunggal, tetapi di rumahnya tinggal pula
sepupunya yang biasa dia panggil “mas”. Dan berdasarkan cerita-ceritanya
tentang masnya, sepertinya memang benar dia dekat sekali dengan masnya itu.
“Dia
mau bayarin semuanya yang mau aku beli di sini, soalnya dia udah janji kalo aku
pulang dari Surabaya dia mau traktir,” bisik Anika kepadaku.
Aku
hanya bisa ikut senang, dalam hati aku berpikir, dia saja yang tidak memiliki
kakak tetapi hubungannya dengan masnya itu dekat sekali seperti hubungan antara
kakak dan adik, sementara aku yang memiliki empat kakak, tidak ada satu pun
yang benar-benar dekat kepadaku dan memperlakukanku seperti apa yang dilakukan
oleh masnya terhadap Anika. Inilah hidup, di dunia ini memang tidak ada yang
sempurna, semuanya saling melengkapi.
Tetapi
semakin jauh aku mengingat hubunganku dengan kakak-kakakku semakin sedih aku
rasanya. Sepertinya kakak-kakakku tidak ingin membagi kebahagiannya kepada
adiknya, setiap kali mereka akan berbelanja ke mall, mereka pergi dengan diam-diam, mungkin supaya kepergian
mereka tidak aku ketahui sehingga aku tidak meminta untuk diajak bersama mereka
karena mereka takut kalau aku ikut, aku akan meminta dibelikan sesuatu oleh
mereka.
Aku
yang sekarang adalah orang yang sungguh menyedihkan. Jika dulu ketika kedua
orang tuaku belum pensiun, mereka masih dapat memenuhi keinginan kecilku,
tetapi sekarang mereka hanya bisa memenuhi kebutuhan sehari-hariku. Keinginanku
untuk mencicipi burger saja tidak
pernah kesampaian sejak mereka pensiun, dan keinginanku untuk pergi jalan-jalan
ke Dufan pun cuma impian sejak kecil. Sementara bang Raihan dalam sebulan sudah
dua kali pergi ke Dufan bersama pacarnya, dan tentunya tiap bulan kakak-kakakku
yang sudah menikah yaitu kak Laila, Kak Rozi, dan Kak Riza, bersama dengan
keluarga kecilnyanya selalu pergi ke mall
untuk belanja bulanan, tetapi mereka tidak pernah mengingat adiknya, setidaknya
sekali-sekali mengajak adiknya ikut ke Dufan atau membelikan satu bungkus burger untuk adiknya yang sedang berada
di rumah karena tidak diajak ke mall
oleh mereka. Tidak pernah aku mendengar ada kakak yang mengatakan kepadaku
bahwa dia akan membelikan apa pun yang ingin aku beli. Aku merasa seakan-akan
aku tidak memiliki kakak, ke manakah keempat kakak-kakakku itu yang seharusnya
juga mengasihi dan menyayangi adiknya disamping mengasihi dan menyayangi
keluarga kecilnya atau pacarnya.
“Liyana,
yang ini bagus ga?” tanya Anika.
“Apa?”
tanyaku balik kepadanya.
“Yang
ini bagus ga?”
“Oh,
bagus-bagus. Aku juga mau beli!”
Semenjak
kami menghabiskan waktu berbelanja di Kober, aku tidak lupa untuk menyempatkan
berfoto dengan Anika. Aku sudah berniat tidak menggunakan kamera kak Laila,
kameranya aku tinggal di meja kamarku, aku takut nanti rusak dan aku pasti akan
dimarahi. Aku mengandalkan handphone
3,2 Mp untuk berfoto dengannya setidaknya ada dokumentasi bersama dirinya.
Sudah sore dan kita sudah puas
berbelanja di Kober artinya sudah saatnya pula kami berpisah. Anika pulang
menggunakan motor bersama masnya, sementara aku masih menunggu angkutan umum
tiba. Sudah semakin gelap dan angkutan umum ke arah rumahku belum juga muncul.
Aku berbaju ungu dan berjilbab ungu pada saat itu, tidak aku sangka ada sebuah
mobil berhenti di hadapan aku, kemudian seseorang turun dari mobil itu dan
mendorongku naik ke dalam mobilnya. Tidak ada seorang pun pada saat itu dan aku
juga tidak sempat berteriak meminta tolong karena sudah dibius terlebih dahulu.
Ketika terbangun, aku tidak dapat bergerak dan tidak
pula dapat berteriak karena tubuhku diikat oleh tali dan mulutku ditutup dengan
lakban hitam. Ketika setengah kesadaranku mulai kembali tersebut, aku menangkap
sedikit percakapan dari para penculik itu.
“Halo,
iya bos, ini artisnya udah diculik,” kata salah seorang penculik tersebut.
“Dasar
bodoh, bukan dia orangnya!” teriak bosnya melalui handphone.
“Loh
kok salah bos, kan bos bilang, kalo orangnya pake baju ungu jilbab ungu.”
“Buktinya
artis itu masih tampil di TV semalam!”
“Bos
sih ga ngasih liat fotonya, jadi salah tangkep kan!”
“Loh
kok jadi kamu yang marah sama saya, seharusnya kalian udah taulah siapa
oranngnya, artis terkenal gitu.”
“Ya
maklum bos, kita jarang nonton TV.”
“Huh
payah, yasudah, buang aja dia ke laut!”
“Oke
bos!”
Penculik
itu menghampiriku dan menggiringku ke arah pintu. Aku tidak mengira bahwa aku
sedang berada di dalam helikopter. Tanpa dibuka ikatannya dan dilepaskan lakban
hitamnya terlebih dahulu serta tanpa perasaan dia langsung mendorongku dari
ketinggian tersebut ke arah laut. Aku sudah tidak sempat memikirkan betapa
kasar, jahat, dan kejamnya para penculik itu terhadapku, aku hanya berpikir
mungkin ini merupakan akhir dari hidupku, tanpa berpikir panjang lagi aku
langsung berteriak di dalam hati mengucapkan kalimat syahadat.
“Tiada
Tuhan selain Allah dan Nabi Muhammad utusan Allah!”
“Ya
Allah, lindungilah keluarga hamba, panjangkanlah umur kedua orang tua hamba dalam
keberkahan. Bila memang ini akhir dari hidupku, hamba minta ampun terhadap
segala dosa yang hamba pernah perbuat. Sungguh hamba tidak sanggup terbakar
dalam panasnya neraka dan hamba pun tidak layak masuk ke dalam surga-Mu ya
Allah.” Aku berdo’a sebelum aku benar-benar menyentuh air kemudian di makan
hewan laut atau kehabisan napas di dalam laut. Tidak ada yang bisa aku lakukan
untuk menyelamatkan diri, walaupun aku bisa berenang tetapi dalam kondisi masih
terikat seperti ini, aku tidak mungkin bisa melakukannya.
“ALLAHU
AKBAR!” teriakku dalam hati ketika aku sudah tenggelam ke dalam birunya laut,
kemudian menabrak batu karang, dan seketika itu juga aku tidak sadarkan diri.
Sepertinya aku sudah berada di alam lain, kulihat
ada sesosok pria berdiri di depanku, mungkin dia malaikat. Tetapi tubuhku tidak
dapat aku gerakkan, aku terbaring lemah di atas alas empuk, aku mengira-ngira
apa yang akan dilakukan oleh malaikat tersebut terhadapku. Dia tersenyum ke
arahku dan menghampiriku.
“Bagaimana,
sudah baikan?” tanya malaikat itu.
“Tubuhku
kaku sekali, mau dibawa ke mana aku?” aku bertanya.
“Tetaplah
di sini sampai kondisimu menjadi lebih baik, aku akan merawatmu.”
“Terima
kasih malaikat, kau baik sekali terhadapku.”
“Bukan,
aku bukan malaikat, aku manusia sepertimu.”
“Oh,
jadi aku masih hidup?”
“Tentu,
kamu masih hidup, sudahlah istirahat saja dulu.”
“Baik,”
jawabku.
Setelah beberapa hari dirawat olehnya, kondisiku
sudah mulai membaik, aku sudah dapat berdiri walau masih agak
terpincang-pincang. Hari itu adalah hari pertama aku keluar dari bilik kecil
tersebut, sudah berhari-hari aku mengeram di sana.
“Wah
kau sudah bisa berdiri,” sambut kak Aurum dari kejauhan. Kelihatannya dia habis
mengumpulkan kayu bakar untuk menyalakan api. Aku berusaha menghampirinya tetapi
tubuhku tidak cukup kuat untuk melakukan itu. Jadi, aku hanya menunggu dia
sampai dia yang menghampiriku.
“Sini,
biar aku saja yang menyalakannya, jadi kakak bisa mengerjakan hal yang
lainnya.”
“Ah
sudahlah, aku saja, kamu duduk saja di sini.”
“Aku
saja Kakak, aku tahu, aku bisa menyalakannya.”
“Sudahlah
jangan bohong, berjalan pun kau masih tertatih-tatih, bagaimana mau menyalakan
api.”
“Hehe,
iya kak. Baiklah, aku duduk saja di sini.”
Beberapa hari kemudian, aku sudah dapat berjalan
dengan lancar. Aku sudah dapat membantu kak Aurum mencari ikan di laut,
membantunya mengumpulkan kayu bakar, membantunya berburu, membantunya mencari
buah-buahan di dalam hutan, serta mengumpulkan dedaunan yang bisa dimakan. Sungguh
merupakan pengalaman yang menyenangkan yang belum pernah aku alami sebelumnya.
“Kak
Aurum, jika kau bersedia, jika nanti akhirnya aku dapat kembali ke rumah,
pulanglah bersamaku, jadilah kakakku, aku yakin kedua orang tuaku bersedia
mengangkatmu sebagai anaknya. Kau sungguh baik dan sayang kepadaku, walaupun
aku memiliki empat orang kakak, tapi tidak ada satu pun dari mereka yang begitu
sayang kepadaku sepertimu,” rengekku memohon kepada kak Aurum.
“Liyana,
aku sudah berjanji kepada diriku sendiri kalau aku tidak akan meninggalkan
pulau ini. Ada begitu banyak kenangan aku bersama keluargaku di sini,” kata kak
Aurum.
“Jadi
kau memiliki keluarga?” tanyaku.
“Iya,
keluargaku merupakan satu-satunya yang menghuni pulau ini, kami bahagia tinggal
di sini. Suatu hari, tsunami menghantam pulau ini. Seluruh anggota keluargaku:
ayah, ibu, kakak, dan adikku meninggal seketika, hanya aku yang selamat. Kau
seharusnya bersyukur Liyana. Kamu masih memiliki keluarga, walaupun seperti
yang kau bilang bahwa kakak-kakakmu itu tidak menyayangimu setidaknya mereka
masih memperhatikan kebutuhan sehari-harimu. Jika pun mereka tidak
menyayangimu, kamu harus berusaha agar mereka menyayangimu dengan menyayangi
mereka terlebih dahulu. Seperti jika kamu ingin dihormati orang lain maka
hormatilah orang lain terlebih dahulu.”
“Iya
kak, kau benar,” kataku.
Perkataan
kak Aurum memang benar, seharusnya memang aku yang menyayangi mereka terlebih
dahulu jika ingin disayangi oleh mereka.
“Terima
kasih banyak nasehatnya Kak, semoga Kakak selalu dilindungi oleh Allah, diberi
kesehatan, dan dijauhi dari marabahaya,” kataku sambil tersenyum lebar
kepadanya. Namun, raut wajahku kembali sedih.
“Lalu
kenapa kau masih sedih sekarang?” tanya kak Aurum.
“Tiga
hari lagi kedua orang tuaku akan pulang dari tanah suci, aku ingin sekali
menyambut kepulangan mereka seandainya bisa.”
“Sayang
sekali, pulau ini sangat jauh dari kota dan jarang ada yang melintasi pulau
ini. Kamu berdo’a saja semoga ada keajaiban yang datang kepadamu sehingga kamu
bisa pulang.”
“Iya,
semoga saja. Kak Aurum, ngomong-ngomong bagaimana ceritanya kakak bisa
menyelamatkan aku?” tanyaku.
“Oh,
tentang hal itu. Jadi begini, ketika kakak sedang berada di tepi pantai, kakak
melihatmu dijatuhkan ke arah laut dari helikopter oleh seseorang. Kakak
menyadari bahwa area tempat kejatuhanmu tersebut sangat berbahaya karena ada
banyak sekali karang. Tanpa berpikir panjang, kakak langsung bergegas untuk menyelamatkanmu.
Belum tiba kakak di tempat kejatuhanmu, air laut yang mengenai kakak sudah
berubah warnanya menjadi merah dan pastinya air laut tersebut telah bercampur
dengan darahmu. Kamu sudah tidak sadarkan diri saat kakak tiba untuk
menyelamatkanmu ....” Kak Aurum berhenti bercerita sambil menarik napasnya.
“Lalu?”
tanyaku dengan penuh penasaran.
“Lalu
kakak membawamu segera ke tepi pantai. Sesampainya di tepi pantai, kakak
langsung memeriksa apakah kamu masih hidup atau sudah mati. Kakak tidak menyangka
dengan kondisimu yang sangat menyedihkan itu, berlumuran darah dan masih
terikat oleh tali, ternyata detak jantungmu masih terdengar. Segera kakak
membawamu ke dalam bilik kecil itu dan merawatmu.”
“Berapa
hari aku tidak sadarkan diri Kak?” tanyaku lagi.
“Sekitar
tiga hari, dan ketika akhirnya kau sadarkan diri, kau malah menganggapku
sebagai malaikat,” kata kak Aurum sambil tertawa kecil, “memangnya, apa yang
kau pikirkan selama tidurmu itu?”
“Aku
hanya mengira aku sudah mati dan telah memasuki alam lain ...,” kataku dengan
serius, kemudian aku melanjutkannya dengan berkata, “Dan aku sungguh berterima
kasih kepadamu karena telah menyelamatkanku. Aku pasti akan membalas budi baikmu
selama ini.”
“Ah,
tidak usah seperti itu, kakak ikhlas menyelamatkan dan merawatmu,” kata kak
Aurum. Aku hanya bisa tersenyum mendengarnya.
Ketika seperti biasa di pagi hari kami pergi ke
pantai untuk mencari ikan di laut, kami melihat ada sebuah kapal datang
mendekat dengan beberapa orang marinir ada di dalamnya. Aku bersama kak Aurum
melambai-lambaikan tangan ke arah mereka--semoga saja mereka dapat menolongku
dan membawaku pulang ke rumah--mereka semakin dekat ke arah perahu kecil kami.
Kemudian salah seorang marinir bertanya kepada kami, “Apakah kalian pernah
menemukan ada sesosok mayat wanita di sekitar sini?”
“Memangnya
ada kejadian apa Pak?” tanya kak Aurum.
“Beberapa
hari yang lalu, ada seorang wanita dijatuhkan dari helikopter ke arah laut oleh
dua orang penculik dan kami tidak yakin wanita tersebut masih hidup. Oleh
karena itu, kami datang ke sini setidaknya dapat menemukan mayatnya ...,”
“Aku
pasti wanita yang dimaksud itu,” kataku memotong pembicaraannya.
“Maksudmu?”
tanya marinir itu.
“Namaku
Liyana, aku bisa berada di sini karena telah diselamatkan oleh kak Aurum
setelah aku dijatuhkan dari helikopter ke arah laut oleh para penjahat yang
tidak memiliki perasaan itu,” jawabku dengan sungguh-sungguh.
“Oh,
iya benar, mayat yang kita cari itu bernama Liyana,” sambung salah seorang
marinir lainnya.
“Tapi
aku masih hidup!” teriakku.
“Maaf,
maksud saya, wanita yang kita cari itu bernama Liyana.”
“Liyana,
sebaiknya kamu segera naik ke kapal kami, kita akan ke kota dan membawamu
pulang, sebelum cuacanya menjadi lebih buruk,” kata Marinir itu.
“Tapi
kak Aurum?” aku menoleh ke arah kak Aurum.
“Sudahlah,
pergi saja, aku tidak apa-apa di sini. Bukankah ini keinginanmu?”
Aku
mengangguk saja dan mengikuti perintah marinir itu.
“Kak
Aurum, selamat tinggal! Aku sangat menyayangimu. Suatu hari nanti aku akan
kembali ke sini. Jaga dirimu baik-baik, ya!” teriakku dari dalam kapal yang
semakin menjauhi perahu kecil itu.
Sesampainya di rumah, aku langsung
disambut dengan penuh kehangatan dan kerinduan oleh kakak-kakakku, sepintas aku
melihat wajah mereka, seperti menandakan adanya ketidakpercayaan bahwa aku
masih hidup. Marinir yang mengantarkanku pulang ke rumah, langsung bergegas
kembali ke kantor untuk mengatasi masalah lainnya, tidak lupa aku berterima
kasih kepadanya terlebih dahulu.
“Liyana!”
sambut kak Raihan sambil memelukku, “Kukira kau sudah mati, Alhamdulillah,
ternyata kau masih hidup.” Aku hanya tersenyum mendengarnya.
Kak
Riza kemudian juga menghampiriku, memelukku, dan mengatakan betapa rindunya ia
terhadapku. Lain dengan kak Rozi, dia tetap saja menjaga wibawanya, dia hanya
memelukku dan tidak mengatakan apapun, tampaknya dia juga merindukanku karena
kulihat matanya agak sedikit berkaca-kaca.
Aku
belum sempat mengatakan apapun lalu kak Laila mucul dari luar, sedikit berlari
menghampiriku, langsung meraih bahuku, dan memelukku. Dia terus saja meminta
maaf kepadaku, dia mengatakan bahwa dia sungguh-sungguh meminta maaf karena
telah menuduhku yang merusakkan kameranya, dia tidak tahu kalau ternyata
anaknya sendirilah yang merusakkannya. Tampaknya kak Laila merasa sangat
bersalah terhadapku, padahal aku rasa kejadian yang aku alami ini tidak ada
hubungannya dengan kamera itu, lagipula aku sudah memaafkannya sebelum peristiwa
penculikan itu terjadi.
Sepertinya
sudah saatnya aku berbicara karena tampaknya kakak-kakakku sangat ingin
mengetahui bagaimana aku bisa selamat, “Kakak-kakakku, kalian harus mengetahui
betapa sayangnya aku kepada kalian, aku sangat senang bisa bertemu dengan
kalian lagi. Kalian juga harus tahu betapa aku sangat membutuhkan pertolongan
kalian pada saat peristiwa yang mengejamkan itu terjadi, untungnya ada kak
Aurum yang menyelematkanku.”
“Siapa
kak Aurum itu?” tanya kak Raihan.
Sebelum
aku menjawab pertanyaan kak Raihan, kak Laila menyuruh kami untuk melanjutkan
perbincangan di ruang keluarga, sambil duduk-duduk, minum minuman dingin, dan
makan makanan ringan yang segera disediakan oleh kak Laila. Langsung saja aku
menceritakan kepada mereka banyak hal tentang apa saja yang telah terjadi
kepadaku selama itu sejak penculikan, penyelamatan, perawatan, dan kegiatan
sehari-hariku bersama kak Aurum. Mereka mendengarkannya dengan penuh antusias.
Aku
juga penasaran bagaimana ceritanya marinir itu bisa menemukanku. Kemudian
mereka bergantian menceritakannya kepadaku. Katanya, sejak aku tidak juga
pulang ke rumah setelah pergi bersama Anika ke Kober, kakak-kakakku panik dan
menelpon teman-temanku menanyakan apakah aku bersama mereka atau tidak. Lalu Tomi
menjelaskan bahwa kemungkinan, aku pergi dari rumah karena tidak senang telah
diperlakukan yang tidak menyenangkan dari ibunya. Tomi mengetahui bahwa aku
menangis di kamarku setelah aku keluar dari rumahnya, dan kemudian Tomi
mengatakan kepada ibunya bahwa bukan akulah yang merusakkannya melainkan
dirinya sendiri. Dia berkata bohong pada saat itu karena takut dimarahi oleh ibunya sehingga
hal ini membuat kak Laila merasa bersalah. Kakak-kakakku langsung saja melapor
ke kantor polisi mengenai berita kehilanganku, Anika juga diajak untuk menjadi
saksi. Ketika Anika ditanya-tanya oleh polisi, akhirnya diketahui bahwa aku
membawa barang belanjaan, dan barang belanjaan yang ditemukan oleh seseorang di
depan Kober itu sama persis dengan yang dibawa aku. Lalu orang yang menemumakan
barang belanjaanku tersebut dipanggil ke kantor polisi untuk menjadi saksi. Ternyata
orang itu artis terkenal, dia juga mengenakan baju ungu dan jilbab ungu pada
saat itu. Kemudian disimpulkan bahwa aku terlibat dalam kasus salah penculikan.
Artis itu menjelaskan bahwa belakangan ini dia memang sedang dikejar-kejar oleh
orang-orang suruhan mantan manajernya, katanya dia mau dijual kepada orang
besar. Kemudian para penculik itu berhasil ditangkap dan dimintai keterangan
mengenai kasus salah penculikan itu, dan akhirnya mereka memberi tahu di mana
lokasi tempat aku dijatuhkan. Keesokan harinya, marinir mencari di sekitar
lokasi yang telah ditunjukkan, dan akhirnya mereka berhasil menemukanku.
Sungguh aku tidak mengira perjalanan hidupku bakal diwarnai oleh pengalaman-pengalaman
seperti ini. Aku tidak merasa menyesal karena dengan begitu aku bisa bertemu
dengan malaikat itu, kak Aurum.
Keesokkan harinya adalah hari yang
sudah aku nanti-nantikan, sebuah hari ketika kedua orang tuaku akhirnya pulang
dari tanah suci. Aku bersama kakak-kakakku berangkat menuju bandara untuk
menyambut mereka. Tidak begitu lama menunggu akhirnya aku melihat ayah dan ibu
turun dari pesawat. Kemudian kami menghampirinya.
“Ayah! Ibu!” teriakku memanggil mereka.
“Bagaimana kabarmu Nak, kau baik-baik saja?” tanya
ibuku.
“Aku baik-baik saja Bu,” jawabku.
“Tetapi sepertinya kamu habis ada masalah, ada hal
apa yang menyebabkan keningmu terluka?” tanya ayahku.
“Hehe, nanti saja aku ceritakan.”
No comments:
Post a Comment
If you want to be notified that I've answered your comment, please leave your email address. Your comment will be moderated, it will appear after being approved. Thanks.
(Jika Anda ingin diberitahu bahwa saya telah menjawab komentar Anda, tolong berikan alamat email Anda. Komentar anda akan dimoderasi, akan muncul setelah disetujui. Terima kasih.)