Hari Sabtu, 12 Desember 2009
Sekitar pukul 05.30 kami baru bangun. Kami langsung bergegas untuk sholat subuh, kami takut kehabisan waktu subuh. Sesudah sholat subuh kira-kira pukul enam pagi kami melanjutkan tidur kami dan bangun kembali pukul tujuh. Ketika sudah saatnya bangun, segera kami membersihkan diri. Untuk urusan mandi, Resti selalu mandi yang paling pertama. Sebenarnya tidak adil. Tapi, tak apalah, biarkan saja. Lagipula saya juga masih malas beranjak dari tempat tidur. Sambil menunggu Resti, temanku Leista sibuk membagi-bagikan makanan. Katanya banyak makanan yang tidak termakan. Bahkan ia sangat senang kalau kami mau menghabiskan makanannya.
Yang saya tidak senang dengan kamar hotelnya adalah bahwa toiletnya tidak dilengkapi dengan selang air, malahan dengan tisu. Seharusnya pihak hotel tahu bahwa turis tidak hanya dari luar negeri, tapi juga ada yang dari lokal, mereka seharusnya juga memperhatikan kebiasaan orang lokal, kami tidak terbiasa menggunakan tisu. Teman sekamarku juga setuju. Akhirnya kami mengatasinya dengan mengisi
bathtub terlebih dahulu dan memanfaatkan gelas sebagai pengganti fungsi gayung. Selebihnya, hotel ini benar-benar nyaman, rasanya tidak ingin keluar dari hotel.
Akhirnya waktu untuk sarapan pagi tiba, kami berempat bersiap-siap menuju tempat makan. Pelayan di sana sangat baik dan ramah, bahkan ketika kami baru keluar sebentar dari kamar, mereka mengucapkan selamat pagi kepada kami. Dan kami juga membalas sapaan mereka dengan senyuman.
Makanan yang dihidangkan sangat banyak, saya lebih memilih bubur sebagai sarapan. Tetapi bahan-bahannya belum diracik, jadi kami harus mencampurnya sendiri sesuai selera. Biasanya saya makan bubur yang sudah diracik oleh tukang buburnya sendiri. Jadi, pada saat sarapan itu, saya asal mencampur semua bahan yang ada. Dan hasilnya sangat asin, jadi tidak nafsu makan. Akhirnya saya hanya minum segelas jus.
Kami baru melanjutkan perjalanan kira-kira pukul sepuluh pagi, seharusnya kami berangkat lebih awal. Tapi ada satu temanku yang belum juga siap. Dia telat bangun. Katanya teman-temannya tidak ada yang membangunkannya. Kasihan sekali dia. Tempat pertama yang kami kunjungi adalah
Desa Banyumulek. Saya tidak tahu kenapa tidak sesuai dengan
rundown yang diberikan. Seharusnya kami mengunjungi
Pura Candi Narmada. Tapi, tak apalah, yang penting kami senang.
Selama kami di perjalanan kami dipandu oleh seorang
tour guide, sayang saya lupa namanya. Sesuai dengan profesinya, saat busnya baru berjalan, dia sudah mulai mengoceh. Pertama dia menceritakan kami tentang Lombok. Katanya Lombok artinya lurus. Jumlah penduduk Lombok sekitar 3.020.000, dan sekitar 85% penduduknya beragama Islam. Lombok merupakan salah satu pulau terbesar yang ada di NTB. Katanya juga Lombok berasal dari Kerajaan Karang Asem yang ada di Bali, orang Bali yang ada di Lombok memiliki status lebih tinggi dibandingkan dengan suku asli Lombok, yaitu suku Sasak.
Sebelum sampai di Desa Banyumulek,
tour guide-nya menceritakan tentang desa tersebut. Desa Banyumulek terkenal dengan kerajinan gerabahnya. Katanya, tanah liat yang ada di gunung diambil oleh anak lelaki, sedangkan yang membuat gerabahnya adalah anak perempuan.
Sesampainya kami di Desa Banyumulek, kami diperlihatkan bagaimana cara membuat gerabah. Melihatnya mudah, tapi saya tidak mau mencoba. Saya lebih tertarik dengan gerabah-gerabah yang sudah jadi. Sayang, harganya sangat mahal. Saya hanya membeli sebuah gerabah. Daripada tidak ada kenang-kenangan sama sekali. Katanya, harganya mahal karena sesuai dengan pembuatannya, membakarnya saja butuh suhu yang tinggi dan waktu yang lama. Di sana kami tidak terlalu lama, kami langsung melanjutkan perjalanan menuju
Desa Suka Rare.
Seperti biasa, sebelum sampai di tempat tujuan,
tour guide-nya menceritakan tentang desa tersebut terlebih dahulu. Katanya, Desa Suka Rare berasal dari dua kata Suka dan Rare. Suka artinya ikhlas dan Rare artinya sederhana. Suka Rare terkenal dengan kerajinan songketnya. Katanya, materialnya diikat terlebih dahulu sebelum diberi warna.
Setibanya di Desa Suka Rare, saya kira kami akan dibawa melihat-lihat desa tersebut. Namun kami dibawa ke sebuah galeri atau tepatnya mungkin seperti sebuah museum, yang tersedia banyak sekali koleksi kain songket, berbagai lukisan, dan yang sangat menarik adalah terdapat tempat pembuatan kain songket, di sana kami diperlihatkan betapa sulitnya membuat kain songket. Pertama, kita perlu mengikat satu persatu benang yang ada dengan kekencangan yang berbeda, ini dimaksudkan agar setelah diberi warna menghasilkan gradasi warna yang bagus. Bayangkan saja ada beribu atau mungkin ratusan ribu helai benang yang harus diikat sampai tidak ada sedikit pun rongga yang terlihat, pokoknya semua benang harus tertutupi. Baru kemudian diberi warna. Belum sampai di situ kesulitan yang ditunjukkan, kita masih harus menenunnya menjadi kain, butuh waktu yang sangat lama baru bisa menjadi kain songket. Mahal, sudah pasti karena pembuatannya sangat sulit. Saya tidak membeli satu pun di sini, saya hanya menyempatkan untuk berfoto-foto. Oh iya, kata
tour guide-nya, gadis seumuran kami, kalau belum bisa menyongket, belum bisa menikah. Karena anggapan mereka gadis yang tidak bisa menyongket dan belum memiliki desain kainnya sendiri berarti dia adalah gadis yang malas, dan tidak patut dinikahi.
Setelah berkunjung ke desa Suka Rare kami akan melanjutkan tour ke
Desa Sade, kata
tour guide-nya di sana kita akan melihat cara hidup mereka sehari-hari. Sebelum bercerita tentang desa tersebut, dia mengatakan bahwa kita melewati sebuah
makam batu layar, katanya, penduduk datang berziarah ke sana, ingin meminta sehat, rezeki, dan sebagainya. Makam tersebut merupakan makam keramat, makam seorang penyebar agama Islam di sana. Katanya juga sebelum sampai di Lombok, kapalnya hancur, dan yang ditemukan hanya serpihan kayu kapal tersebut, dan yang dikuburkan di makam tersebut adalah serpihan kapal tersebut.
Dia juga bercerita tentang penduduk Lombok yang beragama Islam wetu telu. Mereka adalah orang-orang yang baru diajarkan tiga perkara oleh seorang sunan, yaitu syahadat, sholat, dan puasa. Dan untuk menyempurnakannya menjadi lima, sunan tersebut harus kembali dulu ke daerah asalnya, di Jawa. Sunan tersebut tak kunjung kembali ke Lombok. Sampai akhirnya datang orang Bali yang membawa misi keagamaan. Dan penduduk tersebut mengira bahwa itu adalah ajaran yang akan dilengkapkan oleh sunan. Sehingga peribadatan mereka tercampur dengan ajaran Hindu. Jadilah mereka biasa sholat di Pure. Bahkan bila ada salah seorang yang sedang sibuk dengan pekerjaannya, boleh menitip sholat dengan seorang kyai. Agak aneh memang, tidak sesuai dengan ajaran Islam yang sesungguhnya.
Rumah adat Desa Sade, atapnya terbuat dari alang-alang, sedangkan lantainya terbuat dari kotoran kerbau. Suku sasak memiliki banyak sekali kegiatan ritual. Contohnya ketika seorang ibu sedang hamil, pada usia tiga bulan, mereka melakukan acara cuci perut, kemudian ketika usia sudah enam bulan, mereka melakukan cuci perut lagi untuk yang kedua kalinya. Setelah bayinya lahir, mereka melakukan potong tali pusat, dan setelah sudah bisa berjalan, dilakukan ritual turun tanah. Kalau anak belum melakukan ritual turun tanah ini, maka anak tersebut tidak diizinkan untuk menginjak bumi. Suku sasak juga memiliki kebiasaan yang unik. Antara suami dan isri tidur terpisah. Anak yang berusia delapan tahun ke atas tidak boleh tidur di rumah. Mereka tidur dengan sebayanya, di sebuah rumah yang juga merupakan kumpulan anak-anak yang sebayanya.
Tour guide-nya juga bercerita bahwa di Lombok juga terdapat kasta-kasta yang ada di Bali namun tidak begitu detail. Kalau wanita yang berstatus rendah menikah dengan pria yang berada dalam status tinggi, status wanita tersebut tetap tidak berubah. Sedangkan anaknya ikut dengan ayahnya yang berstatus tinggi. Lain dengan seorang wanita yang berstatus tinggi menikah dengan pria yang berada dalam status rendah. Anaknya dibuang, tidak boleh bertemu dengan orang tuanya. Kalau ingin bertemu harus di jalan. Dan tidak ada pesta pernikahan dalam kondisi seperti ini.
Sampailah akhirnya kami di desa Sade. Hampir setiap penghuni rumah menjajakan hasil kerajinan tangannya di depan rumah. Kerajinan tangan tersebut berupa pahatan dari gading gajah dan juga ada yang dari kayu, rupanya pun beragam, ada yang berbentuk cicak, kadal, katak. Ada juga yang menjajakan kain buatannya. Saya hanya membeli tiga buah gantungan kunci, pahatan dari kayu dan berbentuk cicak. Di dalam bertransaksi kami agak sedikit kesulitan, karena umumnya penduduk desa Sade belum bisa membaca dan hanya bisa berbicara bahasa Indonesia sedikit-sedikit. Kata
tour guide-nya, kalau kita sudah menanyakan harga berarti kita pasti akan membeli, tidak boleh dibatalkan jual beli tersebut, kalau kita tidak bisa bayar sekarang, maka ia akan tetap menunggu, sampai dibayar juga. Saya turut prihatin dengan para penduduk desa Sade, menurut saya mereka memiliki potensi yang sangat besar dalam meningkatkan kehidupan ekonomi mereka. Salah satunya yaitu pariwisata. Hanya beberapa saja yang tahu keberadaan mereka.
Tidak terasa sudah lama berjalan-jalan menyusuri desa tersebut tahu-tahunya sampai di tempat semula lagi, di mana kami tadi baru akan melakukan perjalanan menyusuri desa Sade.
Selanjutnya kami melanjutkan
tour menuju
Pantai Kute, seperti biasa
tour guide-nya mulai bercerita. Kali ini dia becerita tentang kebiasaan lainnya dari penduduk Pulau Lombok, yaitu di dalam setiap pernikahan pasti dimulai dengan kawin lari. Jadi prosesnya begini, dua orang pasang yang sudah sepakat untuk menikah, kemudian memutuskan untuk kawin lari, yang gadis dibawa ke rumah prianya. Keluarga si gadis kemudian melapor kepada kepala desa. Akhirnya dipanggillah keluarga pria tersebut. Kemudian mereka membicarakan mengenai gantiran (ganti rugi) akibat perbuatan anak laki-lakinya itu. Dan akhirnya kedua pasang sejoli itu pun dinikahi.
Tour guide-nya juga bercerita tentang sebuah legenda asal mulanya
cacing Nyale. Jadi, dahulu ada seorang putri yang dihadapkan dengan tiga orang putra mahkota yang ingin menikahinya. Putri tersebut tidak ingin ada yang sakit hati. Untuk menjawab persoalan tersebut, sang putri memutuskan untuk bersemedi. Dalam mimpinya, ia terjun ke laut. Dan keesokan harinya, ia mengajak ayahnya beserta ketiga putra mahkota dan juga rakyatnya ke tepi pantai yang curam, ia menjanjikan akan menjawab persoalannya tersebut. Akhirnya ia memutuskan bahwa dirinya bukan untuk satu orang, tapi untuk semua. Akhirnya ia terjun dari tebing pantai dan dipercaya bahwa cacing nyale merupakan perwujudan rambut putri tersebut. Oleh karena itu di setiap bulan januari, terdapat pesta
bau nyale. Bau artinya mencari, disebut nyale karena warnanya yang beragam, jadi bau nyale artinya mencari cacing nyale. Karena pada bulan tersebutlah cacing-cacing tersebut keluar dari karang meninggalkan telur nyale. Kemudian cacing nyale tersebut dipepes dan diletakkan di sawah.
Tapi kami tidak langsung ke Pantai Kute, melainkan berhenti sebentar di sebuah rumah makan, yang juga tidak jauh dari Pantai Kute. Di rumah makan tersebut dindingnya bergambarkan seorang putri yang akan terjun ke laut dan dibelakangnya terdapat tiga putra mahkota, sama seperti legenda yang diceritakan oleh
tour guide sebelumnya. Di sana kami juga diberi kesempatan untuk sholat Zuhur dan Ashar terlebih dahulu baru, melanjutkan perjalanana ke pantai Kute. Sebelumnya kita mengenal pantai Kute yang ada di Bali, ternyata di Lombok juga ada sebuah pantai yang namanya pantai Kute.
Sebelum sampai di Pantai Kute atau Tanjung A’an, kami di dalam bus sibuk dengan pemakaian
sunblok. Semua tidak ingin jika nanti kulitnya menjadi gosong. Memang pada saat itu suasananya sangat panas dan menyengat.
Sampai di sana semuanya terpesona dengan pantainya yang begitu alami, seperti belum tersentuh oleh tangan manusia. Menurutku lebih baik kita tidak ke sana, takut kalau kedatangan kami akan merusak keasrian pantai tersebut. Tapi kalau dipikir-pikir, kapan lagi kita menikmati pantai yang begitu indah, pantai yang tidak akan kita bisa lihat di Jakarta.
Di tepi pantai terdapat batu besar. Batu tersebut memisahkan area pantai menjadi dua, yaitu pantai yang berpasir sebesar garam yang berwarna putih dan yang sebesar merica yang berwarna sedikit abu-abu. Walaupun di area pantai yang pasirnya sebesar garam, namun isinya sangat padat, jadi sangat mudah kaki ini melangkah. Berbeda dengan yang sebesar merica, hanya bentuknya saja yang besar namun isinya kurang padat, jadi agak sulit untuk melangkah. Teman sekamarku Amel sempat membawa dua botol, lalu mengisinya dengan kedua pasir tersebut, untuk kenang-kenangan katanya. Saya tidak sempat memikirkan untuk hal itu,
tour guide bus 1 kami tidak memberitahukan kalau ternyata pantai kute ini terdiri dari dua pasir yang berbeda. Di sana kami sangat puas berfoto-foto. Apalagi pada saat di atas batu besar itu. Anginnya sepoi-sepoi.
Sayang sekali, ketika kami sudah harus kembali ke hotel dan membersihkan pasir-pasir yang melekat di pakaian kami di toilet, dua botol temanku yang berisi pasir itu diambil orang lain, sangat sedih rasanya, saya tidak bisa berbuat apa-apa. Saya kira dia pasrah sampai di situ. Ternyata ketika bus sudah akan berangkat, dia menyempatkan diri berlari untuk mengambil lagi pasir tersebut, padahal lumayan jauh jarak bus ke laut. Syukurlah, saya turut senang mendengarnya.
Kami makan malam tidak di hotel, melainkan di sebuah rumah makan yang luar biasa enak ikan bakarnya. Lezat sekali, rasanya ingin menambah. Rumah makan tersebut terbagi menjadi beberapa bagian, yang saya duduki adalah bagian yang menggunakan meja dan kursi sedangkan beberapa temanku ada yang lesehan. Sama saja nyamannya, cuma kalau yang lesehan, kita mesti lepas alas kaki terlebih dahulu.
Kira-kira pukul 23.00 kami baru sampai di hotel. Lantas kami sholat Magrib dan Isya. Kemudian membersihkan diri dan juga bersiap-siap untuk segera
check out esoknya. Kali ini kami memutuskan untuk mengundi siapa saja yang akan mandi terlebih dahulu. Agar terasa adil, karena Amel temanku dari tadi mengeluh karena selalu kebagian waktu mandi yang terakhir.
Di sela-sela kesibukan kami membereskan barang-barang untuk
check out besok, sering
terdengar telepon iseng, kadang salah sambung, kadang pula terdengar suara aneh terus menerus. Lantas kami tutup telepon tersebut. Haha, ternyata mereka itu teman-temanku dari kamar lain yang iseng menelpon. Karena untuk saling berhubungan dengan yang lain kita hanya perlu menekan nomor kamarnya saja.
Selesai beres-beres dan juga membersihkan diri, kami langsung tidur, agar besok bisa bangun lebih pagi.